“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (Q.S. Thaha: 14)
Ayat di atas menegaskan bahwa setelah Allah menunjukkan eksistensi diri-Nya, dan menyatakan tidak ada tuhan selain Dia, selanjutnya Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mendirikan salat untuk mengingat-Nya.
Salat adalah barometer keimanan seseorang. Jika seseorang salatnya baik, dalam artian tidak sekadar mengerjakan shalat sesuai ketentuan fiqh, yakni memenuhi sayarat dan rukunnya saja, tetapi menghayati makna terdalam dari seluruh aktivitas shalat berupa gerakan dan bacaannya, kemudian diterjemahkan dengan pengamalan ke dalam aktivitas sehari-hari, maka sudah pasti amal yang lainnya pun akan baik. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut: 45).
Inti dari salat adalah agar seseorang selalu mengingat Allah Swt. Mengingat dalam pengertian bahwa ia merasa selalu disertai dan diawasi oleh Allah kapan saja dan di mana saja ia berada. Shalat yang baik akan melahirkan sikap muraqabah, perasaan selalu dimonitor oleh Allah Swt. Sehingga ia tidak akan melakukan aktivitas kehidupan yang akan membawanya ke dalam lembah dosa yang pada gilirannya akan menyengsarakan dirinya sendiri.
Salat adalah sarana paling efektif bagi seorang hamba untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Ketika kita dirundung masalah, ditimpa pelbagai persoalan hidup, diuji dengan beragam kesulitan, maka cara terbaik untuk mengadukan segala persoalan kita tersebut adalah dengan ‘berdialog’, ‘curhat’ dengan Allah Swt melalui salat.
Allah Swt adalah tempat terbaik bagi kita untuk mencurahkan segala perasaan kita. Dialah yang Maha Mengetahui persoalan hamba-Nya. Dialah yang Maha Mengerti kemampuan hamba-Nya. Dialah yang Maha Memberi solusi atas segala persoalan yang sedang dihadapi hamba-hamba-Nya.
Tidak ada masalah yang dibebankan Allah kepada seorang hamba, melampaui batas kemampuan hamba-Nya. Allah Maha Tahu batas kemampuan setiap hamba-Nya.
Ketika ujian dan cobaan datang menghadang, ketika pelbagai musibah dan petaka menimpa seorang hamba, ketika itu pula Allah sedang ‘berkomunikasi’ dengan hamba-Nya. Allah ‘menunggu’ komunikasi balik dari hamba-Nya. Wujud komunikasi itu adalah sikap hamba atas segala yang menimpanya.
Apakah ia bersedia menerima kenyataan disertai panjatan doa penuh ketulusan dan kesabaran, ataukah justru keluh kesah, kekesalan, bahkan mempertanyakan keadilan Tuhan yang menjadi pilihan hamba tersebut dalam menyikapi keadaan yang tengah menimpanya?
Penentuan sikap ini pada gilirannya berimbas pada cepat atau lambatnya pertolongan Allah hadir kepada kita. Semakin kita sabar menerima ketentuan Allah, dengan terus berpikir positif dan berikhtiar untuk keluar dari masalah yang tengah kita hadapi, semakin cepat uluran pertolongan Allah datang menjumpai kita. Sebaliknya, semakin sering kita menambah daftar keluhan, ratapan, bahkan ‘gugatan’ kepada Allah, semakin jauh pertolongan-Nya dari kita.
Salat menyadarkan kita untuk mengingat bahwa Allah adalah Zat yang Maha Segala-galanya. Salat juga mengajarkan kita untuk melakukan kepasrahan total, menyadari kelemahan diri kita, serta mengakui keterbatasan kemampuan kita.
Salat menjadi sarana paling efektif untuk menggugah kembali fitrah kemanusiaan kita. Dari mana kita berasal, untuk apa kita lahir ke muka bumi ini, serta ke mana kita kelak akan pulang? Serentetan pertanyaan mendasar ini dijawab oleh al-Qur’an surah al-An’am: 162: “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”.
Ruang Inspirasi, Ahad (19/7/2020)