JAKARTA, MENARA62.COM — Eksepsi Ahli Waris Pemilik Lahan Jalan Tendean 41 Jakarta Ditolak Majelis Hakim. Penolakan itu, dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta dalam sidang dengan agenda tunggal pembacaan putusan sela.
Ketua Majelis Hakim Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, S.H., M.H. yang memimpin sidang pada Kamis (10/4/2025) sore itu menolak semua poin eksepsi yang dibuat oleh penasehat hukum.
“Sebuah hal yang mengecewakan, tapi sekaligus bisa menjadi kesempatan untuk membuka semua data yang dimiliki dalam sidang nanti,” ujar Agus Yudi Sasongko, penasehat hukum Kolonel Inf. Eka Yogaswara yang menjadi wakil dari ahli waris pemilik lahan di Jalan Tendean 41 Jakarta.
Eka didakwa oleh Oditur Miiliter di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta dengan tuduhan memasuki pekarangan orang lain, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.
Laporan ini tentu terasa aneh bagi Eka dan keluarga besar ahli waris lahan tersebut. Pasalnya, mereka masuk dan mengelola lahan warisan kakeknya sendiri. Mereka memiliki bukti-bukti yang dianggap sepi oleh pihak PT PFN. PT PFN sendiri mengklaim lahan tersebut dengan memegang Sertifikat Hak Pakai Sementara atas nama Departemen Penerangan.
Anehnya, menurut Roni Suminto, penasehat hukum Eka, belum pernah ada catatan hukum tentang peralihan hak pakai dari Departemen Penerangan ke PT PFN. Guna menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah yang diklaim oleh Perum PFN tersebut, maka seharusnya sertifikat sementara hak pakai tersebut dilakukan balik nama terlebih dahulu dari atas nama Departemen Penerangan menjadi atas nama Perum PFN.
“Sehingga secara yuridis legal standing Perum PFN sebagai pemilik tanah menjadi jelas, sah dan sempurna serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.
Daluwarsa
Sebelumnya, dalam eksepsi Sasongko juga mengungkapkan, Eksepsi Tuntutan Daluwarsa (vide: Pasal 78 KUHPidana). Ia menjelaskan, bahwa dalam perkara a quo, terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana secara Kumulatif, yaitu: a. Dakwaan Kesatu: melanggar Pasal 385 ke-4 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun, dan b. Dakwaan Kedua: melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan.
“Terhadap Dakwaan Kesatu yang ancaman pidana penjaranya paling lama empat tahun, batas daluwarsa penuntutannya adalah sesudah dua belas tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) ke-3 KUHPidana. Demikian pula terhadap Dakwaan Kedua yang ancaman pidana penjaranya paling lama sembilan bulan, batas daluwarsa penuntutannya adalah sesudah enam tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) ke-2 KUHPidana,” ujarnya.
Sasongko menjelaskan, bahwa di dalam Dakwaan Kesatu halaman 1, Oditur Militer Tinggi telah menguraikan waktu kejadian tindak pidana Pasal 385 ke-4 KUHPidana yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu pada tahun 2012. Jika dilihat dari segi waktu terdakwa melakukan tindak pidana tersebut, yaitu pada tahun 2012, maka penuntutan terhadap Terdakwa dengan alasan telah melakukan tindak pidana tersebut, paling lambat harus sudah dilakukan penuntutan pada tahun 2024 (12 tahun setelah waktu kejadian).
Namun demikian faktanya Oditur Militer Tinggi baru melimpahkan berkas perkara pidana atas nama Terdakwa Kolonel Inf. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. Kepada Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Kasum TNI selaku Perwira Penyerah Perkara Nomor : Kep/ 114/ I/ 2025, tertanggal 24 Januari 2025 Tentang Penyerahan Perkara atas nama Terdakwa, sehingga penuntutan terhadap Terdakwa telah melebihi dari 12 (dua belas) tahun, oleh karena itu hak menuntut pidana oleh Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa telah lewat waktu atau melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang (daluwarsa).
Himawan, penasehat hukum Eka juga mengatakan, majelis hakim sepertinya tidak membuat pendapat hukum. Keputusan yang dibacakan ketua majelis hakim itu terdengar mirip dengan apa yang menjadi tanggapan oditur militer. “Mereka tidak membuat keputusan hukum, tetapi seperti copy paste saja pada tanggapan oditur,” ujarnya.

