Oleh Ashari SIP*
Benar bahwa Allah SWT mempunyai sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita dapat membacanya berulangkali dalam Surat Al-Fatikah. Karena kedua sifatnya itulah maka hingga saat ini kita masih dapat bernafas dan menikmati kehidupan dengan aneka aktifitas masing-masing.
Namun demikian, ternyata ada perbedaan yang mendasar dari kedua sifat Allahitu. Maha Pemurah (Pengasih) kepada semua umat manusia (insan) tanpa kecuali. Siapapun mereka. Apakah mereka beriman atau tidak, semua akan mendapatnya distribusi ‘Kasih’ Allah. Apakah dia penjahat, koruptor, berbuat dhalim lainnya, Allah tetap memberikan kemurahannya. Orang yang bekerja keras, tekun dan profesional akan mendapatkan hasil yang lebih, dibandingkan dengan orang yang malas-malasan dan bekerja tanpa target yang jelas. Hukum alam akan berlaku disini.
Namun, konon sifat Sayang Allah ini hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman saja. Mereka yang mengakui akan ke-Esaan Allah. Tidak menduakannya. Tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Allah akan sayang. Bentuk ‘sayang’ ini bisa bermacam-macam. Tidak selalu yang mengenakkan diri kita. Bahkan ujian yang diberikan kepada orang yang beriman, banyak kaum mufasirrin (ahli tafsir) mengatakan itu sebagai bentuk ‘sayang’ Allah Swt. Bukan siksaan apalagi penderitaan, namun justru sebaliknya. Sebuah kenikmatan.
Perintah sholat, puasa, zakat apalagi haji yang harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah, tenaga, waktu – kalau kita lihat dari sisi sempit dan buram, sepertinya Allah memberikan beban kepada kita. Sholat meski tidak membayar, namun ternyata belum semua umat islam mendirikannya. Padahal hikmah sholat yang hebat itu bukan untuk Allah, namun untuk pelakunya sendiri. Ibaratnya orang sedunia tidak Sholat, sujud kepada Allah, maka Allah juga tidak akan pernah rugi sedikitpun. Pendeknya perintah Islam yang dibebankan kepada orang beriman-hasilnya kembali kepada diri sendiri, bukan orang lain. Allah Swt berfirman : Setiap orang akan memikul beban dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri, sesuai dengan yang dilakukan didunia dulu.
Begitu juga dengan perintah puasa dan zakat. Semua perintah itu sesungguhnya telah diukur sesuai dengan kadar kemampuan manusia. Karena agama Islam itu, selain agama yang rahmatan lil alamin, Islam juga agama fitrah, manusiawi. Dalam Puasa tidak boleh ketika saatnya berbuka tiba, orang menunda-nunda lama dengan alasan masih kuat. Atau bahkan tidak berbuka sama sekali, kemudian dilanjutkan puasa lagi esok hari, bisa haram. Sudah badan tersiksa, ditambah berdosa. Zakatpun juga demikian, mereka yang belum berkewajiban untuk mengeluarkan zakat, dalam Islam justru akan mendapatkan bagian zakat ini. Sungguh indahnya aturan main Islam.
Maka setelah kita merasakan mendapatkan karunia Rahman-Nya Allah, mari bersama-sama kita gapai Rahim (Sayang)-Nya Allah. Sebab kalau Allah sudah sayang, sudah ridha, Insya Allah apa yang kita lakukan akan mendapatkan kemudahan dan hasilnya membawa berkah, tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Allah SWT akan terus menerus secara simulatan menebarkan aroma sayang dimanapun dan kepada orang yang beriman. Tinggal kita manusia yang harus pandai-pandai menggapainya. Salah satu tanda orang yang telah mendapatkan Sayang-Nya adalah mereka pandai bersyukur akan karunianya. Dalam kondisi dan situasi apapun.
Allah berfirman, “Terimalah semua yang Allah berikan kepadamu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur,” (QS.7 : 144).
Cobaan yang diberikan Allah kepada hambanya, ternyata sudah diukur kadar kemampuannya. Analoginya, tidak mungkin guru SD akan memberikan soal ujian kepada muridnya untuk ukuran murid SMP apalagi SMA. Kalau kemudian kita merasa sangat berat dalam menerima ujian dari Allah, sehingga kadang terbersit dalam hati mengatakan Allah tidak adil, Allah kejam, ini semata mengajarkan kepada kita untuk lebih meningkatkan keilmuan kita. Karena kurangnya ilmu yang memadahi berbanding lurus dengan sempitnya jalan keluar yang diperoleh. Karena kita kurang ilmu maka masalah yang sesungguhnya sepele, kecil dan ringan – kita anggap sebagai problem yang sangat berat dan menyesakkan dada.
Bagaimana cara menggapai ‘sayang’ Allah ini, tidak ada cara lain kalau kita selalu mendekat kepada-Nya. Kalau kita takut hantu, menjauh. Kalau takut kepada Allah, justru mendekat. Sudah banyak kisah atau cerita dalam Al-Quran dengan sangat gamblang Allah memberikan komparasi kepada kaumnya yang di sayang dan yang dilaknat, sehingga berakhir dengan kehancuran. Jadi ingat Syair Lagu Tuhan milik Bimbo : Aku Jauh Engkau Jauh, Aku Dekat Engkau Dekat, hati adalah cermin. Pendeknya dibalik perintah Allah ternyata menyimpan banyak hikmah. Sekian
* Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman Yogyakarta.