27.7 C
Jakarta

Engkau Beriman, Maka Engkau Diuji

Baca Juga:

‎“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan ‎mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?” (Q.S. Al-‎Ankabut: 2)‎

Di antara cara Allah untuk membuktikan keimanan seseorang adalah ‎dengan menghadirkan ujian kepadanya. Ya, ujian adalah salah satu cara ‎untuk mengukur kadar keimanan seseorang. ‎

Rangkaian ayat ke-2 dalam Q.S. Al-Ankabut di atas menegaskan hal ‎tersebut. Setiap orang yang telah mengikrarkan diri bahwa dia seorang ‎mukmin, maka pasti dia akan diuji oleh Allah Swt dengan beragam bentuk ‎ujian untuk membuktikan keimanannya tersebut.‎

Ada orang yang diuji dengan kesulitan ekonomi. Ada yang diuji ‎dengan sakit yang tak kunjung sembuh. Ada yang diuji dengan ditinggalkan ‎oleh orang-orang yang dicintainya. Ada yang diuji dengan sulitnya ‎mendapatkan jodoh. Dan ada pula yang diuji dengan tidak memiliki ‎keturunan.‎

Beraneka ragam bentuk ujian yang Allah hadirkan kepada setiap ‎manusia yang mengatakan dirinya beriman kepada Allah tersebut, merupakan ‎cara untuk mengukur seberapa besar dan seberapa tinggi tingkat ‎keimanannya.‎

Menyikapi beragam ujian tersebut, ada orang yang tetap teguh pada ‎keimanannya. Alih-alih mengeluh, meratapi nasib, mengutuk keadaan, ‎menyesali kondisi yang tengah dialaminya, dia justru menjadi seorang ‎mukmin yang semakin kuat dan tangguh keimanannya. Dia yakin sepenuh ‎hati bahwa beragam ujian yang Allah hadirkan mengandung hikmah serta ‎pelajaran berharga dalam hidupnya. ‎

Kesulitan ekonomi yang dialaminya, justru menjadikannya semakin ‎rajin dan giat berusaha dengan terus berdoa kepada Allah untuk diberikan ‎kelapangan rezeki. Kehilangan orang-orang yang dicintainya justru ‎menyadarkannya bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Karena ‎setiap manusia pasti akan meninggalkan dunia fana ini. Sakit yang ‎dideritanya, semakin menambah keimanannya. Karena dia juga yakin bahwa ‎dengan sakitnya itu Allah mengajarkan betapa manusia tidak punya daya dan ‎kekuatan apa pun selain kekuatan yang Allah berikan kepadanya. Kesulitan ‎dalam mendapatkan pasangan hidup, menjadikan seorang mukmin sadar ‎bahwa Allahlah yang menentukan segalanya. Dan ketidakhadiran buah hati ‎yang dinanti selama ini menjadikannya semakin kuat beribadah kepada Allah ‎dan menyerahkan semua urusannya kepada-Nya. Dia menyadari bahwa tidak ‎mudah menjaga amanat. Dia berbaik sangka kepada Allah dengan meyakini ‎setulus hati bahwa pasti ada rencana terbaik yang telah Allah siapkan ‎untuknya.‎

Di sisi lain, ada orang yang menyikapi segala ujian dan cobaan yang ‎menimpanya dengan mengeluh, meratapi keadaan, mengutuk nasib, bahkan ‎tidak jarang mempertanyakan keadilan Allah. Dia tidak sabar dengan kesulitan ‎ekonomi yang dihadapinya, sedih berkepanjangan karena ditinggal oleh orang ‎yang dicintainya, terus berkeluh kesah dengan sakit yang dideritanya, ‎menyesali sulitnya mendapatkan jodoh, serta menggugat keadilan Allah ‎karena tidak hadirnya keturunan. Dia berburuk sangka kepada Allah. Dia ‎hanya fokus melihat sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak memperhatikan apa ‎yang telah dimilikinya. ‎

Padahal, kalau dia mau berpikir jernih, nikmat yang telah Allah berikan ‎kepadanya jauh lebih besar daripada ‘kekurangan’ yang ada padanya. ‎Seandainya dia menghitung nikmat Allah yang sangat besar itu, pasti dia tidak ‎akan bisa menghitungnya. Kalaulah dia mau terus menerus mensyukuri ‎nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, maka pasti Allah akan menambah ‎nikmat-Nya kepadanya. ‎

Inilah dua kondisi berbeda dalam menyikapi ujian dan cobaan hidup, ‎yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dua kondisi tersebut ‎mencerminkan tingkat keimanan seseorang.‎

Sekali lagi perlu ditegaskan, engkau beriman, maka engkau diuji.‎

Ruang Inspirasi, Sabtu (11/7/2020)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!