JAKARTA, MENARA62.COM – Gandeng Dewan Profesor Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI gelar Forum Group Discussion (FGD) terkait wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Selasa (8/12/2020). Kegiatan bertema “Wacana Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara” tersebut menghadirkan tiga pemateri utama dan 20 orang pembahas. Ketiga pemateri tersebut adalah Rektor Unkris Dr. Ir. Ayub Muktiono, M.SiP, Plt Dekan Fakultas Hukum Unkris Drs. H. Muchtar HP, SH, MH dan Guru Besar Unkris Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH, MH.
Kegiatan berlangsung di Ruang Prof. Suryo Sediono, Kampus Unkris Jati Waringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Rektor Unkris Ayub Muktiono dalam paparannya menyatakan sepakat bahwa GBHN saat ini sangat diperlukan. Tetapi GBHN yang dimaksud adalah yang menjunjung tinggi kearifan budaya lokal.
“GBHN juga harus berasal dari hasil dari diskusi dan musyarawah karena GBHN bukanlah visi presiden, bukan visi partai penguasa atau visi pengusaha/investor,” kata Ayub.
Menurut Ayub, wacana amendemen UUD 1945 belum meredup, khususnya terkait dengan amandemen terbatas yang mendorong untuk lahirnya kembali GBHN. Karena itu, Unkris berinisiatif memberikan masukan kepada MPR terkait wacana menghidupkan kembali GBHN dari berbagai sudut pandang.
Ayub juga berpendapat, dalam pembahasan amendemen UUD 1945 harus ada penataan yang lebih beradab untuk keanggotaan di MPR. Penataan yang dimaksud adalah adanya unsur partai politik, adat dan budaya (kerajaan), pertahanan dan keamanan dalam hal ini TNI dan Polri, intelektual, dan rohaniawan.
Sementara itu Plt Dekan Fakultas Hukum Unkris Muchtar HP berpendapat, GBHN perlu dihidupkan kembali sebagai pedoman rencana pembangunan pemerintah yang berkelanjutan. Tetapi usulan pemberlakuan GBHN kembali harus dikritisi karena akan mengancam hubungan yang demokratis yang sudah terbangun antara lembaga eksekutif dan legislatif setelah era reformasi.
“GBHN adalah instrumen konstitusional bagi MPR untuk mengawasi kinerja presiden,” kata Muchtar.
Ia mengingatkan bahwa GBHN merupakan bagian dari bangunan sistem ketatanegaraan yang memahami kedudukan presiden sebagai mandataris MPR RI. Karena itu untuk menghidupkan kembali GBHN perlu diawali dengan menggembalikan fungsi dan wewenang MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sejalan dengan demokrasi dimana rakyak memiliki kekuasaan tertinggi, sementara MPR merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang artinya Permusyawaratan Tertinggi Rakyat Indonesia tempatnya di MPR RI.
“Penyusunan GBHN harus kembali menjadi kewenangan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara yang tertuang pada UUD’45. Dan untuk melaksanakannya perlu dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau kembali ke UUD’45 yang murni,” jelasnya.
Senada juga disampaikan Guru Besar Unkris Gayus Lumbuun. Dalam materinya, ia mengatakan bahwa setelah GBHN ditiadakan, orde reformasi menggunakan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) sebagai tumpuan perencanaan pembangunan. RPJPN ini berisi visi-misi Presiden yang disampaikan saat kampanye pada Pemilu Presiden (Pilpres). Oleh karena sifatnya yang politis dan kompromi, maka dalam tataran pelaksanaan kerap terjadi inkonsistensi.
Bukan hanya itu RPJP juga memiliki keterbatasan, sebab konstitusi membatasi masa jabatan Presiden maksimal hanya 10 tahun. Belum lagi Visi dan misi pemerintah satu sama lain tidaklah sama,sehingga tidak ada jaminan bagi pemerintahan yang tengah berkuasa menjalankan kebijakan atau program yang sudah ditetapkan rezim pemerintah sebelumnya.
“Pada titik inilah, pembangunan nasional tidak berjalan searah dan berkesinambungan,” kata Gayus.
Karena itu, Gayus sepakat untuk meninjau kembali keberadaan GBHN dalam sistem ketatanegaraan RI. Dan sebagai langkah awalnya adalah mengembalikan fungsi dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Stigma GBHN sebagai produk Orde Baru harus dibuang jauh-jauh. Partai-partai politik yang berada di parlemen harus mengikis egosentris dan memikirkan kehidupan bangsa dan negara dalam jangka panjang,” tandas Gayus.