JAKARTA, MENARA62.COM—Indonesia negara kaya raya. Namun, kekayaan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini belum sepenuhnya dapat dinikmati seluruh Bangsa Indonesia. Yang terjadi, aset-aset, sumber daya alam, dan kegiatan perekonomian dominan masih dalam penguasaan asing atau bangsa dari negara lain.
Padahal, hanya dari satu komoditas saja bernama Kelapa, bila diseriusi, dikelola sebaik-baiknya dari hulu ke hilir, dengan kita punya industri pengolahannya, mengekspornya dalam bentuk produk jadi ternyata dapat membiayai APBN.
Ini baru dari kelapa, belum dari karet, dan lain-lain. Bagaimana caranya? Bahasan menarik ini mengemuka dalam seri Diskusi Gerakan Beli Indonesia.
“Kelapa ini 95% milik rakyat, artinya, membangun agro industri kelapa sama dengan membangun daya saing petani kelapa yang saat ini dikatagorikan kelompok marjinal,” ungkap Ir. Wisnu Gardjito, MBA dalam diskusi perdana Gerakan Beli Indonesia, Senin (31/7), malam.
Diskusi Gerakan Beli Indonesia yang selanjutnya akan diselenggarakan secara berkala ini bertujuan menggugah semangat keindonesiaan, patriotisme, nasionalisme, peduli, dan taking action, bergerak mengaktualisasikan diri setiap anak Bangsa, bahwa sudah saatnya Kedaulatan Negara Republik Indonesia sebenar-benarnya menjadi milik Bangsanya sendiri.
Gerakan Beli Indonesia yang diprakarsai Ir. H. Heppy Trenggono, M.Kom selama 8 tahun perjalanannya, secara eskalatif telah mendapatkan respons dan antusiasme positif pelbagai kalangan untuk bergabung dan berjuang bersama menjadikan Bangsa Indonesia tuan rumah di negerinya sendiri.
Masih dalam ruang diskusi, Wisnu Gardjito dari komunitas The Green Coco Island (TGCI) menyatakan siap membangun Agro Industri Olahan Kelapa di seluruh nusantara dalam bentuk Koperasi Desa Agro.
“Saat ini, lebih dari 50 produk olahan kelapa yang sudah diperdagangkan melalui Koperasi Desa Agro, di antaranya Kecap, merek Cap Ibu. Kecap asli buatan rakyat, dan lain sebagainya,” kata Wisnu.
Secara konkret, memiliki industri pengolahan kelapa akan mensejahterakan kehidupan para petaninya. Antara lain, meningkatkan income dari pemilihan produk, petani kelapa diarahkan menjadi prosesor nira kelapa menjadi gula kelapa. “Potential revenue rata-rata hasil gula kelapa adalah Rp25 juta per hektare per bulan. Bahkan, bisa mencapai Rp100 juta dengan Sistem Rel (yang intensif),” kata Wisnu.
Kapten Sar, peserta diskusi menanggapi, sebagai bukti hingga kini, bahan baku kelapa masih banyak diekspor dalam bentuk fresh coconut, bahkan masih utuh dengan serabut-serabutnya nempel secara gelondongan. Ribuan kontainer bahan baku setiap bulan mengalir dari banyak wilayah di seluruh Indonesia ke luar negeri.
“Seperti VOC kerjaannya usung-usung bahan baku. Misalnya, bahan baku kopi mentah harga ekspornya Rp10 ribu per kilogram, diolah di luar negeri, jadi produk bermerek, masuk lagi dipasarkan di dalam negeri, ke luar di gerai Starbuck diminum konsumen orang Indonesia harganya Rp75 ribu per gelas. Inilah the real colonialism,” kata Deci, peserta diskusi lain turut menanggapi.
Di luar negeri, seperti di China, kelapa mentah masuk industri yang banyak menyerap tenaga kerja menjadi beragam produk olahan. Lantas, mengapa kita tidak dapat melakukannya, memperbanyak industri olahan sendiri di penjuru nusantara. Karet, kita bikin pabrik ban, jual ban mobil, motor, dalam bentuk jadi ke luar negeri. Iya, ini kita baru bicara kelapa, belum karet, dan lain-lainnya.
Gerakan Beli Indonesia akan menjadi kekuatan penyeimbang agar kelapa mentah tidak dengan mudah keluar negeri sendiri, dan kita hanya dapat ampasnya saja. Sementara pihak lain, negara lain, yang lebih banyak memetik keuntungannya.
“Caranya? Kita dapat melakukan Pelaju yakni Petik, Olah, Jual, dan Untung. Kelapa dapat diolah menjadi kurang lebih 1.600 produk turunan, di antaranya, minuman, sari kelapa, kosmetik, hingga obat-obatan. Pemasaran produk kelapa sudah sampai ke Eropa, Kanada, Amerika, dan Jepang,” tegas Wisnu memberikan solusi konkret.
Wisnu Gardjito memaparkan, produk kelapa bila diolah secara kreatif dan massif bisa menghasilkan omzet yang amat sangat menguntungkan bagi negara dan menjadi usaha yang bisa mensejahterakan para petani. Indonesia memiliki 3,8 juta hektare tanaman kelapa yang menempatkan negara kita tercinta ini sebagai negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Hampir seluruh perkebunan kelapa di Indonesia adalah kebun organik.
Ironisnya, industri olahan kelapa di Indonesia tidak berkembang. Sebab, kelapa dianggap komoditas yang tidak ada nilainya. Kelapa masih dipandang sebelah mata. Padahal, dari 3,8 juta hektare tersebut bila kita hitung bisa menghasilkan Rp4.000 triliun setahun.
Menurut Wisnu, kalau industri kelapa dikembangkan secara nonkapitalistik, berupa usaha bersama di mana rakyat dimodali, diberi teknologi, akses pasar, itu dalam waktu 2 tahun ini bisa membiayai Republik Indonesia, bahkan bisa membeli aset-aset Indonesia. Karena APBN kurang lebih Rp1.300 triliun, sementara dari kelapa bisa Rp4.000 triliun. Cokelat, itu kurang lebih Rp2.000 triliun. Terus kopi, karet, mede, sampai ada 25 komoditas unggulan Indonesia. Ini dapat menghasilkan kurang lebih Rp25 ribu triliun setahun.