27.7 C
Jakarta

Dosen Arsitektur UMS: Implementasi Tata Ruang yang Buruk Faktor Penyebab Banjir Jakarta dan Bekasi

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Banjir Jakarta dan Bekasi menjadi sorotan publik dengan wilayah yang tergenang air dari luapan sungai cukup banyak. Banjir Jakarta menurut laporan warta CNNIndonesia, hingga Rabu (5/3/2025) sebanyak 89 RT terendam banjir. Sementara itu, banjir Bekasi dari pemberitaan Tempo.com yang dilaporkan pada Kamis (6/3/2025), sebanyak 10 dari 12 kecamatan terendam banjir.

Dosen Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Ir. Indrawati , M.T., menyampaikan bahwa air mengalir itu tidak dapat dibatasi oleh daerah administrasi yang kemudian disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Aliran tersebut mengalir dari hulu melewati wilayah-wilayah hingga akhirnya air mengalir ke laut. Wilayah yang dilewati itu akan dipengaruhi oleh kondisi air tersebut.

Dia memberikan permisalan banjir yang bisa terjadi. Meskipun daerah tangkapan air (catchment area) itu di Tawangmangu itu baik-baik saja tidak pernah banjir meskipun rusak, tetapi yang menerima banjir adalah Solo.

Indrawati menyebut terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banjir, di antaranya adalah aspek curah hujan atau iklim, tata guna lahan, dan faktor perilaku manusia. Dari aspek tata guna lahan, apabila run off tinggi maka akan semakin menyebabkan banjir. Sedangkan saat ini telah ada kebijakan Zero Delta Q Policy yaitu kebijakan tata ruang yang mengatur agar tidak ada penambahan debit air ke sistem saluran drainase atau sungai.

Dia menyebut kebijakan ini mensyaratkan bahwa pembangunan di kawasan atas itu tidak boleh membuang air ke badan air umum. Artinya apabila datang air di wilayah tersebut, air juga harus diresapkan di wilayah tersebut, tidak boleh dibuang.

“Hanya saja implementasinya yang kadang-kadang itu masih agak sulit. Sulitnya itu karena sudah banyak keterlanjuran,” tutur Indrawati, Kamis (6/3/2025).

Selanjutnya dosen Arsitektur UMS itu mengibaratkan pembangunan daerah aliran sungai, sedangkan di sungai terdapat bantaran sungai yang tujuan sebenarnya merupakan wadah untuk banjir. Selain bantaran sungai, terdapat pula sempadan sungai yaitu sisi sungai yang bukan wilayah air.

“Permasalahannya di Bekasi, Jakarta, dan kota-kota lainnya itu kan tidak ada, bantaran sudah menjadi pemukiman semua. Jangankan sempadan sungai, bantaran saja sudah tidak ada, sudah jadi pemukiman. Kalau ada air, airnya mau lari ke mana?” kritiknya.

Dari sisi tata ruang, Indrawati menyebut bahwa sempadan sungai sudah ada petanya. Jadi, misal sempadan sungai tidak boleh dibangun rumah, maka seharusnya tidak boleh membangun rumah di lokasi tersebut. Dalam rencana detail tata ruang kota terdapat aturan akan hal yang dilarang atau diperbolehkan membangun untuk suatu peruntukkan yang biasanya dengan kategori diizinkan, terbatas, bersyarat, atau tidak diizinkan sama sekali.

“Tapi realitanya sudah terbangun. Nah pada waktu sudah terbangun kalau kemudian pemerintah itu menjadikan sebagai kewajiban untuk mengembalikan fungsi lahan yang sudah ditetapkan, berarti harus relokasi? Biayanya kan mahal banget,” ujar Dosen Arsitektur UMS itu.

Secara keilmuan lingkungan, untuk sungai besar telah ada ketentuan yang mengatur bahwa sempadan sungai baik bertanggul, tidak bertanggul, atau sungai yang berada di tengah pemukiman, diberikan jarak sekian meter dari bibir sungai. Namun, pada kasus budaya lokal yang manusia hidup di atas sungai seperti di Kalimantan, sungai tidak ada batasnya. Di daerah seperti demikian, batas-batas sempadan sungai akan sulit untuk diimplementasikan.

“Kalau di masyarakat perkotaan yang sekarang itu bukan orang air lagi, kehidupan di darat, tapi karena tidak punya rumah atau lahan akhirnya (hidup) di tepi air. Sebetulnya bisa dipindah, tetapi biayanya (social cost) untuk memindah besar sekali,” tambahnya.

Untuk pembangunan suatu lahan telah ada sistem perizinan apakah suatu kegiatan mendapatkan izin atau tidak yaitu melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).

“Kalau izin, artinya belum terjadi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi kalau sudah terjadi maka pengendalian yang seharusnya bergerak,” tutur dia.

Dia menyimpulkan bahwa rencana tata ruang sudah baik, tetapi implementasinya yang masih menemui banyak kendala. Selain itu, tata ruang memiliki ketentuan untuk di review paling tidak 5 tahun sekali. Hasil review akan bisa mengatakan apakah perlu direvisi atau tidak. Dia menekankan, tata ruang wajib direview karena dinamika perkembangan kota itu sangat cepat.

Indrawati juga menyoroti perilaku manusia yang masih tetap membuang sampah sembarangan dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir.

Langkah atau solusi yang bisa dilakukan untuk menanggulangi banjir dari pandangan Indrawati di antaranya adalah dengan sistem drainase yang baik. Konsep drainase adalah untuk secepatnya mengeringkan area. Tapi apabila air jatuh di wilayah atas maka akan segera dialirkan ke daerah dataran rendah yang kemungkinan akan menyebabkan banjir.

Untuk itu sebaiknya menggunakan pendekatan drainase ekologis. Drainase ekologis dilakukan dengan membuat resapan-resapan seperti biopori, sumur resapan, embung atau kolam retensi. Sehingga apabila ada air akan bisa ditampung sementara dan kemudian meresap ke dalam tanah. Air yang tidak mampu diresapkan atau limpasan air akan mengalir ke sungai.

Sebelumnya, Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan telah mengimplementasikan dengan membuat banyak drainase ekologis dan dampaknya adalah banjir di Jakarta dapat berkurang.

Keuntungan lain dengan implementasi drainase ekologis adalah untuk rainwater harvesting (panen air). Indrawati mengatakan ketika air selalu dipompa untuk digunakan berbagai kegiatan, maka akan habis. Kehadiran sumur resapan dan kolam retensi ataupun biopori adalah dalam rangka untuk menambah air (water recharging).

Dosen Arsitektur UMS itu juga merespon positif apabila dilakukan penggalian atau pengerukan sungai dan membuat sungai buatan.

“Kalau memang volume yang harus dibuang itu sekian dalam satu jam, berarti ini aliran harus sekian debit per menit, misalkan, ya dibuat saluran dengan kapasitas segitu,” kata dia.

Hanya saja karena itu Jakarta dan Bekasi adalah kota besar, tambahnya, akan sulit untuk mencari lahan yang ditujukan untuk membuat sungai buatan. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!