BAKU, MENARA62.COM — Prof Din Syamsuddin mengingatkan, radikalisme dan ekstrimisme, tidak hanya bersifat agama. Pesan ini, disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsuddin pada The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders (Pertemuan Puncak Para Tokoh Agama Dunia Baku Kedua), yang berlangsung pada 14-15 November 2019 di Baku, Azerbaijan.
Dalam pertemuan itu, menurut Din, para tokoh agama-agama dunia memandang radikalisme dan ekstrimisme yang berkembang dalam semua agama, bertentangan dengan agama itu sendiri. Itu sebabnya, radikalisme dan ekstrimisme itu harus dihadapi secara bersama-sama. Kebencian dan ujaran kebencian yang disasarkan kepada pemeluk agama tertentu oleh pemeluk agama lain, harus dicegah.
Bentuk kebencian itu, muncul dalam gejala Islamofobia, Kristenofobia, atau Anti Semitisme potensial mendorong benturan antar agama dan peradaban.
Din Syamsuddin dalam presentasinya menegaskan bahwa radikalisme dan ekstrimisme, apalagi dalam bentuk kekerasan, berbahaya dan bersifat anti kemanusiaan. Namun, Din Syamsuddin mengingatkan, radikalisme dan ekstrimisme tidak hanya bersifat keagamaan, tapi juga bersifat non keagamaan seperti radikalisme sekuler. Bahkan, yang terakhir jika bercampur dengan kebebasan sehingga menjadi radikalisme sekuler-liberal menjadi lebih berbahaya.
Dikatakan lebih berbahaya, karena sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional seperti politik dan ekonomi. Radikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi sesuatu negara, menurut Din, akan membuat negara itu rusak bahkan runtuh, serta akan meninggalkan ideologi negara yang ada.
Merasuk
Menurut Din, inilah yang dewasa ini menjadi fenomena di beberapa negara. Radikalisme sekuler-liberal masuk perlahan-lahan ke dalam sistem nasional sesuatu negara dan bahkan diadopsi sebagai sistem aktual dan operasional. Celakanya, banyak elit politik tidak menyadari, bahkan terbawa arus mengembangkan isu ancaman radikalisme agama, sementara mereka tengah mengancam eksistensi negara mereka sendiri. Para elit politik demikian, biasanya memberi penafsiran subyektif-manipulatif terhadap ideologi nasional dan menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang pihak lain atas dasar klaim monopolistik terhadap ideologi nasional tersebut.
Pada bagian lain pidatonya, Din Syamsuddin, yang juga Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta, memesankan kepada para tokoh agama-agama dunia untuk mengawal negara-bangsa di mana mereka berada. Agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan, bukan menjadi bagian dari masalah, apalagi menjadi pencipta masalah.
Oleh karena itu, menurut Din, agama-agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral. Jika itu terjadi, maka peradaban akan berubah menjadi kebiadaban. Maka, Din Syamsuddin juga memesankan kepada elit politik agar tidak alergi dan sinis terhadap agama, karena sebuah negara-bangsa, dengan ideologinya masing-masing, akan semakin kuat dengan etika dan moralitas keagamaan.