JAKARTA, MENARA62.COM – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) bersama Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi, Whistle Blowing System (WBS), dan Penanganan Benturan Kepentingan pada Senin (25/04).
Sosialisasi ini dilakukan untuk mendukung implementasi core value Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 2021 lalu. ASN harus berAKHLAK, yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.
Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Diktiristek Nizam menjelaskan bahwa sangat penting untuk memastikan perguruan tinggi dapat menjadi zona berintegritas, bebas korupsi, bersih, dan memiliki semangat memberikan pelayanan bagi setiap mahasiswa dan pemangku kepentingan.
“Ditjen Diktiristek sejak dua tahun lalu sudah mencanangkan semboyan SIGAP MELAYANI yang merupakan akronim dari pelayanan dengan Senyum dan Semangat, Integritas, Gotong-royong, Amanah, dan Profesional. Berbagai transformasi sudah dilakukan untuk mewujudkan semangat SIGAP Melayani, seperti sistem layanan yang berbasis daring, transparansi layanan yang dipantau oleh pengusul, dan pembayaran secara cashless,” jelasnya.
Sosialisasi ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Girsang dan Pemeriksa Gratifikasi dan Pelayanan Publik Utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Indra Furqon.
WBS merupakan mekanisme pengaduan dugaan tindak korupsi yang telah terjadi maupun akan terjadi yang melibatkan pegawai dan orang lain di organisasi tempat kerjanya, yang mana pelapor tersebut bukan bagian dari pelaku tindakan tersebut.
Pada paparannya, Chatarina mengungkapkan berdasarkan data penilaian integritas KPK pada 2021, hanya 38,3% pegawai di seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintahan daerah yang berani melaporkan tindakan korupsi yang mereka lihat dan dengar. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan budaya antikorupsi. Hal ini dikarenakan pihak yang berpotensi mengetahui adanya tindakan yang bersifat koruptif berasal dari pihak internalnya sendiri, termasuk LSM, sebab korupsi termasuk kejahatan yang terorganisir, sistematis, serta tidak dapat dilakukan sendiri, baik sebagai pemberi atau penerima gratifikasi. Terkait sanksi, Itjen merekomendasikan pemberian hukuman disiplin, pengembalian kerugian negara, dan pelimpahan wewenang kepada aparat penegak hukum.
“Peran whistle blower sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. Oleh karena itu, jika menemukan indikasi pelanggaran di lingkup tempat kita bekerja, segera laporkan. Identitas pelapor akan dilindungi,” ujar Chatarina.
Sedangkan Furqon menjelaskan bahwa menurut survei partisipasi publik tahun 2019, hanya 13% responden dari segmen pemerintah yang pernah melapor adanya praktik gratifikasi. Padahal, tindakan gratifikasi ditemukan pada 91% instansi yang mengikuti survei. Furqon menganggap rendahnya angka pelaporan gratifikasi ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman, ataupun khawatir berdampak buruk bagi dirinya pribadi.
Menurut Furqon, seharusnya semua pejabat memiliki integritas. Setiap pejabat pemerintahan diharapkan juga dapat bertindak sesuai norma, etika, dan perilaku yang baik serta mampu untuk mencerminkan citra positif pada penerima layanan.
“Jika tidak dapat menolak upaya-upaya yang diindikasikan merupakan gratifikasi, maka terima lalu laporkan sebelum 30 hari kerja di aplikasi mobile Gratifikasi OnLine (GOL KPK) untuk menjaga integritas kita,” ungkapnya.
Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Sesditjen) Tjitjik menyampaikan bahwa orientasi pelayanan publik yang berkualitas dan profesional sebaiknya bukan hanya dijadikan sebagai sekadar jargon, melainkan perlu dimaknai dengan baik oleh setiap Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Perilaku yang bersih, jujur, dan amanah merupakan harga mati yang harus dipenuhi bagi setiap insan terutama bagi setiap Aparatur Sipil Negara yang bertugas sebagai agen yang memberikan daya dukung (supporting agents) dalam melaksanakan program-program pemerintah, sehingga dalam pemenuhannya harus dipastikan bahwa setiap agen-agen pemerintah ini bertugas dengan standar operasional yang jelas, sistem yang terstruktur dan terukur dengan baik, standar pelayanan yang prima, kinerja yang profesional, serta menghindarkan diri dari perilaku koruptif yang dapat merusak tujuan program pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance),” ungkap Tjitjik.
Sosialisasi secara simultan dan berkesinambungan dapat menjadi suatu wadah untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan membentuk sebuah pemahaman serta kesadaran kolektif bahwa mewujudkan sebuah unit kerja yang terbebas dari perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan demi tata kelola institusi yang lebih baik, pelayanan yang prima, dan profesional.