JAKARTA, MENARA62.COM– Dompet Dhuafa berserta lembaga-lembaga kemanusiaan dorong kerjasama antara pemerintah negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), untuk membantu terjaminnya hak-hak etnis Uighur, terutama dalam menjalankan kehidupan sebagai warga negara.
Bersama lembaga-lembaga kemanusian lainnyayang tergabung dalam HFI, Dompet Dhuafa juga meminta organisasi internasional untuk menyelidiki tindakan pemerintah Tiongkok terkait pengumpulan etnis Uighur serta pembuatan kamp konsentrasi tersebut.
Dalam siaran persnya, drg. Imam Rulyawan, MARS, Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi mengatakan bahwa apapun alasannya, pemerintah Tiongkok tidak seharusnya melakukan tindakan kekerasan terhadap etnis Uighur.
“Mereka memiliki hak yang sama untuk dilindungi sebagai warga negara,” papar Imam, Jumat (21/12).
Baca juga:
- Pernyataan Sikap PP Muhammadiyah Terkait Kekerasan di Uighur.
- Din Syamsuddin Kecam Kekerasan Terhadap Muslim Uighur di China
- ACT Segera Kirim Tim Kemanusian untuk Uighur
Karena itu, ia berharap pemerintah Tiongkok segera membuka diri untuk memberikan penjelasan yang sebenarnya mengenai masyarakat Uighur. Selain itu pemerintah Tiongkok juga harus bekerjasama dengan lembaga Internasional untuk mengatasi berbagai masalah serta tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Imam mengatakan Dompet Dhuafa bersama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya hingga saat ini terus berupaya mendorong Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah-langkah diplomatik sesuai prinsip politik bebas dan aktif untuk menciptakan perdamaian dunia dan menegakkan HAM diatas nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Etnis Uighur yang merupakan minoritas Muslim di Xinjiang, Republik Rakyat China, mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sikap pemerintah yang diskriminatif ini dipicu oleh karena perbedaan bahasa, agama, dan kebudayaannya. Etnis yang beragama Islam tersebut mendapatkan pembatasan-pembatasan hak-hak dasar, seperti kebebasan atas beribadah sesuai agamanya, oleh Pemerintah Republik Rakyat China.
Berdasarkan laporan Amnesty Internasional, sebanyak satu juta orang dari etnis Uighur dikumpulkan dalam sebuah ‘kamp’ konsentrasi untuk mendapatkan ‘pendidikan’ terkait doktrinasi ideologi dan nilai-nilai yang dianut oleh Republik Rakyat China.
Doktrinasi tersebut membuat etnis Uighur mengalami kekerasan, dan pembatasan hak untuk menjalankan ibadahnya sebagai seorang muslim, seperti menggunakan hijab bagi perempuan atau jenggot bagi laki-laki, pelarangan berpuasa di bulan Ramadhan, pembatasan shalat lima waktu dan shalat Jumat yang tidak boleh lebih dari lima menit, hingga perintah untuk meninggalkan agamanya.
Laporan tersebut merupakan puncak gunung es dari represi terhadap kebebasan untuk menjaga kebudayaannya dan beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya. Hal tersebut juga mengungkapkan bahwa selama ini telah terjadi peminggiran etnis Uighur dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.