JAKARTA, MENARA62.COM — Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional (HAM) 2019, Program Peduli yang menggawangi gerakan Indonesia inklusif (#IDInklusif) menggandeng tiga musisi tanah air berkolaborasi menciptakan lagu orisinal bertema Indonesia Inklusif. Ketiga musisi tersebut adalah Dewa Budjana, Asteriska, dan Baskara Putra (Hindia).
Dalam kolaborasi ini, Dewa Budjana berperan sebagai komposer dan arranger, sedangkan Hindia menulis lirik dasar yang kemudian dikembangkan bersama rekan duetnya Asteriska. Ketiganya berhasil menyelesaikan lagu berjudul Di Mata Semesta pada November 2019. Kolaborasi ini semakin lengkap berkat musisi pendukung Saat Syah (pemain suling), Jalu G. Pratidina (pemain kendang), dan Ronald Fristianto (pemain drum).
“Jadi, secara instrumentasi tradisi, saya ambil perkusinya dari Jawa Barat, sulingnya dari Kalimantan,” terang Budjana, Selasa (10/12/2019). Selain diisi instrumen khas Nusantara, lagu ini juga dihiasi unsur sinden oleh Asteriska.
Dewa Budjana yang merupakan musisi senior juga dikenal sebagai musisi yang toleran. Ia kerap terlibat memproduksi lagu-lagu bernuansa religi untuk beberapa agama di Indonesia. Sementara itu, Hindia adalah musisi muda yang peduli pada makna di balik suatu karya dan Asteriska merupakan penyanyi yang peduli terhadap musik Nusantara.
Lagu Di Mata Semesta mengajak pendengar untuk melihat dan memperlakukan setiap manusia secara setara dan semartabat. Tidak ada yang lebih rendah atau tinggi karena di mata semesta, kita semua sama.
Video lagu ini menampilkan cuplikan dokumentasi dari berbagai wilayah kerja Program Peduli di Indonesia. “Di mata semesta, kau dan aku sama saja,” begitu ucap dan isyarat berbagai wajah dan anak Indonesia dalam bahasa daerahnya masing-masing.
Mengenai proses pembuatan lirik, Baskara mengatakan, “Waktu itu, pas lagi di studio di rumahnya Mas Budjana, saya pribadi dapat idenya kayak logika kalau satu orang di mata alam semesta itu cuma titik debu. Dia nggak penting. Jadi, kalau dari sudut pandang yang sangat makro, sebenarnya nggak ada masalah yang lebih penting, nggak ada kelompok yang lebih kecil, semuanya itu sama.”
Baskara menambahkan, “Sebenarnya yang pengen kami angkat bersama itu isu perihal inklusivitas. Maksudnya, bagaimana kita itu sebenarnya di masyarakat sering secara nggak sengaja menyisihkan beberapa kelompok masyarakat tertentu tanpa sadar. Kita cuci tangan. Kita bilang, ‘nggak kok gue nggak kayak gitu. Gue orangnya nggak diskriminatif.’ Cuma lo nggak mau noleh kalau misalnya itu ada di depan mata. Nggak boleh ada yang mengecilkan satu sama lain. Harus inklusiflah kalau dalam bergerak.”
Saat ditanya mengenai pandangan terkait inklusi sosial, Budjana menjawab, “Soal mayoritas minoritas itu selalu di mana-mana ada, tapi, dalam perlakuan seharusnya semua sama.”
Senada dengan Budjana, Asteriska menjawab secara sederhana, “Jangan gara-gara mereka secara fisik nggak sama kayak kita, jadi akhirnya belum apa-apa udah kayak nggak dilihat gitu. Jangan!”
Team Leader Program Peduli, Abdi Suryaningati menyambut baik kolaborasi tiga musisi lintas generasi ini. “Inklusi sosial yang diupayakan oleh Program Peduli telah menyentuh banyak individu dari komunitas yang selama ini terpinggirkan dan termarginalkan serta mendapatkan stigma dan diskriminasi. Penting bagi kami untuk memperluas nilai dan gerakan inklusi sosial ini di tengah kondisi masyarakat yang mulai terkotak-kotakkan. Mudah-mudahan kolaborasi musik ini bisa menyentuh dan menginspirasi, terutama anak muda untuk bersikap inklusif dan berbuat sesuatu untuk gerakan inklusi sosial.”
Dewa Budjana menegaskan bahwa musik bisa menjadi media untuk menumbuhkan semangat positif di masyarakat. “Ini bisa jadi hal yang positif ya tentunya karena musik itu harusnya selalu positif buat semua orang. Nada-nada itu kan walaupun nada disonan pun itu akan tetap bisa jadi enak sebenarnya. Ya mudah-mudahan itu bisa jadi contoh untuk kehidupan bermasyarakat yang lain,” tutup Budjana.