Pertarungan jilid II Prabowo Jokowi tinggal menghitung hari lagi. Kampanye, debat, dan promosi berupa iklan, bbaliho, selebaran konvensional, dan selebaran melalui media sosial sudah dilakukan. Tidak kalah penting, pertarungan diramaikan dengan polling atau survei.
Survei yang dibiayai oleh salah satu kontestan, ternyata berfungsi untuk membentuk opini publik. Publik pada umumnya menyukai mayoritas atau pemenang, dan itulah yang coba dibentuk oleh lembaga survei.
Pemenang tidak lain adalah kontestan yang bisa mewadahi kelompok tengah. Dalam statistik, kelompok tengah yang merepresentasi satu standar deviasi ke kanan dan ke kiri berjumlah 68 persen. Dan jika diperluas dua standar deviasi ke kanan dan kekiri, akan berjumlah 95 persen.
Dalam kontestasi tiga kelompok, tim akan berlomba merepresentasi kelompok tengah. Tetapi dalam kontestasi dua kelompok, yang diperebutkan adalah kelompok tengah itu sendiri untuk memilih ke kanan atau ke kiri. Perebutan kelompok tengah atau silent majority ini sangat menarik.
Masih dalam disiplin statistik, dikenal dengan istilah populasi dan sampel. Sampel adalah sejumlah responden yang diambil dengan acak dengan tujuan mewakili populasinya itu sendiri. Teknik memperoleh sampel disebut sampling.
Supaya sampel tidak bias, misalnya cenderung kepada komunitas surveyor, maka harus disampling secara random atau acak. Sebagai wakil dari populasi sampel, diharapkan memiliki ukuran statistik mirip dengan populasinya. Selisih antara ukuran sampel dengan ukuran populasinya yang kita kenal dengan margin error. Artinya seberapa jauh kemungkinan nilai statistik sampel berbeda dengan populasi.
Pada 2014, kita sudah mengukur proporsi dua kontestan utama (calon presiden). Proporsi itu, 53 persen untuk 01 dan 47 persen untuk 02. Ukuran tersebut adalah ukuran populasi, diperoleh bukan dengan survei atau cuplikan melainkan sensus.
Umat Islam
Angka tersebut merupakan baseline sesuai dengan watak orang Indonesia yang cenderung mengulang. Dengan menggunakan baseline 2014, himpunan peserta 01 dan 02 akan dilihat pergeserannya. Dengan berbagai aksi yang terjadi, misalnya program-program bantuan sosial besar-besaran dari 01, sejauh mana bisa menarik himpunan komunitas 02. Sebaliknya, 02 menerima muntahan bola. Muntahan itu, berupa misalnya memburuknya harga harga komoditi. Seperti harga karet dan sawit, menurunnya UMKM yang makin intens karena membanjirnya produk pesaing dari RRC, impor beras saat panen, dan juga garam. Isu ini terlihat akan menguntungkan 02.
Pada sisi lain yang menarik, selama 5 tahun, 01 banyak bergesekan dengan umat Islam. Kondisi ini dimulai dengan ditetapkannya Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) di daerah mayoritas Muslim. Koalisi 01, dianggap tidak mempedulikan Islam sebagai parameter politik.
Memang tujuan jangka panjang, beberapa anggota koalisi 01 ingin lepas atau meminimalisir parameter agama. Namun, tentu saja kecuali PPP yang berlambang kakbah dan PKB.
Pergesekan ini kemudian diperbaiki dengan memilih KH Ma’ruf Amin yang berlatarbelakang NU. Bagaimana pengaruh langkah ini terhadap baseline 02?
Sebuah survei kecil di Jawa Timur, diduga akan mengurangi 02 sebesar 2 persen. Hubungan struktur NU dan masyarakat ternyata sangat cair. Sebaliknya, 02 memperoleh tambahan energi dari kelompok Muslim moderat. Kelompok yang banyak turun gunung seperti Ustad Abdul Somad, AA Gym, Arifin Ilham, dan para habaib. Kelompok ustadz, yang pada 2014 tidak memilih juga turun gunung. Termasuk, HTI yang sejatinya tidak memilih karena pemilu tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dengan mengambil parameter dari sensus 2014, dan kemungkinan cross border dua himpunan 01 dan 02, pertarungan 2019 memang sengit. Walaupun infrastruktur membaik, ekonomi yang langung dihadapi rakyat adalah harga komoditas mereka. Kemerosotan UMKM karena persaingan produk, dan tarif listrik, serta parameter agama sebagaimana diuraikan di atas. Bila interaksi dua masalah tersebut mendorong 6 persen dari himpunan 01, maka 02 diuntungkan. Namun sebaliknya, jika kurang dari 4 persen saja yang kecewa dengan 01 maka perubahan kelihatannya tidak terjadi.
Penulis: Prof Bambang Setiaji