JAKARTA, MENARA62.COM – Persoalan Pesantren Al Zaytun bergulir terus. Kini, bahkan Syeikh Abdussalam Panji Gumilang, pimpinan Pesantren Al Zaytun di Indramayu yang berdiri sejak 1999 itu menghadapi perkara hukum ditangani oleh Bareskrim Polri, masalah administrasi di Kementerian Agama (Kemenag) dan sikap dari MUI Indramayu dan PWNU Jawa Barat yang mengharamkan pengiriman santri ke Pesantren Al Zaytun.
Ditambah dengan adanya tim investigasi Pemprov Jawa Barat bahkan Gubernur Jawa Barat dan MUI Jawa Barat yang merekomendasikan agar pesantren pimpinan Panji Gumilang itu dibubarkan. Tapi mungkinkah Al Zaytun dibubarkan?
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan sesuai UU Pesantren, pembubaran atau pencabutan izin Pesantren mungkin dilakukan oleh Kemenag tapi harus berdasarkan ketentuan hukum.
“Indonesia adalah negara hukum, siapapun tanpa kecuali harus melaksanakan dan mengikutinya dengan benar. UU Pesantren memberikan hak untuk mengizinkan berdirinya Pesantren atau mencabut izin Pesantren kepada Kemenag. Dan Kemenag sudah pernah mencabut izin pesantren di Bandung (Pesantren Manarul Huda) dan pesantren di OKU Sumsel (Pesantren Darul Ulum) karena kejahatan moral yang dilakukan pimpinan Pesantren, yang sudah dibuktikan kesalahannya secara hukum,” ucap Hidayat dalam keterangannya, Selasa (4/7).
Anggota Komisi Agama (VIII) DPR RI itu mengingatkan masalah kontroversi pimpinan Ponpes Al Zaytun sudah lama meresahkan dan menjadi perhatian masyarakat. Hal demikian selain karena berbagai masalah itu disampaikan secara terbuka oleh Panji Gumilang sendiri maupun yang disimpulkan oleh Ketua MUI Indramayu dan PWNU Jawa Barat yang berujung pada kesimpulan mereka mengharamkan pengiriman santri ke pesantren tersebut.
“Seperti kontroversi Panji Gumilang yang menyebut Al-quran bukan kalam Allah, tapi kalam Nabi karena Allah tidak berbahasa Arab. Itu masalah mendasar karena iman kepada kitab-kitab Allah termasuk Al Quran adalah bagian dari rukun Iman. Bila dinyatakan bahwa Al Quran bukan kalam Allah tapi kalam Nabi yang juga makhluk, maka itu mendown-grade Al Quran dan menyamakannya dengan kreasi makhluk yang lain, itu sudah keluar dari aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang berlaku di pesantren-pesantren yang mu’tabar (standar) di Indonesia,” kata Hidayat.
Panji Gumilang juga dikabarkan menyuarakan bahwa ibadah Haji, salah satu rukun Islam itu, tidak harus ke Makkah, bisa di Indonesia, karena Indonesia juga tanah yang suci. Menurut Hidayat pandangan itu jelas tidak benar dan menyimpang dari ajaran Rasulullah dan Ulama-ulama Islam, serta kitab-kitab mu’tabar yang diajarkan di semua Pesantren di Indonesia.
“Maka kasihan para Santri bila terkait dengan rukun Iman dan rukun Islam saja diajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip ajaran Agama Islam yang berlaku di Pesantren. Ditambah lagi dengan berbagai kontroversi bermasalah dari ajaran Panji Gumilang yang disuarakan secara terbuka seperti melaksanakan salat Idul Fitri ada bercampur pria dan wanita di shaf pertama yang juga dihadiri nonmuslim. Kemudian salat dibuat berjarak dengan alasan bau badan, dan cara melantunkan azan, pendapatnya soal Masjid, salam dengan bahasa Ibrani (Yahudi) serta pernyataannya soal “madzhab Soekarno” tuturnya.
“Semakin lama Panji Gumilang malah makin berani mendemonstrasikan sikap dan tindakan beliau yang tidak sesuai dengan mainstream Pesantren dan sikap beragama Umat Islam di Indonesia umumnya. Panji Gumilang tidak mengambil ibrah (pelajaran) bahwa selama ini tidak ditindak oleh Hukum atas berbagai kontroversi yang terjadi sebelumnya, padahal Panji Gumilang sebagaimana diakuinya sendiri, pernah dikurung ditahan selama 10 bulan dipenjara, itu pada tahun 2015 karena kasus “pemalsuan” dokumen Yayasan Pendidikan Islam (YPI),” bebernya.
HNW mendukung langkah Kepolisian, Kemenag, MUI Pusat, MUI Kabupaten Indramayu, dan Gubernur Jawa Barat menangani kasus Panji Gumilang dengan serius, termasuk mengambil tindakan hukum yang tegas sesuai prinsip Indonesia sebagai negara hukum, juga untuk mengkoreksi kontroversi ajaran yang dinyatakan oleh Panji Gumilang pimpinan pesantren Al-Zaytun.
“Saya apresiasi langkah hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, apalagi otoritas keagamaan (MUI dari Kabupaten, Provinsi dan Pusat) juga sudah menyampaikan sikapnya. Sekarang bahkan Bareskrim sudah memanggil dan memeriksa Panji Gumilang, dan sudah menaikkan ke tingkat penyidikan. Artinya proses hukum dijalankan. Dan begitulah yang semestinya dahulu juga dilakukan terhadap HTI dan kemudian FPI. Karena Indonesia adalah Negara Hukum yang mengakui pentingnya keadilan hukum dengan segala prosesnya. Hal yang sangat perlu dilakukan dan dibuktikan oleh penegak hukum termasuk dari Kepolisian,” ucap HNW.
“Apabila Panji Gumilang terbukti bersalah secara hukum, dan kembali terkena sanksi hukum, maka tugas Kemenag untuk memberlakukan kewenangannya bersama Pemprov Jawa Barat, dan MUI serta para Ulama/Ormas Islam agar mempersiapkan langkah-langkah terkait kelanjutan Pendidikan Agama dan nasib santri dan pesantren Al Zaytun sebagai Pesantren yaitu lembaga pendidikan Agama Islam agar tak lagi mengajarkan hal-hal yang kontroviersial, tidak baku di Pesantren, dan menimbulkan kegaduhan di tengah Umat,” pungkasnya.
Pesantren, lanjut Hidayat mestinya hanya mengajarkan kepada para santrinya hal-hal yang sesuai dengan ajaran dan spirit Pesantren dalam berbagai jenisnya yang diakui oleh UU Pesantren, dalam rangka meningkatkan keimanan, ketakwaan, ilmu serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai ketentuan UUD 1945. (*)