njleb duk, njleb duk, njleb duk
Entah sudah berapa ratus kali cangkul itu diayunkan kembali ke atas kepala dan dijatuhkan ke bawah dengan kepastian yang tak terbantahkan. Cangkul yang digenggam tangan dengan erat itu, membelah tanah merah di hadapannya. Tanah merah yang basah itu menanti serangan cangkul dengan sabar, menyerahkan diri sepenuhnya, membiarkan sebagian tubuhnya terbelah, terungkit, dan terbuka. Hanya suara “njleb duk” yang berirama, disertai percikan air berlumpur, yang memprotes.
Air yang mudah tersinggung dan suka marah itu memprotes dengan suara dan tindakan. Setiap kali mata cangkul menyerang, air memercik ke atas, melontarkan lumpur ke arah penyerangnya. Bagian depan kedua kaki Raden Jaka telah berlumur lumpur setinggi paha. Sebagian lagi menyebar ke punggung dan kepala.
Namun, tanah yang menjadi sasaran utama cangkul Raden Jaka diam saja. Tanah tidak pernah menyimpan dendam, tidak pernah marah. Ia memberikan segala yang dimilikinya dengan tulus ikhlas, tanpa mengharap balas jasa atau pahala. Tanah tidak mengharapkan apa-apa dan tidak akan pernah meminta balasan, seolah-olah dalam kebisuannya itu ia memahami dengan penuh keyakinan bahwa semuanya akan kembali padanya, cepat atau lambat. Tanah selalu sabar menanti.
Raden Jaka begitu asyik mencangkul. Matanya menatap dan mengukur tanah, lengannya menggerakkan cangkul, dan kakinya mengatur langkah, menjaga jarak antara cangkul dan tubuhnya. Mata, tangan, dan kakinya bekerja sama, dipimpin oleh perasaan. Seluruh perhatiannya tercurah pada apa yang dilihatnya: tanah, air, dan mata cangkul. Hanya tiga hal itu yang ada dalam pikirannya, yang lain tidak masuk hitungan. Perubahan warna tanah di depannya tidak ia sadari. Sebelumnya, tanah itu berwarna kelabu kehitaman, kini berubah menjadi coklat kemerahan. Perubahan bunyi-bunyian juga tidak ia dengar. Sebelumnya, ketika ia mulai mencangkul, bunyi percikan air masih berselang-seling dengan kokok ayam jago dan suara jangkrik. Kini, suara kodok dan jangkrik semakin berkurang, digantikan oleh kicauan burung.
Alangkah gembiranya burung-burung kecil bersayap itu menyambut fajar. Kegembiraan yang murni, tidak dibuat-buat. Kegembiraan yang wajar, dan kewajaran ini merupakan pujian yang paling tulus kepada Sang Hyang Widhi. Sinar matahari merah keemasan mulai menyebarkan cahaya kehidupan, membuat segala sesuatu terlihat berseri. Pohon-pohon asem dan mahoni yang tumbuh di tepi jalan tanah di sebelah kiri sawah mulai menampakkan diri, keluar dari kegelapan tempat mereka bersembunyi dan beristirahat semalaman.
Ujung setiap ranting dengan daun-daun mudanya bergerak lembut ditiup angin pagi, membuat pohon-pohon itu seperti menggeliat, mengusir kelelahan semalam. Di atas sawah yang berair dan tidak terganggu oleh gerakan cangkul, terlihat garis keemasan yang dibuat oleh matahari. Bahkan rumput-rumput di tepi sawah, sepanjang galengan, juga terlihat berseri, dengan mutiara embun tergantung di ujung-ujungnya. Segala sesuatu, baik yang bergerak maupun yang diam, seolah-olah mandi dalam cahaya kebahagiaan yang dibawa oleh sinar keemasan matahari pagi. Sudah sepatutnya semua makhluk tahu menerima dan menghargai awal hari. Adakah di dunia ini pujian yang lebih utama dan suci daripada sifat tahu menerima dan menghargai berkah yang diberikan-Nya?
Dari arah kebun kelapa di seberang sawah, terdengar suara perkutut di antara kicauan burung-burung lain. Cangkul yang telah diayunkan ke atas kepala tiba-tiba ditahan dan diturunkan perlahan. Raden Jaka memutar kepala, mengarahkan telinga kirinya ke suara perkutut itu.
“Haurketekuk-kuk-kuk-kukHaurkeekeetekukku …… !” Bunyi itu semakin nyaring, dan deretan “kuk” semakin panjang, bagi Raden Jaka seperti mengejek.
“Perkutut celaka!” kutuknya, dan ia melepaskan cangkul dari tangan kanannya. Tangkai cangkul itu berdiri miring seperti punggung seorang kakek yang sudah bungkuk. Entah mengapa, suara perkutut itu amat mengganggunya. Seolah, keindahan yang tersaji di alam yang ada di hadapannya menjadi tak berarti.
Manusia hidup dikelilingi masalah yang membuatnya mengeluh. Di pagi hari yang indah ini, sementara makhluk-makhluk lain bersuka ria menyambut awal hari dengan kegembiraan, selalu ada saja yang membuat manusia mengeluh, selalu ada masalah yang menyelinap dalam kehidupannya. Masalah-masalah itu bertumpuk, dan masalah itu sebenarnya adalah ciptaan manusia sendiri.
Sudah dua minggu burung itu dikenal. Awalnya, Ki Lurah Memed yang mendengar suaranya pada suatu senja yang muram.
“Dengarkan perkutut itu, Jaka…… ! Suaranya benar-benar merdu! Alangkah nyaring dan indahnya. Aku harus menangkap burung itu,” begitulah ayahnya memuji, dan sejak saat itu, ayahnya tergila-gila pada suara perkutut itu.
“Burung sialan!” Raden Jaka mengulangi kutukannya sekali lagi. Ia harus mengakui bahwa suara perkutut itu memang merdu, keras, dan panjang. Namun, bagi telinganya yang bukan penggemar perkutut, bunyi itu tidak berbeda dengan keindahan suara burung-burung lain. Baginya, bunyi itu tetap “kuk-kuk-kuk”, bukan “kung-kung-kung” seperti yang dikatakan ayahnya.
Sungguh bodoh nian untuk tergila-gila pada bunyi-bunyian kosong itu. Ia merasa malu mendengar ucapan ayahnya kemarin, yang anehnya disetujui pula oleh kawan-kawan ayahnya yang sehobi. Mereka sama-sama penggemar burung perkutut. Kutut manggung, jadi incaran mereka. Suaranya seperti menyihir telinga.
Begini kata-kata ayahnya, “Suara seekor perkutut keramat lebih indah daripada nyanyian apa pun. Tiada tandingannya! Suara Maduraras bukan apa-apa dibandingkan dengan suara perkutut yang baik.”
Gila benar! Suara Kencono Kuning, waranggono dari Solo dengan suara emasnya empuk di telinga, kalah oleh suara perkutut? Apa saja yang tidak diucapkan oleh orang yang sudah tergila-gila, seperti ayahnya dan kawan-kawannya itu!
Sejak mendengar suara burung itu, segala upaya telah dilakukan ayahnya untuk menangkapnya, tetapi burung itu tidak mudah ditangkap.
“Perkutut keramat memang tidak mudah dipikat,” awalnya Ki Lurah Memed berkata setengah menghibur diri. Namun, setelah dua minggu burung itu belum juga tertangkap, kesabaran mulai hilang, digantikan oleh kekecewaan. Sebutan untuk perkutut itu pun berubah di mulut Ki Lurah Memed. Bukan lagi perkutut keramat, melainkan perkutut setan, perkutut sialan, perkutut celaka, dan sebutan-sebutan lain yang tidak mengenakkan telinga.
Raden Jaka berdiri tegak, lalu memutar tubuh bagian atas ke kanan dan kiri untuk mengusir pegal. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi yang sejuk dan segar. Dadanya mengembang, dan saat udara terakhir memenuhi paru-parunya, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya, sesuatu yang tenang dan menyenangkan, membawa rasa nyaman dan bahagia. Pada saat itu, hidupnya menikmati bau tanah yang harum, telinganya menikmati segala suara yang masuk, matanya menangkap segala keindahan yang terbentang di sekelilingnya. Semua panca inderanya menyatu dengan keindahan dan kebahagiaan itu.
Sayang, hanya sebentar. Kini matanya menangkap keadaan sawah di sekelilingnya, otaknya mulai bekerja, pikirannya mulai berbicara, dan segala keindahan tadi hanya menjadi kenangan. Sudah lebih dari setengah sawahnya tercangkul. Dua hari lagi, tanah merah yang subur ini akan siap menerima bibit-bibit padi, merawatnya hingga tumbuh dan berbuah.
Ia tersenyum puas, lalu menengok ke arah ayahnya yang tadi mencangkul di sawah sebelah. Ternyata, Ki Lurah Memed sudah meninggalkan cangkulnya. Entah kapan ia menyingkir dari sawah, tak diperhatikannya. Mungkin ketika terdengar perkutut manggung.
Raden Jaka pun tahu ke mana ayahnya pergi, dan sekali lagi ia menengok ke arah kebun kelapa dari mana suara perkutut tadi terdengar. Ia menarik napas panjang, tetapi kali ini tidak ada sesuatu yang tenggelam ke dalam dirinya. Lalu ia mengambil kembali cangkulnya, mengayunkannya ke atas kepala, dan menjatuhkannya ke bawah dengan kuat. Melanjutkan pekerjaan yang masih setengah lagi.