TANGERANG, MENARA62.COM — Ada empat indikator untuk menunjukkan suatu negara memiliki gap antara laki-laki dan perempuan, yang perlu disikapi dalam membuat program maupun kebijakan dalam menciptakan kesetaraan.
Empat indikator itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati pada pembukaan Rakornas Kementerain Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di Tangerang, Rabu (24/4/2019).
Kondisi ketidaksetaraan gender diukur dengan indikator yang namanya gender gap atau gap antar gender, dan ada survei yang mengukur global gender gap ini di masing-masing negara. Posisi Indonesia ada di peringkat 93.
Indikator pertama, mengenai partisipasi perempuan dalam ekonomi. Partisipasi perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih 54 % dibandingkan laki-laki yang 84%, dan mayoritas bekerja di sektor informal sehingga penghasilannyapun lebih rendah. Seringkali kedudukan, fungsi, dan posisi perempuan dalam dunia kerja lebih rendah meskipun mereka memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki.
Selain itu, kondisi wanita secara biologis yang hamil, melahirkan, dan menyusui dengan tugas pentingnya melahirkan suatu generasi, tidak dianggap penting dan dihargai. Bahkan seringkali dianggap sebagai beban oleh masyarakat. Padahal, bila bicara kesetaraan gender, perempuan juga memungkinkan untuk bisa produktif, memiliki kapasitas berkarya, bertanggungjawab terhadap anak dan keluarga, dan berkarir di bidang apapun. Bahkan dengan adanya industri 4.0 yang berbasis komputer dan dengan aktivitas perdagangan online membuka kesempatan baru bagi perempuan menggunakan potensinya berpartisipasi secara ekonomi.
Jadi, lingkungan masyarakat maupun lingkungan bekerja, perlu memberinya dukungan. Menurut Sri Mulayani, pemerintahpun telah membantu mengatasi kendala perempuan di bidang ekonomi misalnya dengan kemudahan dalam akses modal untuk usaha kecil-menengah, meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal pedidikan, keterampilan, pelatihan, kepemimpinan, menajemen dan pemberdayaan sehingga perempuan memiliki banyak kesempatan dan peluang.
Kedua, masalah kesetaraan dan pencapaian dalam hal pendidikan. Kini kesempatan dalam pendidikan sama dan kemiskinan tak lagi jadi alasan orangtua untuk tidak memprioritaskan anak perempuannya dalam bersekolah. Apalagi pemerintah sudah mengatasinya dengan program-program seperti beasiswa, program keluarga harapan dengan memberi tambahan income cash, dan juga dana operasional sekolah.
Bidang pendidikan yang dapat digeluti perempuan juga kini beragam. Adanya revolusi industri 4.0 melalui artificial intelegence yang mengggunakan berbagai desain program, telah memberi kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mendalami ilmu yang terkait dengan sains, teknologi, dan matematika. Selain juga tidak menyia-nyiakan kemampuannya untuk empati, mamahami psikologi dan behavior yang membuat perempuan dapat berkontribusi dan menjadi pelaku utamanya.
Indikator ketiga yaitu masalah kesehatan. Di Indonesia angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, begitu juga masalah anak kurang gizi dan stunting, serta masalah pendidikan anak usia dini sebagai generasi awal masih perlu menjadi perhatian. Pemerintah telah mengatasi masalah ini. Misal untuk stunting telah menargetkan di 160 kabupaten dan kota dengan melibatkan 15 departemen. Semua anak perlu mendapat kesempatan yang sama dari segi gizi, bermain, dan pendidikan sesuai usianya.
Keempat, pemberdayaan perempuan di bidan politik juga sangat penting, karena populasi di Indonesia 50 % adalah perempuan. Jika tidak dianggap penting maka tak akan banyak kontribusinya. Seharusnya, perempuan harus mengisi parlemen sebanyak 30 %. Karena bila bicara soal kebijakan publik, tidak hanya soal laki-laki saja tetapi 50%-50%.
Kebijakan untuk perempuan tidak cukup dengan mengandalkan orang lain yang mewakilinya, tetapi perempuanpun mempunyai peran penting yang sama dengan laki-laki. Jadi kebijakan publik itu harus inklusif. Bukan masalah menang atau kalah, tapi setiap kemajuan perempuan perlu diperjuangkan dan dicapai demi kebersamaan.