Meskipun perjalanan Muhammadiyah sudah satu abad lebih, namun tak begitu banyak orang yang tahu jika Muhammadiyah itu memiliki lembaga ekonomi, yang menjadi pusat keuangan Muhammadiyah. Sebagian besar masyarakat hanya tahu, jika Muhammadiyah itu hanya memiliki amal usaha Muhammadiyah (AUM) berupa pendidikan dan kesehatan yang tersebar diseluruh pelosok tanah air. Sementara mengenai ekonomi, jarang mereka temukan.
Anggapan tersebut ditepis oleh Ahmad Sahowi, yang saat ini menjadi Ketua Pusat Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) Jawa Tengah. Saat ditemui disela-sela acara pelatihan motivasi karyawan BTM Jawa Tengah yang diseleggarakan di Bandungan – Jawa Tengah, kemarin Jumat (18/4/2019), dia mengatakan, selain disektor pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah juga berorientasi pada ekonomi. Hal ini ditegaskan dalam keputusan Muktamar Muhammadiyah ke – 47 di Makassar – Sulawesi Selatan tentang pengembangan pilar ketiga (ekonomi).
Peran dari BTM, lanjut Sahowi, adalah sebagai institusi keuangan berbasis koperasi yang berfungsi sebagai intermediasi keuangan baik AUM, warga persyarikatan dan masyarakat. Keberadaan dari BTM, sebagai alat perjuangan ekonomi Muhammadiyah dan sekaligus sebagai tujuan Muhammadiyah dalam menciptakan masyarakat Islam yang sebenar – benarnya.
“Itulah mengapa yang mendasari didirikannya BTM diberbagai daerah dan sekaligus sebagai Gerakan Mikrofinance Muhammadiyah (GMM) dalam mendirikan satu PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) satu BTM,”terang Sahowi dengan penuh semangatnya.
Mengembangkan BTM dalam faktanya berbeda dengan mengembangkan AUM – AUM lainya, seperti sekolah dan rumah sakit. Jika mengembangan AUM kesehatan dan pendidikan sifatnya adalah sosial, tidak ada risiko dan kalkulasinya defisit atau surplus. Sementara jika AUM BTM sifatnya ekonomi, ada risiko dan kalkulasinya laba atau rugi.
Dengan tidak adanya risiko yang dimiliki oleh AUM pendidikan dan kesehatan, maka ketika AUM tersebut mengalami difisit dan tidak surplus, tidak ada sama sekali masyarakat yang protes terhadap Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan dengan AUM BTM, karena bersifat ekonomi dan penuh dengan risiko, untuk itu apabila di BTM tidak untung dan selalu rugi dalam perjalananya, maka banyak masyarakat yang protes terhadap Muhammadiyah sebagai pemilik AUM BTM.
Untuk itu, kata Sahowi, melihat realitas yang ada, tidak mudah menjalankan BTM dibandingkan dengan menjalankan AUM yang lainnya. Butuh kehati – hatian dalam memanajemennya, sehingga berbagai risiko – risiko yang ada bisa dikurangi dengan sedemikian rupa berdasarkan regulasi.
Meskipun BTM penuh dengan risiko dan Muhammadiyah pernah memiliki pengalaman getir atas kolapnya Bank Persyarikatan Indonesia (BPI), mengapa nekat mengembangkan bisnis lembaga keuangan mikro (LKM) tersebut?
Sahowi menjelaskan, ada misi mulia dibalik mendirikan BTM. Dia mengarisbawahi, jika BTM adalah pusat keuangan Muhammadiyah dan tanpa BTM ekonomi Muhammadiyah tidak akan tumbuh dengan baik. Alasan itu dikemukakan dikarenakan, Muhammadkiyah secara potensi ekonomi terdiri dari AUM dan warga persyarikatan, jika tak ada BTM kemana dana – dana mereka dikelola. Kemudian jika mereka butuh pembiayaan dalam pengembangan AUM dan usaha bagi warga, pasti kepada lembaga keuangan lainya. Dengan demikian lembaga dan orang lain yang akan menikmati “kue ekonomi” persyarikatan itu . Posisi yang demkian, sangat dirasakan tidak strategis secara ekonomi dan geopolitik bagi Muhammadiyah kedepan.
Maka dengan adanya BTM bisa dijadikan sebagai alat Muhammadiyah, perangkat organisasi, dan tujuan Muhammadiyah dalam menciptakan masyarakat Islam yang sebenar – benarnya. Melalui BTM bisa dijadikan sebagai penempatan dana (kas) bagi AUM (rumah sakit, sekolah, LAZISMU dll) dan bisa dijadikan sebagai akses pembiayaan bagi AUM dan warga persyarikan yang membutuhkan untuk pengembangan usaha. Sinergisitas inilah yang terbangun selama ini, sehingga mendorong BTM tumbuh dan berkembang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Banten, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan dan Bangkulu.
Selain memiliki dampak terhadap AUM dan warga persyarikatan, organisasi Muhammadiyah juga diuntungkan dengan adanya BTM, karena keberadaan BTM tiap tahunya memberikan sumbangan 20 persen sisa hasil usaha (SHU) kepada persyarikatan, belum lagi keuntungan 51 persen Muhammadiyah sebagai ex – officio di BTM dan zakat badan dan karyawan yang harus disetor kepada LAZISMU.
“Dengan manfaat yang demikian maka adanya BTM dimasing – masing PDM, akan membentuk pusat keuangan Muhammadiyah yang bisa digunakan untuk gerakan dakwah. Disinilah persyarikatan bisa berdikari dikaki sendiri secara ekonomi,”tegas Sahowi.
Dalam memberikan motivasi kepada para karyawan jaringan BTM se – Jawa Tengah, Sahowi menekankan, pentingya meningkatkan kepercayaan (trust) kepada masyarakat. BTM diharapkan benar – benar bisa sebagai lembaga intermediasi yang baik dan sehat, bahkan praktek bagi warga persyarikatan dalam menanggalkan ribawi. Dengan demikian BTM diyakni akan banyak dinikmati oleh berbagai kalangan sehingga mampu memberikan kesejahteraan kepada warga dan para pengelolanya.