31.7 C
Jakarta

Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM -– Dalam suasana penuh kehangatan dan kebersamaan, Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) bersama Eduversal Foundation, dan Komunitas Orbit Lintas Karya menggelar acara Iftar dan Silaturahim pada Ahad (9/3/2025), di kediaman Prof. Dr. Din Syamsuddin di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Acara yang dihadiri oleh puluhan tokoh lintas agama ini tidak hanya menjadi ajang berbuka puasa bersama, tetapi juga mempererat dialog antariman dalam suasana Ramadhan. Usai tarawih, diselenggarakan Dialog Setelah Tarawih bertajuk “Puasa dalam Perspektif Agama-Agama”.

Sejak satu jam sebelum berbuka, para peserta mulai berdatangan dan duduk lesehan di atas karpet Turki di ruangan besar kediaman Prof. Din. Obrolan ringan dan perkenalan mewarnai suasana, menandakan eratnya jalinan persaudaraan.

Begitu adzan maghrib berkumandang, para peserta berbuka dengan makanan khas Turki yang disediakan oleh Eduversal Foundation, di antaranya baklava, borek, dan kurma sebagai makanan ringan, serta pilav dengan kebab, manti (pangsit khas Turki) sebagai hidangan utama. Juga tersedia beragam sajian khas Indonesia yang memperkaya menu berbuka.

Setelah shalat maghrib berjamaah bagi peserta muslim, acara berlanjut dengan makan malam bersama. Suasana semakin terasa akrab ketika hidangan yang melimpah tak hanya dinikmati di tempat, tetapi sebagian peserta membawa pulang dalam bungkusan.

Tarawih

Usai shalat tarawih yang diimami oleh Prof. Din Syamsuddin, dialog dimulai dengan para pembicara duduk berderet menghadap peserta. Prof. Din membuka diskusi dengan menegaskan bahwa puasa adalah praktik universal dalam berbagai agama, yang meskipun memiliki perbedaan bentuk, tetap memiliki esensi yang sama: menahan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Handoyo Budhisejati, pegiat kemasyarakatan Katholik, menjelaskan bahwa dalam tradisi Katolik, puasa dan pantang merupakan bagian penting dari ibadah, terutama selama masa Prapaskah. Umat Katolik berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, dengan aturan makan hanya satu kali kenyang dalam sehari, serta pantang daging setiap Jumat. “Puasa dalam Katolik mengajarkan disiplin rohani dan solidaritas dengan mereka yang berkekurangan,” katanya.

Sementara itu, Uung Sendana, Mantan Ketua Umum MATAKIN, menambahkan, dalam ajaran Konghucu, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi lebih kepada pembinaan moral dan pengendalian diri. Dalam tradisi Zhai Jie, seseorang berpuasa dengan membatasi konsumsi makanan tertentu serta menghindari perilaku buruk. “Puasa dalam Konghucu menekankan kesederhanaan, introspeksi, dan kebajikan,” ujarnya.

Ketua Umum Permabudhi Phillip K. Widjaja menjelaskan bahwa dalam ajaran agama ini, puasa dilakukan sebagai bagian dari pelatihan disiplin diri dan meditasi. Umat Buddha sering menjalankan Uposatha, yaitu puasa pada hari-hari tertentu dalam kalender lunar, di mana mereka tidak makan setelah tengah hari. “Puasa dalam ajaran Buddha bertujuan untuk mencapai kejernihan batin dan mengendalikan nafsu,” katanya.

Nyoman Udayana, Tokoh Hindu, menjelaskan bahwa dalam Hindu, puasa disebut Upavasa, yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menahan diri dari makanan, minuman, serta hawa nafsu. Puasa dalam Hindu memiliki beragam bentuk, seperti Ekadashi, yang dilakukan setiap dua minggu sekali, dan Shivaratri Vrata, yang dijalankan untuk menghormati Dewa Shiva. Dalam Hindu, puasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga menyucikan pikiran dan jiwa.

Pdt. Jacky Manuputti, Ketua Umum PGI, mewakili Kristen Protestan menguraikan bahwa dalam tradisi agama ini, puasa adalah bentuk ibadah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa sering dikaitkan dengan masa Prapaskah yang berlangsung selama 40 hari sebelum Paskah. “Yesus sendiri berpuasa di padang gurun selama 40 hari sebagai bentuk penguatan spiritual,” jelasnya. Puasa dalam Kristen Protestan bukan hanya pantang makanan, tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengalihkan fokus dari ibadah.

Terakhir, Mantan Ketua MUI Kyai Amidhan Saberah memaparkan bahwa dalam Islam, puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa adalah latihan spiritual untuk meningkatkan takwa. “Puasa mengajarkan kesabaran, kepedulian kepada sesama, serta mendekatkan diri kepada Allah,” jelasnya.

Di akhir diskusi, Prof. Din menyimpulkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam tata cara dan tujuan puasa di berbagai agama, ada satu nilai yang menyatukan: puasa adalah latihan menahan diri untuk mencapai kesucian dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.

“Dari berbagai perspektif ini, kita melihat bahwa puasa bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga sarana membangun karakter, memperkuat kebersamaan, dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan,” tutupnya.

Acara Iftar dan Silaturahim ini pun berakhir dengan kehangatan dan semangat persaudaraan. Di tengah perbedaan keyakinan, kebersamaan tetap terjalin erat, menegaskan bahwa keberagaman bukanlah penghalang untuk bersatu, melainkan kekayaan yang haus dirawat bersama..

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!