Kasus kriminalisasi terhadap Kolonel Inf. (purn) Eka Yogaswara, salah satu ahli waris Bek Musa, pemilik lahan di Jalan Tendean 41 Jakarta, sudah memasuki babak akhir persidangan. Agus Sasongko, penasehat hukum Eka, sudah membacakan duplik atas replik yang dibuat oleh oditur militer di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Berikut isi duplik yang dibacakan Agus Sasongko.
Kepada Majelis Hakim Yang Kami Muliakan,
Kepada Oditur Militer Tinggi yang Kami hormati,
Bahwa kami memaklumi Oditur yang dengan segala daya upaya telah berusaha untuk menemukan kebenaran ditinjau dari sudut kepentingannya sebagai Penuntut Umum, yaitu dari pandangan subyektif dan dari posisi yang obyektif dari perkara yang dihadapi sekarang ini. Berbeda dengan kami selaku Penasihat Hukum terdakwa yang menilainya dari pandangan yang obyektif, namun dari posisi yang subyektif ;
Bahwa oleh karena itu setelah mempelajari dan mencermati konstruksi Replik Oditur Militer Tinggi yang dibacakan di persidangan pada tanggal 21 Oktober 2025, sebenarnya apa yang didakwakan maupun apa yang dituntutkan oleh Oditur sangatlah tidak terbukti baik berdasarkan bukti-bukti maupun berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, namun demikian demi menemukan kebenaran materiil yang sejati, kami akan berusaha mengulas dan menganalisa materi Replik Oditur;
Kepada Majelis Hakim Yang Kami Muliakan,
Kepada Jaksa Penuntut Umum yang Kami hormati,
Bahwa pada dasarnya KUHAP secara implisit tidak memuat ketentuan mengenai pengertian Replik, namun secara umum Replik memuat dalil-dalil atau hak-hak tambahan untuk menguatkan tuntutannya yang diajukan Oditur sebelumnya. Oditur akan membantah atau menyangkal atau menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh terdakwa atau Penasihat Hukumnya melalui Nota Pembelaan. Dalam menyusun Replik, Oditur seharusnya menginventarisasi inti atau poin-poin Nota Pembelaan sebagai bantahan atau sanggahan namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Oditur.
Setelah kami membaca materi Replik Oditur, kami melihat Oditur tidak memuat sanggahan atau bantahan secata terperinci dan sistematis atas Nota Pembelaan Penasihat Hukum maupun terdakwa, sehingga Replik Oditur sangat bias, kontradiktif, membingungkan dan kabur. Selain itu Oditur tidak menunjukkan bagaimana bukt-bukti menolak atau mematahkan pembelaan kami dan Oditur tidak menjelaskan kembali bagaimana perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur pidana yang didakwakan sesuai dengan undang-undang, sehingga Replik Oditur sama saja melemahkan pembuktian dakwaannya.
Kami menilai materi Replik Oditur hanya berupa pengulangan-pengulangan atau copy paste baik dari Nota Pembelaan kami, maupun dari isi surat Dakwaan dan isi Berita Acara Pemeriksaan, sehingga tidak ada hal-hal baru yang bisa dijadikan penguat atas Dakwaannya. Di dalam Repliknya, Oditur tidak menegaskan kembali fakta-fakta yang terungkap di persidangan disertai bukti-bukti yang menguatkan Dakwaan namun justru mengakui keterangan para saksi dan para ahli yang menguntungkan terdakwa dan tidak ada satupun yang dibantah atau disangkal oleh Oditur.
Sementara para saksi yang memberatkan terdakwa tidak dimuat kembali oleh Oditur di dalam Repliknya sebagai bantahan, yang artinya para saksi tersebut tidak dapat membantah atau melemahkan para saksi dan para ahli yang menguntungkan terdakwa. Kami menilai Replik Oditur secara yuridis justru melemahkan Dakwaan maupun Tuntutannya sendiri, karena tidak ada satupun dalil-dalil Pledooi kami yang dibantah atau disangkal atau ditolak oleh Oditur dengan menyebutkan alasan yuridisnya.
Ini artinya Oditur justru mendukung atau sependapat dengan dalil-dalil Pledooi kami sehingga kesimpulannya Oditur tidak berhasil membuktikan Dakwaannya baik Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua. Dengan demikian permintaan Oditur kepada Majelis Hakim agar menjatuhkan pidana terhadap terdakwa sesuai dengan tuntutannya menjadi kontradiktif dengan isi Repliknya dan oleh karenanya Replik Oditur patut untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai hal yang membebaskan Terdakwa dari segala Dakwaan Oditur.
BANTAHAN TERHADAP REPLIK ODITUR
- Bahwa dalam perkara a quo terdapat beberapa dalil Nota Pembelaan Penasihat Hukum maupun terdakwa yang tidak dibantah atau disangkal atau ditolak oleh Oditur, yaitu sebagai berikut: a) Legal standing terdakwa sebagai salah satu pemilik atau ahli waris dari pemilik tanah yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan, sesuai bukti Girik C No. 585, atas nama Muh. Musa Bin Muhidi dan sesuai bukti Girik C No. 175, atas nama Dul Salam Bin Achmid; b) Legal Standing saksi Tessa Elya Andriyana Wahyudi sebagai Pelapor mewakili Perum PFN adalah ilegal; c) Legal Standing Perum PFN sebagai korban atau pihak yang dirugikan atau sebagai pemilik Hak Pakai No. 75 adalah ilegal; d) Bukti Girik C No. 585 dan Girik C No. 175 yang sampai saat ini masih berlaku dan belum pernah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; e) Terungkapnya bukti janji bayar dari Departemen Penerangan kepada para ahli waris, tertanggal 26 Juli 1985 dan tanggal 11 Maret 1987; f) Pengakuan saksi EDDY NOOR, SH., Direktur Utama Perum PFN Periode 2001–2011 mengenai kebenaran adanya janji bayar Departemen Penerangan kepada para ahli waris; g) Adanya butki Perjanjian Perdamaian antara para ahli waris dengan Departemen Penerangan dalam perkara perdata tahun 1998; h) Adanya sebagian bidang tanah Tendean 41 yang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yaitu sesuai Girik C No. 585, seluas 4.350 m2, atas nama Muh. Musa Bin Muhidi; i) Adanya bukti putusan perdata yang amar putusannya tidak secara tegas dan jelas berbunyi “Menghukum para ahli waris untuk mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkannya kepada Departemen Penerangan maupun kepada Perum PFN”; j) Adanya bukti putusan perdata yang amar putusannya tidak secara tegas dan jelas berbunyi “Menyatakan menurut hukum bahwa Girik c No. 585 dan Girik C No. 175 tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum”; k) Asal tanah Hak Pakai No. 75 adalah bekas tanah Milik Adat bukan eigendom verponding No. 6934, berdasarkan bukti Akta Jual Beli No. 17, tanggal 3 Agustus 1960 dan berdasarkan bukti akta Pelepasan Hak Tanah No. 17, tanggal 29 Desember 1960; l) Batas-batas tanah Hak Pakai No. 75 adalah tanah Milik Adat bukan eigendom verponding No. 6934, berdasarkan bukti surat Kantor Pertanahan Kota Jakarta Selatan, tanggal 17 Januari 2018; m) Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75 adalah atas nama Departemen Penerangan RI bukan Perum PFN; n) Tidak ada Surat Keputusan dari Menteri Keuangan tentang persetujuan peralihan atau pemindahtanganan Hak Pakai No. 75 dari Departemen Penerangan kepada Perum PFN; o) Tidak ada Surat Keputusan dari Kepala Kantor Agraria tentang persetujuan peralihan atau pemindahtanganan Hak Pakai No. 75 dari Departemen Penerangan kepada Perum PFN; p) Tidak ada Surat Keputusan dari Menteri Penerangan tentang peralihan Hak Pakai No. 75 dari Departemen Penerangan kepada Perum PFN; q) Tidak adanya peralihan Hak Pakai No. 75 dari Departemen Penerangan kepada Perum PFN, berdasarkan bukti surat Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, tanggal 13 November 2024; r)Letak eigendom verponding No. 6934 tidak berada di Tendean 41, berdasarkan bukti surat Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, tanggal 20 november 2007, yang pada pokoknya menerangkan bahwa HGB No. 263, seluas 14.145 m2, atas nama PT. Pertamina, yang terletak di Jl. Kapten Tendean, Kuningan Barat, Mampang Prapatan, asal tanah Negara bekas eigendom verponding No. 6934 dan berdasarkan bukti Sertifikat HGB No. 940, luas 1.436 m2, atas nama PT. Town And City Properties, terletak di Jl. Taman Patra, Kuningan Timur, Setiabudi, asal tanah Negara bekas eigendom verponding No. 6934;
- Bahwa Replik Oditur pada halaman 20, huruf a yang pada pokoknya mendalilkan bahwa terdakwa tidak menjelaskan bukti kepemilikan atas tanah Tendean 41 kepada saksi Eddy Noor, SH. serta testimoni saksi Eddy Noor, SH. dihadapan Notaris tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, dapat kami tanggapi sebagai berikut: a) bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang dikuatkan oleh bukti saksi dan bukti surat telah terbukti bahwa Terdakwa adalah salah satu ahli waris dari pemilik tanah Tendean 41, sesuai Girik C No. 585 dan sesuai Girik C No. 175; b) Bahwa testimoni saksi Eddy Noor, SH. dihadapan Notaris adalah sah sebagai alat bukti karena diakui, dibenarkan dan dinyatakan langsung oleh saksi EDDY NOOR, SH., di depan persidangan dan tidak dibantah oleh para saksi dari Perum PFN;
- Bahwa Replik Oditur pada halaman 20, huruf c yang pada pokoknya mendalilkan bahwa Girik bukan alas hak kepemilikan tanah dan perkara perdata sudah selesai serta tawaran terdakwa kepada Perum PFN tidak masuk akal, dapat kami tanggapi sebagai berikut: Pertama) Bahwa Girik merupakan bukti penguasaan atau hak atas tanah, berdasarkan: a) Penjelasan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi: “Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA….. dst. Salah satu alat bukti tertulis sebagaimana yang dimaksudkan pada huruf K adalah: Petuk Pajak Bumi/ Landrente, Girik, Pipil, Kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlaku PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah”; b) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 803 K/ Sip/ 1970, tanggal 5 Mei 1971, yang intisarinya berbunyi: “apabila ternyata dalam buku Letter C Desa ternyata bahwa orang yang namanya tercantum di dalamnya telah membeli tanah yang bersangkutan dan di samping itu terdapat pula keterangan pajak hasil bumi dari pada tanah tersebut atas nama orang yang namanya tercantum dalam buku Letter C itu maka terbuktilah dengan sah, bahwa orang tersebut adalah pemilik tanah yang bersangkutan”; c) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 319 K/ Sip/ 1971, tanggal 26 Januari 1972 yang intisarinya berbunyi: “Hanya apabila nama orang tercantum di dalam surat ketetapan pajak hasil bumi adalah sesuai dengan nama yang tercantum di dalam buku Leter C, sedang di dalam buku Letter C itu dengan jelas disebutkan sebab-sebab perpindahan hak atas tanah yang bersangkutan dari orang yang namanya sebelumnya tercantum di dalam buku Letter C itu dapat dinyatakan sebagai pemilik”; Kedua) Bahwa perkara perdata dalam kasus tanah Tendean 41 antara para ahli waris Dul Salam Bin Achmid dengan Departemen Penerangan dan Perum PFN secara yuridis belumlah selesai karena Departemen Penerangan maupun Perum PFN sampai saat ini belum mengajukan eksekusi pengosongan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan isi bunyi amar putusan perdatanya. Eksekusi pengosongan atau pelaksanaan putusan pengadilan merupakan salah satu dari beberapa rangkaian Hukum Acara Perdata yang wajib dilalui oleh para pihak yang bersengketa. Apabila ekseksusi pengosongan belum ditempuh, maka status hak atas kebendaan belum sempurna menjadi hak miliknya dan eksekusi pengosongan yang belum ditempuh secara yuridis tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum pidana, sebagaimana perkara a quo. Selain itu ada sebagian tanah Tendean 41, sesuai Girik C No. 585, seluas 4.350 m2, atas nama Muh. Musa Bin Muhidi yang sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai satus kepemilikannya; Ketiga) Bahwa mengenai tawaran terdakwa kepada Perum PFN dalam rangka Restorative Justice di mana Terdakwa bersedia menyerahkan tanah Tendean 41 kepada Perum PFN asal tanahnya dibayar sesuai janjinya adalah tawaran yang sangat masuk akal dan manusiawi karena berdasarkan bukti-bukti yang terungkap di persidangan faktanya tanah Tendean 41 belum dilakukan pembayaran atau penyelesaian berdasarkan bukti surat janji bayar Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 26 Juli 1985 dan bukti Surat Pernyataan Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 11 Maret 1987 PFN serta bukti SK Gubenrur DKI Jakarta, tanggal 27 Mei 1987, sehingga sangatlah wajar apabila terdakwa dan para ahli waris yang lain tetap mempertahankan hak keperdataannya dan patut untuk dilindungi oleh hukum. Justru tawaran Perum PFN kepada terdakwalah yang tidak nalar dan ilegal karena atas dasar hukum apa Perum PFN tanpa alas hak yang sah mengaku sebagai pemilik tanah Tendean 41 menuntut pengembalian tanahnya serta menuntut ganti rugi kepada terdakwa, sementara Perum PFN secara yuridis bukanlah pemilik tanah karena Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75 tercatat atas nama Departemen Penerangan, bukan Perum PFN dan berdasarkan bukti surat Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, tanggal 13 November 2024, diterangkan bahwa terhadap Hak Pakai No. 75 belum terdapat catatan peralihan hak kepada PT. PFN/ Perum PFN;
- Bahwa Replik Oditur pada halaman 20, huruf d yang pada pokoknya mendalilkan bahwa Perum PFN tidak ada kegiatan dikarenakan tanah Tendean 41 dikuasai oleh terdakwa dan di tanah Tendean 41 ada security/ pengamanan dari Perum PFN, dapat kami tanggapi sebagai berikut: a) Bahwa terdakwa baru menguasai tanah Tendean 41 secara intens adalah sejak tahun 2004, meneruskan penguasaan dari ahli waris istri pertama Muh. Musa Bin Muhidi, yang bernama Haji Syukur yang menguasainya sejak tahun 1995, sebagaimana keterangan saksi Suriyah, yang pada pokoknya menerangkan bahwa saksi dan suami sejak tahun 1995 sudah berjualan di depan lahan Tendean 41 dan tidak pernah melihat Perum PFN beraktifitas atau berkantor di Tendean 41 dan berdasarkan keterangan saksi BAHRUDIN yang pada pokoknya menerangkan bahwa terdakwa menguasai tanah Tendean 41 adalah pada tahun 2004 meneruskan penguasaan dari ahli waris istri pertama Muh. Musa Bin Muhidi, yang bernama Haji Syukur dan saksi tidak pernah melihat Perum PFN beraktifitas atau berkantor di Tendean 41. Hal ini dikuatkan oleh keterangan saksi Eddy Noor, SH., selaku Dirut Perum PFN Periode 2001-2011, yang pada pokoknya menerangkan bahwa baik Departemen Penerangan maupun Perum PFN selama ini tidak pernah beraktifitas atau berkantor atau berdinas di tanah Tendean 41. Dengan demikian baik Departemen Penerangan maupun Perum PFN selama ini memang tidak pernah berkegiatan atau berdinas atau berkantor di lahan Tendean 41; b) Bahwa tanah Tendean 41 sejak tahun 2004 dijaga oleh orang atas suruhan terdakwa yang sebelumnya dijaga oleh saksi Bahrudin dan orang-orang atas suruhan ahli waris dari istri pertama Muh. Musa Bin Muhidi, yang bernama Haji Syukur. Dengan demikian tidak benar ada seseorang yang bernama Edy Soeryono ditugaskan oleh Perum PFN sebagai penjaga tanah Tendean 41 karena berdasarkan keterangan saksi Suriyah, Saksi Bahrudin dan keterangan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan bahwa tidak ada orang yang namanya Edy Soeryono yang menjaga tanah Tendean 41. Faktanya Edy Soeryono adalah Pimpinan Produksi Film, Produser Film dan seorang Sutradara Film sehingga sangat mustahil seorang profesional bekerja sebagai penjaga lahan Tendean 41;
- Bahwa Replik Oditur pada halaman 21, huruf i yang pada pokoknya mendalilkan bahwa keterangan saksi Bahrudin yang menerangkan sejak tahun 2004 saksi menjaga Tendean 41 atas suruhan Haji Syukur tidak relevan dan tidak berkaitan dengan surat Dakwaan, dapat kami tanggapi bahwa justru keterangan saksi Bahrudin tersebut adalah untuk membuktikan bahwa sejak tahun 2004 tidak ada penjaga lahan yang bernama Edy Soeryono, dan sebelum tahun 2004 tanah Tendean 41 sudah dikuasai oleh Haji Syukur bukan Perum PFN serta terdakwa secara intens baru menguasai Tendean 41 menggantikan Haji Syukur adalah sejak tahun 2004. Dengan demikian keterangan saksi Bahrudin sangat relevan dengan Dakwaan Oditur guna membuktikan sejak kapan terdakwa menguasai Tendean 41 dan apakah benar ada seseorang yang bernama Edy Soeryono sebagai penjaga lahan Tendean 41;
- Bahwa di dalam Repliknya Oditur menilai bahwa saksi Budi Waluyo, saksi DRS. M. Basmi Sarman, saksi Yazid Indira Jaya, saksi Rinaldi Andrian Rahman dan saksi Rusmin hanya “testimoni” adalah dalil yang menyesatkan. Kami tidak mengerti apa yang di maksud dengan “testimoni” tersebut karena faktanya justru keterangan para saksi tersebut menguatkan atau mendukung alat bukti lain baik berupa saksi-saksi, para ahli maupun bukti surat-surat. Para saksi tersebut juga saling bersesuaian dengan para saksi yang lain dan tidak berdiri sendiri. Kami melihat Oditur sangat kedodoran dan kewalahan dalam menangkis keterangan para saksi yang mayoritas telah menguntungkan terdakwa berdasarkan bukti-bukti yang sah. Dengan demikian para saksi tersebut berhasil mematahkan dalil-dalil Oditur yang termuat di dalam surat dakwaannya;
- Bahwa Replik Oditur pada halaman 21, yang pada pokoknya mendalilkan bahwa jawaban Ahli Hukum Pidana, DR. Alfitra, SH., MH. adalah tidak jelas, merupakan dalil yang sesat menyesatkan karana pendapat Ahli Hukum Pidana tersebut sangatlah jelas, sistematis, terperinci dan runtun dalam memberikan pendapatnya sesuai keahliannya. Justru Oditurlah yang tidak fokus dalam memahami dan mencerna pendapat Ahli tersebut. Jika Oditur menilai pendapat Ahli tersebut tidak jelas, maka seharusnya Oditur memanfaatkan Ahli tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna menggali dan menemukan kebenaran materiil dibalik kebenaran formiil atas bukti-bukti yang dimiliki oleh Oditur, bukannya malah diam seribu bahasa tidak mengajukan pertanyaan kepada Ahli yang seolah-olah pengetahuan Oditur mengenai Ilmu Hukum Pidana lebih pintar dibanding Ahli tersebut. Pendapat apapun yang disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana tersebut sudah barang tentu terekam dan tercatat dalam Berita Acara Sidang dan bisa menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkaranya sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan;
- Bahwa lagi-lagi Oditur dalam Repliknya telah melakukan manipulasi persidangan terhadap pendapat Ahli Hukum Perdata Dan Agraria, DR. H. Nahrowi, SH., MH., dengan menyatakan bahwa “persidangan pidana tidak dilarang menafsirkan bunyi amar putusan perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Kami persilahkan Oditur untuk membuka kembali rekaman sidang dan dengarkan dengan seksama pendapat Ahli tersebut yang jelas-jelas berpendapat bahwa persidangan pidana dilarang menafsirkan bunyi amar putusan perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jika Oditur tidak sependapat dengan para ahli yang diajukan oleh terdakwa, maka semestinya Oditur juga mengajukan ahli hukum guna saling diuji kebenaran masing-masing ahli berdasarkan keilmuannya, bukannya malah menyerang ahli dengan cara memutarbalikkan pendapat ahli. Sikap Oditur inilah yang dapat dinilai telah bertindak tidak jujur, tidak adil, melanggar hukum dan merugikan terdakwa, sebagaimana bunyi Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI;
- Bahwa di dalam Replik halaman 26, Oditur dengan kejamnya lagi-lagi telah melakukan manipulasi persidangan bahkan telah memfitnah terdakwa dengan menyatakan terdakwa sudah pernah dijatuhi pidana oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta. Pertanyaan kami adalah dalam perkara pidan militer nomor berapa dan dalam tindak pidana apa serta berapa tahun terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara?? sangat tragis dan ironis sekali seorang Oditur yang sama-sama berpangkat Kolonel dengan terdakwa dengan mudahnya melakukan fitnah terhadap rekannya dengan menuduhnya telah pernah dipidana penjara. Pernyataan Oditur tersebut jelas sangat merugikan terdakwa baik materiil maupun immateriil. Sebesar apa dendamnya Oditur terhadap terdakwa seolah-olah tidak berhenti melakukan manufer hukum yang murahan. Lebih baik terdakwa ditembak mati saja dari pada difitnah yang berakibat hancurnya masa depan dan nama baik terdakwa, keluarga dan orang tua terdakwa. Apakah tindakan Oditur seperti ini pantas disebut taat dan patuh terhadap Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI ?? Justru TNI merasa tercoreng dan tercemar nama baiknya atas ulah Oditur yang memanipulasi persidangan dengan memutarbalikkan fakta persidangan dan melakukan fitnah terhadap TERDAKWA tanpa bukti. Kami tegaskan kembali bahwa bunyi putusan perkara Pidana No. 35-K/ PMT-II/ AD/ X 2016 hingga tingkat Kasasi adalah: MENYATAKAN PENUNTUTAN ODITUR MILITER TINGGI TIDAK DAPAT DITERIMA DAN MENYATAKAN KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA TERHADAP PERKARA INI HAPUS KARENA DALUWARSA. Jadi sangat berbeda antara putusan yang menyatakan tuntutan Oditur tidak dapat diterima dengan putusan yang menyatakan terdakwa dijatuhi pidana. Mohon kepada Oditur untuk membaca dengan teliti, seksama dan cermat atas bunyi amar putusan tersebut dan sekali lagi kami minta jangan ditafsirkan macam-macam sebagaimana Oditur telah menafsirkan secara sepihak bunyi amar putusan perdata yang menyatakan Perum PFN adalah pemilik Tendean 41 dan terdakwa tidak berhak untuk menduduki tanah Tendean 41. Rasanya percuma dan sia-sia saja persidangan ini digelar selama kurang lebih 8 bulan lamanya apabila dakwaan Oditur tidak serius yang isinya hanya fitnah, penafsiran, interprestasi dan pendapat saja tanpa ada muatan argumen yuridis yang memadai dan berkualitas. Ini sama saja membuang-buang uang Negara yang nota bene juga uang milik Terdakwa dan milik kita semua;
- Bahwa kami melihat Oditur sudah mengarah pada sentimen pribadi dengan melakukan pembunuhan karakter terhadap terdakwa dengan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak layak dilakukan oleh seorang prajurit dan menuduh terdakwa tidak mentaati Sumpah Prajurit khususnya poin ke-2 serta tidak patuh pada 8 Wajib TNI khususnya pada poin 5. Justru terdakwa patuh dan taat pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI dengan cara membela keadilan dan tunduk pada hukum serta tidak merugikan rakyat. Justru Oditurlah yang melanggar Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI dengan cara membohongi persidangan, memanipulasi persidangan, memutarbalikkan fakta persidangan dan mengkriminalisasi terdakwa dengan tuduhan melakukan tindak pidana penyerobotan tanah padahal Oditur sadar dan patut mengetahui jika perkara a quo sebenarnya adalah murni sengketa keperdataan, yaitu belum dilaksanakannya janji bayar atas tanah Tendean 41 dan pernah ada perjanjian perdamaian antara para ahli waris dengan Departemen Penerangan serta pada perkara perdata belum tuntas Hukum Acaranya karena sampai saat ini bunyi amar putusannya belum dilaksanakan dengan mengajukan eksekusi pengosongan pada Pengadilan Negeri. Tragisnya justru Oditur menempuh upaya pemidanaan dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan hak atas tanah Tendean 41 dan ironisnya Oditur meminta eksekusi pengosongan kepada Majelis Hakim dalam perkara a quo yang nota bene tindakan hukum eksekusi pengosongan merupakan kewenangan pengadilan perdata bukan pengadilan pidana. Tuntutan Oditur semacam itu justru membuktikan bahwa perkara a quo sebenarnya secara yuridis adalah murni perkara keperdataan namun dipaksakan masuk ke ranah pidana atau bahasa hukumnya adalah kriminalisasi. Baru-baru ini Presiden RI Bapak Prabowo Subianto dalam acara penyerahan uang sitaan kasus korupsi ekspor crude palm oil di Kejaksaan Agung RI tanggal 20 Oktober 2025 telah berpesan kepada para aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum dengan hati nurani dan rasa keadilan yang sejati serta tidak boleh mencari-cari kesalahan rakyat kecil apalagi mengkriminalisasi perkara sepele atau sesuatu yang tidak ada. Selain itu Presiden Prabowo Subianto juga berpesan bahwa aparat harus memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun sayangnya pesan Bapak Presiden tersebut diabaikan bahkan dilanggar oleh Oditur;
- Bahwa di dalam Dakwaannya, Oditur telah mendalilkan bahwa pada tahun 1952 tanah yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41 Jakarta Selatan awalnya adalah milik dari Haji Raya Bin Haji Nawi, Mohamad Hasan dan Mohamad Saleh yang kemudian dijual kepada NV. Perfini sesuai Akta Jual Beli No. 5, tanggal 29 November 1952, dihadapan Notaris R. Kadiman. Dalil tersebut kami nilai adalah sesat dan menyesatkan karena di dalam persidangan tidak terbukti secara formiil maupun materiil adanya fakta bahwa Haji Raya Bin Haji Nawi, Mohamad Hasan dan Mohamad Saleh adalah pemilik awal tanah Tendean 41 yang melakukan jual beli tanah Tendean 41 dengan NV. Perfini. Pertanyaannya adalah berasal dari mana nama Haji Raya Bin Haji Nawi, Mohamad Hasan dan Mohamad Saleh muncul dan dianggap sebagai pemilik Tendean 41 ?? Atas dasar apa Perum PFN menganggap ketiga orang tersebut adalah sebagai pemilik Tendean 41 ?? Sementara tidak ada satupun bukti dan saksi yang menerangkan bahwa benar ketiga orang tersebut adalah pemilik awal tanah Tendean 41 dan melakukan transaksi jual beli. Patut diduga nama-nama tersebut adalah fktif guna menyamarkan asal-usul perolehan tanah oleh Departemen Penerangan. Perlu diketahui bahwa kami telah bertemu dengan cucu Haji Raya Bin Haji Nawi serta para ahli waris Haji Nawi yang pada pokoknya menerangkan bahwa yang bersangkutan belum pernah mendengar jika Haji Raya Bin Haji Nawi memiliki tanah di wilayah Kuningan Barat, Mampang Prapatan (sekarang Jl. Kapten Tendean No. 41). Jika benar ketiga orang tersebut adalah pemilik awal tanah Tendean 41, maka seharusnya nama ketiga orang tersebut berikut surat-surat kepemilikan tanah termuat di dalam Akta Jual Beli No. 17, tanggal 3 Agustus 1960 antara Usmar Ismail dkk. (NV. Perfini) dengan Bank Industri Negara atau setidak-tidaknya ada bukti surat jual beli tanah Tendean 41 antara Muh. Musa Bin Muhidi dan Dul Salam Bin Achmid dengan ketiga orang tersebut, namun faktanya hal tersebut tidak ada atau tidak pernah terbukti. Ini artinya ketiga orang tersebut bukanlah pemilik awal tanah Tendean 41 dan bukan pula sebagai penjual tanah Tendean 41 kepada Usmar Ismail dkk (NV. Perfini). Selain itu jika memang benar ketiga orang tersebut adalah pemilik awal tanah Tendean 41 dan menjualnya kepada NV. Perfini, lantas mengapa Departemen Penerangan malah menerbitkan surat janji bayar, tanggal 26 Juli 1985 dan Surat Pernyataan Departemen Penerangan, tanggal 11 Maret 1987 ?? Apalagi janji bayar dan janji penyelesaian tanah Tendean 41 oleh Departemen Penerangan kepada para ahli waris dimuat di dalam dictum Menimbang huruf d Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 1.711.2/ 592/ 145/ HP/ S/ 1987, tanggal 27 Mei 1987, Tentang Pemberian Hak Atas Tanah yang nota bene SK Gubernur tersebut merupakan dasar hukum bagi terbitnya Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75, atas nama Departemen Penerangan RI;
- Bahwa sekali lagi dalam Duplik ini kami tegaskan dugaan adanya kriminalisasi baik yang dilakukan oleh Puspomad maupun oleh Oditur, berdasarkan bukti-bukti sebagai berikut: a) Surat Girik C No. 585 dan Girik c No. 175 yang sampai saat ini masih sah berlaku dan belum pernah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Surat Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 26 Juli 1985 dan Surat Pernyataan Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 11 Maret 1987; c) Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, tanggal 27 Mei 1987 yang memuat janji penyelesaian atas tanah Tendean 41 oleh Departemen Penerangan kepada para ahli waris; d) Akta Pernyataan Eddy Noor, SH., Direktur Utama Perum PFN Periode 2001–2011, tanggal 1 November 2023 mengenai kebenaran adanya janji bayar Departemen Penerangan kepada para ahli waris dalam anggaran tahun 1986; e) Perjanjian Perdamaian antara para ahli waris dengan Departemen Penerangan dalam perkara perdata tahun 1998; f) Sebagian bidang tanah Tendean 41 yang belum memiliki putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yaitu sesuai bukti Girik C No. 585, seluas 4.350 m2, atas nama Muh. Musa Bin Muhidi; g) Putusan perdata yang amar putusannya tidak secara tegas dan jelas berbunyi “Menyatakan menurut hukum bahwa Departemen Penerangan maupun Perum PFN adalah sebagai pemilik dan berhak atas obyek sengketa”; h) Putusan perdata yang sampai saat ini belum dilakukan eksekusi pengosongan oleh Pengadilan; i) Adanya perbedaan asal tanah Tendean 41 dimana berdasarkan Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75, asal tanah adalah bekas eigendom verponding No. 6934, sementara berdasarkan Akta Pelepasan Hak Tanah No. 110, tanggal 29 Desember 1960, asal tanah adalah Indonesia adat; j) Letak eigendom verponding No. 6934 tidak berada di Tendean 41, berdasarkan surat Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, tanggal 20 november 2007, yang pada pokoknya menerangkan bahwa HGB No. 263, seluas 14.145 m2, atas nama PT. Pertamina, terletak di Mampang Prapatan, asal tanah Negara bekas eigendom verponding No. 6934 dan berdasarkan bukti Sertifikat HGB No. 940, luas 1.436 m2, atas nama PT. Town And City Properties, terletak di Jl. Taman Patra, Kuningan Timur, Setiabudi, asal tanah Negara bekas eigendom verponding No. 6934; k)Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75 adalah atas nama Departemen Penerangan bukan Perum PFN; l) Tuntutan Oditur yang memerintahkan terdakwa untuk mengosongkan tanah padahal tindakan yustisial pengosongan tanah atau eksekusi merupakan kewenangan peradilan perdata bukan pidana; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka secara yuridis pada diri terdakwa tidak terbukti adanya mens rea (niat jahat) maupun actus reus (perbuatan jahat) sehingga terdakwa layak dan patut untuk dibebaskan dari segala Dakwaan;
- Bahwa sekali lagi dalam Duplik ini kami ungkapkan kebohongan-kebohongan saksi Tessa Elya Andriyana Wahyudi selaku Pelapor yang patut dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, yaitu sebagai berikut: a) Tanah Jl. Kapten Tendean No. 41 Jakarta Selatan nama pemiliknya adalah H. Raya Bin H. Nawi, Mohamad Hasan dan Mohamad Saleh; b) Gugatan ahli waris Bek Musa dimenangkan Perum PFN; c) Perum PFN menugaskan Edie Suryono menjaga tanah Tendean; d) Bangunan gedung dibangun oleh Perum PFN; e) Sejak Edi Suryono meninggal dunia pada tahun 2012 lalu Terdakwa menguasai lokasi; f) Perum PFN menguasai sampai tahun 2012 sejak Edi Suryono penjaga meninggal; g) Departemen Penerangan berubah menjadi Perum PFN karena perintah dari Pemerintah saat itu; h) Tanah Tendean 41 di BPN adalah milik Departemen Penerangan c.q. Perum PFN; i) Semua dokumen jual beli tanah sudah disampaikan kepada Penyidik Puspomad; j) Status bidang tanah di akta jual beli dan akta pelepasan hak tanah adalah eigendom verponding No. 6934; k) Di dalam akta jula beli ada nama pemilik H. Ali Raya Bin H. Nawi, Mohamad Hasan dan Mohamad Saleh; l) Perum PFN melalui sdr. Iwan Piliang telah menyatakan memiliki eigendom verponding tanah Tendean 41 namun faktanya berbohong; Bahwa demikian pula Perum PFN melalui seseorang yang bernama Iwan Piliang, telah memfitnah TERDAKWA dengan menuduh TERDAKWA telah menerima uang hasil sewa sebesar 50 Milyar tanpa ada bukti-bukti yang valid ;
- Bahwa dalam perkara a quo telah terungkap satu kebohongan lagi yang dilakukan oleh saksi Pelapor Tessa Elya Andriyana Wahyudi, saksi Ilham Aridha Putra dan saksi Iwan Setiawan yang mengarah pada dugaan memberikan keterangan palsu di bawah sumpah baik pada tingkat penyidikan maupun di depan persidangan dimana ketiga saksi tersebut pada pokoknya menerangkan bahwa “seorang penjaga lahan Tendean 41, yang bernama Edie Soeryono telah meninggal dunia pada tahun 2012 dan sejak itulah terdakwa menguasai tanah Tendean 41”. Keterangan para saksi tersebut patut diduga keras adalah palsu karena berdasarkan Surat Keputusan Kepala Unit Pengelola PMPTSP Kelurahan No. : 882/ C.20.1/ 31.74.04.1003/ 4/ TM.10.38/ e/ 2025, tanggal 8 Oktober 2025 Tentang Perpanjangan Izin Penggunaan Tanah Makam, menerangkan bahwa Edhi Soeryono telah meninggal dunia pada tanggal 24 Oktober 2004 dan dimakamkan di TPU Jeruk Purut Jakarta (bukti surat, foto dan rekaman video terlampir). Selain itu Edhie Soeryono bukanlah penjaga lahan Tendean 41 melainkan sebagai Pimpinan Proyek Film, Produser Film dan Sutradara Film (bukti terlampir). Keterangan yang dipalsukan oleh ketiga orang saksi tersebut sangatlah substansial terkait pokok perkara karena maksud dan tujuan para saksi memberikan keterangan palsu tersebut adalah agar Terdakwa dapat dilakukan penuntutan oleh Oditur sehingga terdakwa lolos dari masa daluwarsa penuntutan tindak pidana penyerobotan tanah. Tidak sepantasnya saksi Pelapor Tessa Elya Andriyana Wahyudi sebagai anggota Persit melakukan kebohongan dan memberikan keterangan tidak benar di depan persidangan demi kepentingan kelompok tertentu. Tahun meninggalnya Edhi Soeryono, yaitu pada tahun 2004 bersesuaian dengan keterangan saksi Bahrudin yang pada pokoknya menerangkan bahwa pada tahun 2004 saksi tidak kenal dan tidak pernah melihat Edhie Soeryono menjaga lahan Tendean 41 dan berdasarkan keterangan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan bahwa Terdakwa tidak kenal dan tidak pernah melihat Edhie Soeryono sebagai panjaga lahan pada saat terdakwa menguasai Tendean 41 pada tahun 2004 yang meneruskan penguasaan dari ahli ahli waris istri pertama Muh. Musa Bin Muhidi, yang bernama Haji Sukur. Fakta meninggalnya Edhie Soeryono bukan pada tahun 2012 dan bukan pula sebagai penjaga lahan Tendean 41 juga dikuatkan oleh keterangan saksi SURIYAH yang pada pokoknya menerangkan bahwa saksi berjualan di depan lahan Tendean 41 sejak tahun 1995 dan tidak pernah melihat seseorang yang bernama Edhie Soeryono sebagai penjaga lahan. Selain itu berdasarkan keterangan saksi Eteng E. Tomasoa yang pada pokoknya menerangkan bahwa saksi tidak kenal dan tidak pernah melihat Edhie Soeryono sebagai penjaga lahan dan berdasarkan keterangan saksi Eddy Noor, SH., Dirut Perum PFN Periode 2001-2011, yang pada pokoknya menerangkan bahwa saksi tidak kenal dengan Edhie Soeryono dan tidak pernah menyuruh karyawan yang bernama Edhie Soeryono untuk menjaga lahan Tendean 41. Dengan demikian tidak benar seseorang yang bernama Edhie Soeryono adalah bertugas sebagai penjaga lahan Tendean 41 dan tidak benar pula Edhie Soeryono telah meninggal dunia pada tahun 2012 namun meninggal pada tahun 2004. Atas dasar hal tersebut memberi hak kepada terdakwa untuk melaporkan saksi Tessa Elya Andriyana Wahyudi, saksi Ilham Aridha Putra dan saksi Iwan Setiawan kepada pihak yang berwajib atas dugaan dengan sengaja memberikan keterangan palsu di bawah sumpah baik di tingkat penyidikan maupun di persidangan baik lisan maupun dengan tulisan yang merugikan terdakwa, sebagaimana di maksud dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahu;
- Bahwa tidak sesederhana itu dalam membuktikan sebuah kasus sengketa kepemilikan tanah yang sudah lampau karena dari sisi pembuktian harus ketat, terukur, terstruktur, sesuai aturan main serta Kualitas Bukti Harus Terang Seterang Cahaya dengan berbagai macam teori pembuktian yang ada. Dari sisi keterangan para saksi, keterangan ahli, bukti surat-surat dan barang bukti masing-masing harus diuji kebenarannya baik secara formil maupun materiil sehingga memiliki nilai kekuatan pembuktian sesuai hukum acara pidana. Dalam penyelesaian perkara a quo harus ada proses penegakan hukum yang benar, fair, jujur dan adil serta tidak sewenang-wenang apalagi menimbulkan stigma atau kebencian terhadap terdakwa yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang didakwakan kepadanya. Itulah makna dari Due Process of Law. Apalagi dalam perkara a quo sarat dengan nuansa materi keperdataan yang secara yuridis sengketa keperdataannya perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui persidangan perdata, seperti janji bayar yang wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Departemen Penerangan kepada para ahli waris, apalagi antara para ahli waris Muh. Musa Bin Muhidi dengan Departemen Penerangan pernah terjadi perdamaian dengan membuat Perjanjian Perdamaian tahun 1998, yang artinya Departemen Penerangan juga mengakui hak kepemilikan atas tanah Tendean 41 adalah milik para ahli waris;
- Bahwa bersama Duplik ini, kami untuk yang terakhir kalinya memohon kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara untuk mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang dapat dijadikan alasan guna membebaskan terdakwa dari semua Dakwaan, yaitu sebagai berikut: a) Adanya janji bayar, sebagaimana bukti surat Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 26 Juli 1985; b) Adanya janji penyelesaian, sebagaimana bukti Surat Pernyataan Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 11 Maret 1987; c) Adanya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, tanggal 27 Mei 1987 yang memuat janji penyelesaian atas tanah Tendean 41 oleh Departemen Penerangan kepada para ahli waris; d) Adanya Perjanjian Perdamaian antara para ahli waris dengan Departemen Penerangan dalam perkara perdata tahun 1998; e) Adanya surat Girik C No. 585 dan Girik C No. 175 yang belum pernah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; f) Adanya sebagian bidang tanah Tendean 41 yang belum memiliki putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yaitu sesuai bukti Girik C No. 585, seluas 4.350 m2, atas nama Muh. Musa Bin Muhidi; g) Adanya Surat Kelurahan Kuningan Barat, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan tanggal 23 Januari 2008, Perihal Penjelasan Girik C. 585, Persil 5 c, Klas d III, tercatat atas nama Muhamad Musa bin Muhidi sejak tahun 1937/ 1938 adalah Tanah Milik Adat; h) Adanya Surat Kelurahan Kuningan Barat, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tanggal 23 Januari 2008, Perihal Penjelasan Girik C. 175, Persil 5 c, Klas d III, tercatat Dul Salam Bin Achmid sejak tahun 1937/ 1938 adalah Tanah Milik Adat; i) Adanya surat Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor : B/ HP.03.01/ 2514-31.74.300/ XI/ 2024, tanggal 13 November 2024, yang pada pokoknya menerangkan bahwa terhadap Hak Pakai No. 75 belum terdapat catatan peralihan hak kepada PT. PFN/ Perum PFN; j) Adanya perbedaan status tanah Hak Pakai No. 75 yang asalnya dari eigendom verponding No. 6934 namun berdasarkan Akta Pelepasan Hak Tanah No. 110, tanggal 29 Desember 1960 status tanahnya adalah “Tanah Milik Indonesia Adat”;
- Bahwa terhadap dalil-dalil Replik Oditur yang lain dan selebihnya cukup kami tolak dengan tegas;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang kami uraikan di atas, kiranya Duplik ini adalah lebih memperjelas dan mempertegas Pledooi kami yang kami bacakan di depan persidangan pada tanggal 2 Oktober 2025;
Bahwa apabila Tuntutan Oditur dikabulkan oleh Majelis Hakim apakah Oditur maupun Majelis Hakim berani mempertanggungjawabkan putusannya dihadapan Allah SWT apabila Majelis Hakim memutuskan bahwa tanah Tendean 41 adalah sah milik Perum PFN dan memerintahkan kepada Oditur untuk melakukan eksekusi pengosongan tanah Tendean 41 sementara tanah tersebut belum dilakukan pembayaran atau penyelesaian oleh Departemen Penerangan-PPFN kepada para ahli waris, sebagaimana bukti surat janji bayar Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 26 Juli 1985, bukti Surat Pernyataan Departemen Penerangan-PPFN, tanggal 11 Maret 1987, bukti Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, tanggal 27 Mei 1987 yang memuat janji penyelesaian atas tanah Tendean 41 oleh Departemen Penerangan kepada para ahli waris dan bukti Perjanjian Perdamaian antara para ahli waris dengan Departemen Penerangan dalam perkara perdata tahun 1998. Kamipun pasti akan kesulitan menjawab seandainya di Yaumul Hisab oleh Allah dengan pertanyaan mengapa kamu diam saja melihat kezhaliman dan ketidakadilan ;
Bahwa bersama Duplik ini, terdakwa dan para hli waris yang lain sekali lagi berjanji, bersedia dan sanggup untuk menyerahkan tanah Tendean 41 kepada Departemen Penerangan (sekarang Kemen Komdigi) atau kepada Perum PFN atau kepada siapapun secara suka rela, seketika, sekaligus dan tanpa syarat apabila dapat menunjukkan surat jual beli tanah Tendean 41 antara kakek kami, Muh. Musa Bin Muhidi dan Dul Salam Bin Achmid dengan Haji Raya Bin Haji Nawi dkk. atau setidak-tidaknya dengan Usmar Ismail (NV. Perfini) atau atau setidak-tidaknya dengan Departemen Penerangan atau setidak-tidaknya dengan Perum PFN – karena bagi terdakwa dan para ahli waris hukumnya haram memakan harta yang bukan hak miliknya. Namun apabila Departemen Penerangan atau Perum PFN atau siapapun tidak dapat membuktikan adanya surat jual beli tersebut, maka Departemen Penerangan (sekarang Kemen Komdigi) atau Perum PFN harus menyerahkan tanah Tendean 41 kepada terdakwa dan para ahli waris tanpa syarat pula, maka masalah tanah Tendean 41 clear and clean, apalagi terdakwa sudah mengucapkan sumpah Mubahalah di depan persidangan. Namun apabila Perum PFN tetap memaksakan diri untuk menguasai tanah Tendean 41 tanpa ada pembayaran sesuai janji-janjinya, maka terdakwa dan para ahli waris berhak untuk mempertahankan harta bendanya dari gangguan pihak lain, sebagaimana bunyi Ayat Suci Al Qur’an dalam Surat An-Nisa ayat 29, yaitu “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…”. Demikian pula Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid” (H.R. Bukhari dan Muslim)..Allahu Akbar ;
Bahwa dengan segala kerendahan hati, maka sampailah kami selaku Penasihat Hukum dari terdakwa Kolonel Inf. (Purn.) Dr. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. untuk hak dan kepentingan terdakwa menyampaikan dengan tegas permohonan kepada yang terhormat Majelis Hakim sebagai wakil Tuhan agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
- Menerima dan mengabulkan seluruh Duplik Penasihat Hukum Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta tidak berwenang mengadili, memeriksa dan memutus perkara atas nama Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ;
- Menyatakan menurut hukum bahwa kewenangan menuntut oleh Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; gugur atau hapus karena nebis in idem ;
- Menyatakan menurut hukum bahwa kewenangan menuntut oleh Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; gugur atau hapus karena daluwarsa ;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Dakwaan dan/ atau Tuntutan Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; tidak dapat diterima secara keseluruhan;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Dakwaan Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; batal atau batal demi hukum;
- Menyatakan Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Kesatu: Pasal 385 ke-4 KUHP dan Dakwaan Kedua: Pasal 167 ayat (1) KUHP ;
- Membebaskan Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; dari Dakwaan Kesatu: Pasal 385 ke-4 KUHP dan Dakwaan Kedua: Pasal 167 ayat (1) KUHP ;
- Memulihkan hak Terdakwa Kolonel Inf. (purn.) DR. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. ; dalam kemampuan, kedudukan, nama baik, kehormatan dan harkat serta martabatnya ;
- Membebankan biaya perkara ini kepada Negara ;
Akhirnya rasa terima kasih kami ucapkan kepada Majelis Hakim yang terhormat dan Jaksa Penuntut Umum yang telah dengan niat baik memperhatikan Duplik ini. Atas perhatian dan kebijaksanaannya kami ucapkan terimakasih.
Fiat Justita Ruat Coellum
