25.6 C
Jakarta

Fajar di Sawah Merah (3)

Baca Juga:

Jaka berusaha menahan air mata yang hampir tumpah dari kelopak matanya. Mbok Lurah mendekatinya, kedua tangannya yang penuh kasih diletakkan di atas bahu putranya. Sentuhan itu lembut, namun seolah mendorong air mata Jaka untuk jatuh. Ia menggigit bibirnya erat-erat, berusaha menahan sesak yang telah memenuhi dadanya agar tak berubah menjadi isakan yang keluar dari mulutnya.

“Jaka, bapakmu benar. Ilmumu sudah cukup banyak. Aku pun sebenarnya tak ingin kau pergi. Lebih baik kau mulai belajar bertani, agar kelak bisa menjadi petani yang pintar dan berhasil,” ucap ibunya dengan suara lembut, namun penuh ketegasan.

Ibunya tak mau berbicara tentang politik, sesuatu yang sama sekali tidak dipahaminya. Walaupun dulu ia sempat duduk hingga kelas lima sekolah desa.

Jaka akhirnya menurut. Ia meneruskan pendidikannya di sawah, mengganti pena dengan cangkul. Ayahnya puas, ibunya tenang. Tapi dirinya sendiri?

“Aku tidak beruntung,” bisiknya lirih pada diri sendiri. Ia menggelengkan kepala, lalu menuangkan kembali teh panas ke dalam cangkir kosongnya.

Ayahnya memang keras kepala. Apalagi sejak tergila-gila dengan burung perkututnya itu. Tidak, lebih dari itu—sejak Jaka menyampaikan keinginannya untuk pergi merantau, sekitar sebulan yang lalu. Keinginan itu menimbulkan kegemparan di rumah mereka. Ia masih ingat jelas perdebatan sengit antara dirinya, ayah, dan ibunya.

“Engkau sudah gila!” Ayahnya langsung berseru saat mendengar niatnya. “Merantau? Meninggalkan kampung dan sawah? Itu gila namanya! Mencari kerja di kota, katamu? Di sini pun tak kurang pekerjaan! Sawah terbentang luas, tanah menanti untuk digarap setiap saat.”

“Tapi itu tanah orang lain, Pak,” sahutnya.

“Apa bedanya? Bukankah kita juga mendapatkan upah?”

“Tapi upahnya kecil sekali, Pak.”

“Kecil, katamu? Kau tidak menghargai hasil keringat bapakmu? Ingat, meski kecil, hasil itu cukup untuk kita makan bertiga. Kita tak pernah kelaparan, bukan?”

“Bukan maksudku tak menghargai kerja kerasmu, Pak. Hanya saja… tenaga Bapak dihargai terlalu murah. Memang benar, upah itu cukup untuk makan sehari-hari, tapi… masih terlalu kecil untuk membeli sarung baru yang Bapak inginkan saat Lebaran lalu. Terlalu kecil untuk membelikan kain bagi Simbok. Dan aku… aku ingin membeli sepeda.”

“Hem! Dan kau pikir bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar?” Ayahnya menatapnya tajam.

“Tentu, Pak,” katanya penuh harap. “Aku akan bekerja di kota. Gajiku besar. Aku akan membelikan Bapak sarung palekat, kemeja, dua atau tiga stel. Simbok pun akan kubelikan kain baju, dan… aku akan membeli sepeda.”

“Gila kau!” Ayahnya membanting tangan ke pahanya. “Dengar, Jaka! Aku tidak suka kau pergi merantau! Simbokmu pun tak suka! Kami tidak akan mengizinkanmu pergi meninggalkan kami! Itu semua gara-gara buku-buku sekolahmu! Pelajaran-pelajaran itu telah merusak pikiranmu, membuatmu rakus dan tak pernah puas!”

Sementara itu, Mbok Lurah yang sejak tadi diam, menghela napas dalam. Suaranya lirih, mengandung kepahitan, “Tidak ada apa-apa, Pak. Ubi kita sudah habis.”

Ki Lurah Memed menatapnya, tapi sebelum ia sempat berbicara, Mbok Lurah segera menambahkan dengan nada menghibur, “Tapi nanti siang kita makan bakmi. Malam tadi Yu Darmo mendapat kiriman dari mantunya di Sragen, dan aku diberinya sebungkus.”

“Bakmi? Digodok saja, Mbok. Jangan digoreng. Digodok lebih segar dan lebih enak,” sahut Ki Lurah.

Istrinya tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Pak. Aku tahu apa kesukaanmu,” katanya. Pak Karta pun tersenyum. Tapi ketika ia melirik ke arah Jaka yang hanya menunduk tanpa suara, Mbok Lurah memberi isyarat kepada suaminya.

Ki Lurah menghela napas, lalu menggeser duduknya, menghadap Jaka dengan lebih serius. “Jaka, tahu tidak, sudah berapa usiamu sekarang?”

Jaka mengangkat kepalanya, menatap ayahnya dengan bingung. Namun, ia tetap menjawab, “Dua puluh tahun, kalau aku tidak salah, Pak.”

Ki Lurah mengangguk-angguk pelan. “Dua puluh tahun bukan usia kecil lagi,” gumamnya seperti berbicara pada diri sendiri. Kemudian, ia menatap anaknya dan melanjutkan, “Jaka, dulu bapakmu ini menikah saat berumur delapan belas tahun.”

Jaka memandang wajah ayahnya yang kecokelatan, terbakar sinar matahari sepanjang hari. “Apa maksudmu, Pak?” tanyanya, mulai merasa tak nyaman.

Mbok Lurah segera menyambung, seakan ingin membantu suaminya yang tampak ragu-ragu untuk menjelaskan. “Jaka, bapak dan aku sudah tua. Sudah sepantasnya kalau kami memiliki mantu.”

“Bahkan sudah waktunya kami menimang cucu!” tambah Ki Lurah cepat.

“Itulah sebabnya,” lanjut ibunya sebelum Jaka sempat membantah, “bapakmu dan aku merasa sudah saatnya kau menikah. Dan menurut kami, Sunarsih adalah gadis yang baik. Ia sehat, rajin, dan cocok untuk menjadi menantu kami.”

“Bahkan cukup cantik!” tambah Ki Lurah.

“Sunarsih?” Jaka hampir terkejut. “Di sekolah dulu dia bodoh dan cengeng! Simbok, aku tidak ingin menikah.” Ia tak berani menatap wajah orang tuanya, hanya menundukkan kepalanya, menatap tanah tanpa benar-benar melihatnya.

“Tapi bapak dan aku ingin punya menantu, Jaka,” suara ibunya terdengar lembut, tapi penuh keteguhan.

“Aku tidak suka… aku benci melihat Sunarsih!” katanya, hampir berteriak karena malu dan marah.

“Anak sombong!” bentak ayahnya tiba-tiba. “Kau tidak suka dan benci pada Sunarsih? Hah? Jangan-jangan kau sudah punya pacar? Katakan! Perempuan mana yang telah membuatmu tergila-gila?!”

Ki Lurah berdiri dengan penuh amarah, menatap putranya dengan sorot mata tajam.

“Astaghfirullah! Engkau ini bagaimana, Pakne? Tiada hujan, tiada angin, tiba-tiba marah-marah tak tentu arah! Kita ini harus berbicara dengan kepala dingin. Tidak ada gunanya jika hanya mengedepankan emosi!” Mbok Lurah menenangkan suaminya, suaranya lebih lembut namun tetap penuh ketegasan. Kemudian ia menoleh ke arah anaknya, nada bicaranya berubah menjadi lebih hangat. “Jaka, katakan pada Simbok, kenapa kau tak suka dengan Sunarsih? Apakah kau sudah punya pilihan lain?”

Jaka menggeleng pelan tanpa mengangkat wajahnya yang tetap menunduk. “Simbok, aku benar-benar heran. Kenapa tiba-tiba Simbok dan Bapak ingin aku menikah? Apakah Bapak sudah punya banyak tabungan sehingga ingin mengawinkanku?” Tatapannya kini beralih kepada ayahnya, dan ia melihat bagaimana ayahnya justru menghindari pandangannya.

“Bukan sekarang, Nak,” jawab Mbok Lurah, berusaha menjelaskan. “Bapak dan Simbok akan merasa lega jika kau menerima rencana ini. Kami akan segera melamar Sunarsih ke Kang Damar. Soal hari pernikahan bisa kita atur nanti. Yang terpenting sekarang, kita harus mulai menabung dan berhemat.”

Ki Lurah pun menambahkan, “Dan juga, jika kau sudah punya istri, kau tak akan mudah tergoda oleh hal-hal yang tidak baik!”

Jaka merasakan kemarahan yang selama ini ia pendam mulai bergolak di dalam dadanya, mendesak ingin keluar. Ia ingin berteriak, mengungkapkan isi hatinya, mengungkapkan bahwa ia sudah memahami rencana orang tuanya—bahwa pernikahan ini bukan semata demi kebahagiaannya, melainkan cara agar dirinya tetap tinggal di kampung ini. Agar ia tidak pergi merantau, agar ia tetap mencangkul tanah yang bukan miliknya, menerima upah sekadarnya, hanya cukup untuk makan sehari-hari, tanpa ada harapan lebih. Ia akan terikat di sini, menikah, memiliki anak satu, dua, tiga, bahkan mungkin enam seperti Pak Wiryono, tetangga mereka. Lalu ia akan menua di kampung ini, mencangkul, menanam, memanen, sampai akhirnya mati, seperti bapaknya.

“Tidak! Aku tidak mau! Tidak!” serunya tiba-tiba. Ia lalu berlari, meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya bisa saling pandang tanpa kata, kehabisan akal untuk membujuknya.

Jaka terus berlari hingga tiba di sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau. Ia menjatuhkan dirinya di sana, membiarkan embun pagi yang masih melekat pada rerumputan menyejukkan tubuhnya yang panas oleh amarah. Napasnya masih terengah-engah, namun perlahan-lahan mulai tenang. Angin berhembus lembut, membelai wajahnya yang berkeringat.

Ia membalikkan tubuhnya, berbaring menatap langit yang biru jernih. Baru sekarang ia menyadari suara gemericik air sungai yang mengalir tak jauh darinya, seolah bercanda dengan bebatuan di sepanjang alirannya. Suara itu terdengar riang, seperti sebuah lagu yang tak pernah usai—lagu kebebasan.

Betapa nikmatnya berada di sini, pikirnya. Berbaring di atas rumput hijau yang segar, dikelilingi oleh pepohonan, bunga-bunga, burung-burung yang berkicau riang. Sinar matahari yang hangat menyusup di antara dedaunan, memberikan cahaya keemasan yang lembut. Semua itu terasa seperti sebuah pelindung yang menenangkannya, menjauhkannya dari segala tekanan yang membebani pikirannya.

Di sini, ia merasa benar-benar bebas. Seperti air sungai itu—mengalir tanpa hambatan, tak terbendung, terus berjalan menuju entah ke mana. Ia ingin seperti air itu. Bebas, merdeka!”

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!