JAKARTA, MENARA62.COM — Pelaksanaan pemilu 2019, memang masih berproses. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, tidak bisa sekedar menggunakan kaca mata kuda dan mengabaikan hati nurani dan sisi kemanusiaan. Apalagi, sejumlah kecurangan yang diungkapkan di publik melalui media sosial, juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Itu sebabnya, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) bekerjasama dengan Kolegium Jurist Institute (KJI) meminta ada Evaluasi Pemilu Serentak 2019 Melalui Prinsip Jurdil dan Sisi Kemanusiawian. Pemikiran ini terungkap dalam diskusi evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu serentak ini, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah dan Kolegium Institute menggelar diskusi media “Pemilu Serentak 2019: Jurdil dan Manusiawikah?” pada Senin (29/9) di Jakarta.
Pakar yang hadir dalam diskusi tersebut diantaranya, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Umum Mahutama Prof Aidul Fitriciada Azhari, Pakar Hukum Pidana Prof Syaiful Bakhri, Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi, Dosen Hukum Pidana Universitas Binus Ahmad Sofian, Dosen HTN FH UMJ Ibnu Sina Chandranegara, Ahli HAN KJI Mohammad Ryan Bakry, Sekjend Mahutma dan Dosen FH Universitas Muhammaidyah Tangerang Auliya Khasanofa.
Sejumlah pakar hadir dalam diskusi tersebut, yakni Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Umum Mahutama Prof Aidul Fitriciada Azhari, Pakar Hukum Pidana Prof Syaiful Bakhri, Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi, Dosen Hukum Pidana Universitas Binus Ahmad Sofian, Dosen HTN FH UMJ Ibnu Sina Chandranegara, Ahli HAN KJI Mohammad Ryan Bakry, Sekjend Mahutma dan Dosen FH Universitas Muhammaidyah Tangerang Auliya Khasanofa.
Auliya Khasanofa menyampaikan, banyak problem yang sepertinya tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh pembuat aturan, dan penyelenggara. Diantaranya, desain pemilu yang rumit dengan aturan yang terlalu mepet diputuskan DPR RI. Namun yang lebih memprihatinkan lagi, meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, serta masih adanya persoalan yang krusial terkait teknis pemilu dalam pelaksanaaanya.
“Ini semua harus menjadi menjadi keprihatinan, renungan dan bahan untuk evaluasi bersama,” ujarnya.
Menurut Auliya, berbagai persoalan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak kemarin, menjadi PR besar untuk menjadi kajian ilmiah yang harus dikritisi. Sikap kritis itu, terutama dilakukan oleh kaum akademisi dan para pakar hukum yang berkompeten dan memiliki disiplin keilmuan dibidangny.
“Termasuk menghadirkan desain pemilu yang mengedepankan prinsip permusyawaratan perwakilan, terutama dalam pemilihan presiden yang terlihat menjadi rentan konflik. Kondisinya, diperparah dengan keserentakan pelaksanaanya, lebih banyak diperbincangkan pilpres dibandingkan pemilihan yang lain,” ujar Auliya, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang ini.
Ahmad Redi mengatakan, pemilu serentak yang memilih presiden dan wakil presiden, dengan pemilihan anggota legislatif, dari tingkat pusat hingga daerah, menyisakan bahan renungan yang mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, bagi penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan lainnya.
“Pemilu serentak yang seyogya dimaksudkan demi terselenggaranya demokrasi yang lebih baik, nyatanya justru diwarnai berbagai macam persoalan yang tak kalah pelik,” ujar Redi, akademisi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara ini.
Redi juga mencatat berbagai masalah telah timbul dalam penyelenggaran pemilu 2019. Diantaranya, potensi kecurangan, netralitas penyelenggara pemilu, hingga pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara yang sampai menelan banyak korban jiwa petugas penyelenggara pemilu di daerah.
Jurdil
Prof Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, pemilu harus selalu dipandang sebagai sarana mengawal kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu harus selalu dilandasi berdasarkan asas Jujur, Adil, Langsung, Bebas dan Rahasia (Jurdil dan Luber).
“Asas-asas tersebut hanya dapat terselenggara dengan adanya good will dari penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan serta partisipasi publik dalam mengawal suara rakyat,” ujar Aidul, yang juga Anggota Komisi Yudisal RI ini.
Arief Budiman menyatakan, berusaha semaksimal mungkin menjalankan aturan kepemiluan dengan sebaik-baiknya dan mengedepankan prinsip jujur dan adil. Terkait jatuhnya korban jiwa dan banyaknya penyelenggara pemilu yang sakit KPU RI tidak akan berlepas tangan.
Titi Anggraini mengatakan, desain aturan pemilu yang harus dievaluasi karena tidak manusiawi terutama bagi penyelenggara pemilu.
Ahmad Sofian menambahkan dengan menjelaskan kausalitas hukum dalam pertanggungjawaban pidana, terkait jatuhnya korban dalam pemilu serentak 2019. Termasuk Anggara Suwahyu mengatakan, pemilu serentak 2019 ini, merupakan tragedi kemanusiaan karena banyaknya jatuh korban jiwa.
Ibnu Sina Chandranegara mengatakan, kebutuhan terhadap moralitas, integritas dan kapabilitas penyelenggara pemilu tersebut harus juga diiringi dengan perhatian terhadap aspek kesehatan jasmani dan rohani para penyelenggara pemilu di segala tingkatan.
Hal senada disampaikan M Ryan Bakry. Menurutnya, penyelenggaraan pemilu 2019 harus menjadi perhatian ke depan, terkait penyelenggaran pemilu yang baik. Sehingga fenomena yang terjadi di pemilu 2019, dimana banyak sekali penyelenggara pemilu yang meninggal dunia tidak terulang lagi.