JAKARTA, MENARA62.COM – Sejumlah elemen masyarakat mendesak dilakukannya reformulasi system perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Sebab perencanaan pembangunan atas dasar UU nomor 25 tahun 2004 yang saat ini digunakan pemerintah, ternyata banyak mengandung sisi kelemahan.
“Dengan SPPN saat ini, pembangunan yang seharusnya merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan justeru kerap kali membuat agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal mendesak berjangka pendek yang sifatnya tambal sulam dan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental jangka panjang,” kata Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Ponjto Sutowo pada Focus Group Discussion (FGD) bertema Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Nasional yang digelar Jumat (22/11/2019).
FGD tersebut menampilkan sejumlah pembicara antara lain Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof Nandang Alamsah Delianoor (Kepala Dept Ilmu Politik Fisip Unpad), Ratno Lukito (pakar hukum) dan lainnya.
Pengabaian hal-hal fundamental itulah sesungguhnya yang menjadi biang kemunculn aneka kelemahan, ketimpangan dan ketertinggalan pembangunan nasional, yang pada akhirnya melahirkan beragam ekspresi kekecewaan social.
Pontjo mengingatkan sejatinya masyarakat global mengenal dua pandangan arus utama pembangunan. Yakni berdasarkan kekuatan pasar dan kekuatan Negara. Para penganut pendekatan pasar menilai bahwa kekuatan penentu pembangunan adalah pasar. Karena itu, kedudukan pasar menjadi sangat penting sebagai instrument untuk membawa masyarakat menjadi jauh lebih baik.
Tetapi sebaliknya penganut kekuatan Negara berpandangan bahwa negaralah aktor pengguna sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Jika mengikuti SPPN berdasarkan UU nomor 25 tahun 2004, maka proses perencanaan pembangunan jelas Pontjo dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan jangka panjang, menengah dan rencana pembangunan tahunan. Padahal tujuan dibentuknya Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dtelah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan jangka panjang.
“Tetapi saat ini yang terjadi adalah bahwa tahapan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dirumuskan dengan rujukan utama visi misi presiden dan wakil presiden terpilih yang kemudian dituangkan dalam RPJMN yang dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden,” lanjut Pontjo.
Dengan model perencanaan pembangunan seperti itu, jelas Pontjo tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih akan melanjutkan arah pembangunan yang sudah dirintis presiden sebelumnya. Ini jelas tidak efektif karena bukan suatu proses bertahap dan berkelanjutan guna mencapai tujuan pembangunan nasional.
Belum lagi visi dan misi presiden/wakil presiden terpilih juga disusun oleh partai pengusungnya yang tidak terlalu focus pada bagaimana Negara dibangun dalam jangka panjang.
Pontjo mengaku banyak kalangan yang menghendaki perbaikan perencanaan pembangunan nasional melalui scenario ‘Model GBHN’ seperti pernah berlaku pada masa orde baru. Forum Rektor Indonesia bahkan telah melangkah lebih jauh dengan menyusun Kajian Akademik GBHN dan telah diserahkan kepada MPR.
Senada juga dikemukakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Ia mendukung wacana menghidupkan kembali GBHN dengan alasan proses pembangunan nasional saat ini sudah kehilangan arah.
“Indonesia membutuh GBHN, membutuh lagi GBHN. Karena praktiknya sekarang tidak terintegrasi, tidak terpadu pembangunan nasional,” kata Jimly.
Menurut Jimly jika kondisi saat ini dibiarkan maka pembangunan jangka panjang di Indonesia cenderung tidak terintegrasi secara keseluruhan. Meskipun, GBHN juga tak boleh terlalu detail sehingga meniadakan ruang kreativitas.
“Indonesia sebagai negara dengan ekonomi baru perlu kita mengintegrasikan semua perencanaan jangka panjang. Meskipun tentu kita harus hati-hati jangan terlalu detail, namanya juga garis besar. Jadi ada ruang kreatifitas,” lanjutnya.
Menurut Jimly memperdebatkan GBHN dengan sistem pemerintahan presidensial tidak tepat. Sebab kedua konsep bernegara tersebut merupakan hal yang berbeda dan memiliki bidangnya masing-masing.
Sementara itu Mochamad Isnaeni Ramdhan mengatakan GBHN pada hakekatnya merupakan cermin kedaulatan rakyat, pedoman menegara dan kesinambungan pembangunan. GBHN disusun oleh MPR yang merefeksikan pelaku kedaulan rakyat terdiri atas wakil rakyat (parpol), utusan daerah, golongan ekonomi dan golongan fungsional.