25.4 C
Jakarta

Fatwa Tarjih tentang Salat Id Dua Kali dan Qada Salat Wanita Haid

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Selasa (24/6). Kajian yang rutin diadakan ini menghadirkan Kepala Lembaga Pengembangan Pondok, Al-Islam, dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS, Imron Rosyadi, M.Ag., yang membahas dua topik penting seputar ibadah, yakni hukum pelaksanaan Salat Id dua kali dan qada salat bagi perempuan yang sedang haid.

 

Imron menyampaikan, isu Salat Id dua kali kerap muncul di tengah masyarakat Muhammadiyah, terutama jika terjadi perbedaan penetapan hari raya Idulfitri antara Muhammadiyah dan pemerintah.

 

“Tahun 2026, misalnya, Muhammadiyah memprediksi 1 Syawal jatuh pada 20 Maret, sementara pemerintah diperkirakan menetapkan 1 Syawal pada 21 Maret. Ini sering memunculkan pertanyaan apakah boleh Salat Id dilaksanakan dua kali,” ungkapnya.

 

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menegaskan bahwa Salat Id merupakan ibadah mahdhah, yakni ibadah yang tata cara dan waktunya telah ditentukan secara rinci oleh syariat. Ia merujuk beberapa dalil, salah satunya hadis riwayat Imam Al-Bukhari yang menjelaskan bahwa pelaksanaan Salat Idulfitri hanya sah dilakukan pada 1 Syawal.

 

“Melaksanakan Salat Id lebih dari satu kali dalam setahun, apalagi di luar 1 Syawal, tidak sesuai tuntunan nabi. Kecuali dalam kondisi darurat atau kebutuhan mendesak, seperti di suatu daerah hanya ada satu orang yang mampu menjadi imam dan khatib,” jelasnya.

 

Imron menambahkan, dalam kondisi normal, pelaksanaan Salat Id dua kali demi mengikuti dua versi penentuan 1 Syawal tidak dibenarkan. Lebih lanjut, Imron juga menyinggung pendapat Imam Syafi’i yang memperbolehkan seseorang melaksanakan Salat Id sendiri jika ia melihat hilal lebih dulu. Namun hal ini tidak berlaku bagi Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal.

 

“Hasil hisab itu pasti dan tidak memungkinkan ada perbedaan seperti metode rukyat,” tegasnya.

 

Selain membahas Salat Id, Imron juga menjawab pertanyaan seputar qada salat bagi perempuan yang haid. Ia menjelaskan bahwa menurut fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, perempuan haid tidak diwajibkan mengqada salat yang ditinggalkan selama masa haid. Hal ini merujuk pada hadis-hadis shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.

 

“Ketika haid, perempuan dibebaskan dari salat, dan setelah suci tidak perlu mengganti salat yang tertinggal. Ini berbeda dengan puasa yang memang ada kewajiban menggantinya,” papar Imron.

 

Ia juga menyampaikan bahwa ketentuan qada salat bagi perempuan haid yang sering beredar di masyarakat lebih bersumber dari pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali, bukan dari dalil yang kuat.

 

Sebagai penutup, Imron mengajak jamaah untuk berpegang pada hasil ijtihad dan fatwa resmi Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam menghadapi perbedaan di tengah masyarakat.

 

“Jangan ragu mengikuti keputusan persyarikatan, sebab penetapan waktu ibadah sudah didasarkan pada metode ilmiah yang sah dan bertanggung jawab,” tandasnya.

 

Kajian Tarjih daring UMS ini diikuti oleh dosen karyawan, dan civitas academica UMS. Kegiatan tersebut menjadi salah satu upaya kampus dalam membumikan fatwa tarjih Muhammadiyah serta memberikan pencerahan keagamaan berbasis ilmu dan dalil yang kuat. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!