32.5 C
Jakarta

Fenomena Anak Kita, Pergi Dicari, Pulang Dimarahi

Baca Juga:

Oleh: Ashari*

KHALIL Gibran, filsuf dan sastrawan kesohor ini pernah membuat pernyataan mengejutkan bahwa anak kita bukanlah anak kita. Anak kita adalah milik zaman-nya. Apa artinya ini? Gibran berpikir dan memberikan warning kepada orang tua, bahwa anak-kita akan tumbuh dijamannya. Mereka akan menghadapi tantangan bukan dijaman orang tuanya. Maka karakter yang harus disiapkan juga harus berbeda. Kemudian pengertian anak kita bukan anak kita, maksudnya anak kita tidak selalu identik dengan orang tuanya. Mereka mempunyai keinginan yang kadang bahkan sering tidak sama dengan orang tuanya sendiri.

Ada sebuah cerita nyata, orang tuanya seorang dokter, mereka ingin anaknya menjadi dokter mengikuti jejaknya. Dipaksanya. Padahal anak tidak minat sedikitpun. Dia lebih tertarik menjadi tentara. Masuk angkatan. Sebuah profesi yang sama sekali tidak diingkan oleh orang tuanya. Membayangkan pun tidak. Demi membahagiakan ortunya, si-anak menurut kuliah di fakultas kedokteran. Berangkat kuliah tidak bersemangat, akhirnya hasil belajarnya tidak maksimal. Beberapa kali bahkan harus mengulang ujian. Hingga lama dia tidak lulus.

Orang tuanya sempat uring-uringan melihat prestasi anaknya. Padahal biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Singkat cerita, orang tuanya kemudian sabar bahwa dunia anaknya memang bukan di dunia kedokteran seperti dirinya. Ia tidak lagi akan memaksakan kehendak anaknya, diikhlasnya anaknya masuk tentara. Benar, anaknya dapat enjoy, menikmati ‘kerasnya’ pendidikan di angkatan. Meski harus berhadapan dengan medan yang berat, lumpur, panas terik, kadang kehujanan,  justru itulah yang dia kehendaki. Berbeda dengan waktu kuliah di kedokteran dulu. Kini dalam waktu yang relative singkat dia malah dapat berprestasi.

Representasi Kita Juga

Apa yang dialami oleh teman saya tadi, sesungguhnya menjadi sebuah representasi yang sering kali tanpa sengaja kita lakukan. Memaksa anak agar sama persis dengan orang tuanya. Tentu kita tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dua kali dalam kasus yang serupa. Sudah banyak anak-anak kita menjadi korban ambisi kita sebagai orang tua.

Idealnya memang harapan orang tua dapat ditangkap anak sebagai bentuk cita-cita yang harus diperjuangkan hingga menjadi sebuah kenyataan. Namun hidup tidak selalu dalam frame ideal. Kita tidak jarang jauh dari ideal, bahkan melawan dari ideal itu sendiri. Kondisi real ini harus kita hadapi. Bagaimana agar keinginan orang tua dapat terakomodasi dengan baik oleh anaknya.?

Pertama, Komunikasi. Ini penting, namun jarang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Entah karena gengsi atau kesibukan tiada henti, sehingga tidak ada waktu untuk dialog dengan anak sendiri. Padahal banyak pengalaman telah membuktikan bahwa komunikasi dapat mematahkan kebekuan dua belah pihak akibat dari ego masing-masing. Ketika anak mempunyai cita-cita, orang tua mempunyai harapan, sokur-sokur dapat dipadukan, jika tidak dicarikan solusi terbaik. Win-win solution. Tidak ada yang merasa dikalahkan.

Contoh utopis, namun dapat dijadikan pelajaran berharga adalah ketika Nabi Ismail (waktu itu, Ismail kecil) beranjak remaja, diajak dialog oleh Nabi Ibrahim As, ketika Ibrahim harus menyembelihnya karena perintah Allah SWT diluar nalar kemanusiaan. Disaat Ibrahim sedang senang-senangnya memandang Ismail, turun perintah tersebut. Maka yang dilakukan Ibahim adalah mengajak dialog anaknya, tentang perintah itu. Syukurlah Ismail yang sudah disiapkan menjadi Nabi, generasi penerus Ibrahim menjawab dengan indahnya, jawaban yang menggetarkan.”Lakukan bapak seandainya memang itu adalah perintah dari Allah semoga engkau mendapati aku termasuk kedalam golongan orang-orang yang sabar,”.

Kedua – Berpijak kepada realita. Kadang sebagai orang tua keinginan kita terhadap anak terlalu tinggi dan berlebihan.Tidak melihat kondisi dan potensi anak yang sesungguhnya. Akibatnya anak stress.Untung tidak gila. Pendeknya mengarahkan boleh, namun kalau sudah mengharuskan anak harus jadi ini, jadi itu tentu sikap protektif yang berlebihan. Contoh lagi, pasangan dokter, sukses, pinter, ternyata mereka mempunyai anak Down Syndrown (DS) yang kemampuan intelegensinya dibawah standar. Dia harus sekolah di SLB. Jika mendapati anaknya demikian,apa juga harus dipaksakan menjadi dokter, seperti orang tuanya? Tidak bijaksana.

Epilog

Jargon : Anak kita bukan anak kita. Ada baiknya kita pahami. Mereka akan hidup dengan tantangan yang sangat beda dengan orang tuanya. Biarlah mereka menjadi dirinya sendiri. Jadikan keluarga kita yang nyaman buat anak-anak berlabuh dan berteduh. Bukan sebaliknya, ketika kita jengkel maka anak akan pergi, setelah itu  mereka kita cari, namun setelah pulang justru kita marahi. Tentu mereka akan bingung. Kita beri bekal agama dan ilmu sedari dini agar kelak ketika dewasa dan berumah tangga dapat “bersahabat” dengan masalah yang menghampirinya. Share yang keliru tentu akan menemukan jalan keluar yang salah juga. Hati-hati kita sebagai orang tua. Mari mulai kita ajak sholat jamaah di masjid terdekat, meski mereka masih balita dan belum tahu makna. Satu saat mereka akan mengerti dengan sendirinya. Sekian.

* Penulis : Guru di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. Opini pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!