SRINAGAR, MENARA62.COM — “Jangan mengklik gambar apa pun. Lari! Jika mereka mengetahui bahwa Anda adalah jurnalis, mereka akan memukuli Anda.”
Itu adalah kata-kata seorang polisi di salah satu pojok penjagaan Masjid Jama, masjid terbesar di kota utama Srinagar yang dikelola warga Kashmir, India. “Mereka” yang dia maksud adalah pasukan paramiliter yang dikerahkan di sekitar alun-alun yang mengarah ke masjid berusia 600 tahun itu.
Sudah empat bulan tidak ada Shalat Jumat di masjid tersebut karena dikunci gembok oleh rezim fanatis Hindu India. Bagi Muslim Kashmir, bahkan kebebasan beragama mereka dilanggar karena diberlakukan pembatasan penggunaan masjid dan tempat suci.
Sejak 5 Agustus 2019, ketika wilayah Himalaya yang disengketakan dilucuti dari otonomi parsial dan diletakkan di bawah belenggu yang melumpuhkan warga Kashmir, gembok telah digantung di pintu-pintu masjid. Lalu, pada Oktober 2019, negara bagian Jammu dan Kashmir secara resmi dibagi menjadi dua “wilayah persatuan” yang dikontrol pemerintah federal India.
Pengekangan itu juga termasuk pembatasan pada pertemuan keagamaan di satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India tersebut. Pihak berwenang melarang masuknya orang ke masjid-masjid penting di Kashmir, tempat umat Islam mendirikan shalat fardu lima kali sehari.
Pelanggaran Konstitusi
Biasanya, setiap Jumat, Masjid Jama di Srinagar digunakan oleh ribuan Muslim dari seluruh lembah Kashmir. Tetapi, hingga 6 Desember 2019, sudah 17 kali berturut-turut Shalat Jumat tidak dapat dilakukan lagi di masjid tersebut.
Khalid Bashir Gura (26 tahun), yang tinggal di Nowhatta, lingkungan yang dekat dengan masjid tersebut, mengatakan, pihak berwenang menganggap jamaah Kashmir sebagai “ancaman”. “Setiap kali situasinya memburuk, masjid terbesar di tempat mayoritas Muslim ditempatkan di bawah kontrol selama berbulan-bulan. Hak untuk mempraktikkan agama kita dijamin oleh konstitusi. Tapi, di Kashmir, itu dilanggar lagi dan lagi,” katanya kepada Al Jazeera.
Syed Ahmad Syed Naqashbandi telah memimpin shalat di Masjid Jama sejak 1963. Dikenal sebagai “Imam-e-Hai” di wilayah itu, Naqashbandi mengatakan blokade telah menjadi “campur tangan langsung dalam agama kita”.
Sejak 5 Agustus 2019, imam berusia 80 tahun itu dipaksa untuk salat di sebuah masjid yang jaraknya lima kilometer (tiga mil) dari Masjid Jama. “Kebahagiaan shalat di Masjid Jama sulit dirasakan di tempat lain. Aku rindu berada di sana,” katanya.
Dia menambahkan, kehadiran polisi dan pasukan paramiliter yang terus-menerus di sekitar masjid agung itu “merupakan ancaman bagi rakyat”.
Syed Rahman Shams, anggota kunci komite yang mengelola masjid, mengatakan itu bukan pertama kalinya shalat dihentikan di sana. “Pada 2016, masjid itu dikunci selama 16 kali Jumat berturut-turut. Rekor itu pecah tahun ini,” katanya.
Pembatasan serupa diberlakukan di Masjid Bait-ul-Mukaram, distrik Anantnag, di Kashmir selatan. “Karena jam malam yang diberlakukan setelah 5 Agustus 2019, kamu bahkan tidak diizinkan keluar dari rumahmu. Jadi bagaimana mungkin kita bisa mencapai masjid?” ujar Imtiyaz (21 tahun).
Penangkapan Besar-besaran
Puluhan pemimpin Muslim adalah termasuk di antara lebih dari 5.000 orang yang ditangkap oleh pemerintah India sejak 5 Agustus 2019. Lebih dari 600 dari mereka, sesuai angka resmi, tetap di balik jeruji besi dengan mengalami perlakuan kasar.
Penahanan itu dilakukan atas nama Undang-Undang Keselamatan Publik. Dengan perangkat hukum ini pihak berwenang memungkinkan untuk menangkap siapa pun hanya karena kecurigaan.
Aktivis HAM yang bermarkas di Kashmir, Khurram Parvaiz, mengatakan, hak untuk mempraktikkan keyakinan dijamin konstitusi India, tetapi telah berulang kali dilanggar di Kashmir sejak 1990 dan bahkan sebelum itu. “PBB dan organisasi internasional lainnya mengecam pemerintah India terkait pelanggaran kebebasan beragama di Kashmir, tetapi itu tidak membuat perubahan (sikap),” tandasnya.