“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?” (Q.S. Al-Ankabut: 2)
Di antara cara Allah untuk membuktikan keimanan seseorang adalah dengan menghadirkan ujian kepadanya. Ya, ujian adalah salah satu cara untuk mengukur kadar keimanan seseorang.
Rangkaian ayat ke-2 dalam Q.S. Al-Ankabut di atas menegaskan hal tersebut. Setiap orang yang telah mengikrarkan diri bahwa dia seorang mukmin, maka pasti dia akan diuji oleh Allah Swt dengan beragam bentuk ujian untuk membuktikan keimanannya tersebut.
Ada orang yang diuji dengan kesulitan ekonomi. Ada yang diuji dengan sakit yang tak kunjung sembuh. Ada yang diuji dengan ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Ada yang diuji dengan sulitnya mendapatkan jodoh. Dan ada pula yang diuji dengan tidak memiliki keturunan.
Beraneka ragam bentuk ujian yang Allah hadirkan kepada setiap manusia yang mengatakan dirinya beriman kepada Allah tersebut, merupakan cara untuk mengukur seberapa besar dan seberapa tinggi tingkat keimanannya.
Menyikapi beragam ujian tersebut, ada orang yang tetap teguh pada keimanannya. Alih-alih mengeluh, meratapi nasib, mengutuk keadaan, menyesali kondisi yang tengah dialaminya, dia justru menjadi seorang mukmin yang semakin kuat dan tangguh keimanannya. Dia yakin sepenuh hati bahwa beragam ujian yang Allah hadirkan mengandung hikmah serta pelajaran berharga dalam hidupnya.
Kesulitan ekonomi yang dialaminya, justru menjadikannya semakin rajin dan giat berusaha dengan terus berdoa kepada Allah untuk diberikan kelapangan rezeki. Kehilangan orang-orang yang dicintainya justru menyadarkannya bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Karena setiap manusia pasti akan meninggalkan dunia fana ini. Sakit yang dideritanya, semakin menambah keimanannya. Karena dia juga yakin bahwa dengan sakitnya itu Allah mengajarkan betapa manusia tidak punya daya dan kekuatan apa pun selain kekuatan yang Allah berikan kepadanya. Kesulitan dalam mendapatkan pasangan hidup, menjadikan seorang mukmin sadar bahwa Allahlah yang menentukan segalanya. Dan ketidakhadiran buah hati yang dinanti selama ini menjadikannya semakin kuat beribadah kepada Allah dan menyerahkan semua urusannya kepada-Nya. Dia menyadari bahwa tidak mudah menjaga amanat. Dia berbaik sangka kepada Allah dengan meyakini setulus hati bahwa pasti ada rencana terbaik yang telah Allah siapkan untuknya.
Di sisi lain, ada orang yang menyikapi segala ujian dan cobaan yang menimpanya dengan mengeluh, meratapi keadaan, mengutuk nasib, bahkan tidak jarang mempertanyakan keadilan Allah. Dia tidak sabar dengan kesulitan ekonomi yang dihadapinya, sedih berkepanjangan karena ditinggal oleh orang yang dicintainya, terus berkeluh kesah dengan sakit yang dideritanya, menyesali sulitnya mendapatkan jodoh, serta menggugat keadilan Allah karena tidak hadirnya keturunan. Dia berburuk sangka kepada Allah. Dia hanya fokus melihat sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak memperhatikan apa yang telah dimilikinya.
Padahal, kalau dia mau berpikir jernih, nikmat yang telah Allah berikan kepadanya jauh lebih besar daripada ‘kekurangan’ yang ada padanya. Seandainya dia menghitung nikmat Allah yang sangat besar itu, pasti dia tidak akan bisa menghitungnya. Kalaulah dia mau terus menerus mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, maka pasti Allah akan menambah nikmat-Nya kepadanya.
Inilah dua kondisi berbeda dalam menyikapi ujian dan cobaan hidup, yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dua kondisi tersebut mencerminkan tingkat keimanan seseorang.
Sekali lagi perlu ditegaskan, engkau beriman, maka engkau diuji.
Ruang Inspirasi, Sabtu (11/7/2020)