29.2 C
Jakarta

Fenomena Bunuh Diri, Mengapa Menjadi Solusi?

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP*

PERNAH kita dikejutkan dengan pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri. Satu keluarga di Cirebon dan Pekalongan melakukan aksi bunuh diri dengan cara menenggak minuman beracun yang mestinya untuk serangga. Akibatnya 5 orang tewas dalam waktu yang hampir bersamaan. Dugaan sementara polisi, mereka sedang dihimpit hutang yang cukup besar, lantaran usahanya rugi. Hanya itukah penyebabnya? Masih tanda tanya. Contoh lain, misalnya polisi yang menembak kepalanya sendiri, atau kejadian di Wonosari karena penyakitnya yang tidak kunjung sembuh, maka  gantung diri, dijadikan solusi terakhir untuk mengakhiri masalahnya.

Saya kira semua agama, sepakat bahwa bunuh diri dengan media apapun, bukan solusi yang baik untuk mengurai benang kusut yang membelit dalam kehidupan. Karena sejatinya ada kehidupan sejati setelah mati. Itulah kehidupan yang sesungguhnya. Kekal abadi, selama-lamanya. Kholidina fiha abada. Islam bahkan memandang kehidupan di dunia ini hanya senda gurau saja. Artinya, kalaupun toh kita tidak kaya sekali, atau sukses sekali, tidak usahlah disesali. Karena selama masih di dunia semua akan dibatasi. Hingga Islam menawarkan program ITQ ( Ikhtiyar, Tawwakal dan Qonaah), yang artinya menerima dengan senang hati semua hasil setelah kita maksimal mengusahakannya. Karena kondisi apapun itu, kalau kita terima dengan ikhlas maka akan berujung dengan kebaikan.

Perlu Latihan

Pertama, Ikhtiyar. Dalam bahasa keseharian adalah usaha. Islam menganut system sebab akibat. Artinya, bahwa kalau ingin berhasil, ya berusaha, kalau ingin pintar ya belajar. Konsep “bedjo” cenderung kepada keberuntungan. Artinya itu bisa terjadi 1 di antara sejuta. Sehingga tidak dapat dijadikan sebagai sebuah metode akal sehat yang mencerahkan. Maka kita diwajibkan untuk menggapai kehidupan di akhirat ini dengan sekuat tenaga. Namun jangan lupakan kehidupan di dunia. Mengapa kehidupan didunia jangan dilupakan? Karena kehidupan di dunia sebagai jembatan untuk menuju kehidupan akhirat yang hakiki.

Maka Islam mengajarkan umatnya untuk bekerja keras. Apalagi saat masih muda. Karena masa muda yang hanya sebentar. Jika tidak dimanfaatkan, kita akan menyesal. Karena waktu terus berjalan. Tanpa peduli, apakah kita isi atau berlalu begitu saja. Jika pada saat muda kita jaya, maka tidak seharusnya kemudian kita lupa diri. Apalagi, disaat “jatuh” kemudian dengan mudah kita memvonis diri, bahwa kita telah gagal. Tidak. Sukses dan gagal sesungguhnya adalah perspektif saja. Tergantung siapa yang memandang. Meski secara ukuran dapat dilihat. Namun masing-masing sesungguhnya mempunyai takaran sendiri-sendiri.

Kasus di Pekalongan, Cirebon, Gunung Kidul, Sleman dan di mana saja yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri, karena menganggap diri gagal, lebih disebabkan karena pemikiran jangka pendek. Karena dalam pandangan semua agama, setiap masalah, Allah sudah memberikan jalan keluarnya. Hanya kita sendiri yang pandai untuk menjemput dan mencari solusi itu.

Kedua, Tawwakal. Berserah diri. Setelah usaha maksimal. Maka langkah kedua adalah serahkan usaha kita itu kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengatur segalanya. Sukses gagal, kalah menang, sesungguhnya sudah adalah dalam genggaman-Nya. Kalau terminology ini kita pegang, maka saat sukses kita penuh syukur, tidak sombong dan takabur dengan menganggap bahwa kesuksesan ini adalah semata karena usaha dan kepintaran kita. Sebab kalau itu sudah menjadi virus yang merasuki pikiran kita, maka yang terjadi adalah pada saat kita jatuh, maka akan merasakan bahwa diri ini menjadi orang yang tidak berarti, tidak ada gunanya, bermuara kepada frustasi yang berkepanjangan, akibatnya depresi dan bunuh diri.

Padahal manusia itu milik Allah. Manusia sangat kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya. Sampai kecilnya dan terbatasnya kita sebagai manusia, sampai-sampai apa yang akan kita lakukan besok pagi saja kita tidak akan pernah bisa memastikannya. Merencanakan bisa, namun memastikan, tidak akan pernah bisa. Karena semua itu adalah rahasia Allah Swt (Al-Luqman 31: 34 ). Maka jika sudah maksimal usaha, toh belum berhasil atau sudah berhasil namun satu saat kita tersandung batu kegagalan, ya nikmati saja. Inilah konsep tawwakal yang ditawarkan. Sambil mengingat kehidupan di dunia adalah senda gurau dan sementara saja.

Ketiga, Qanaah. Artinya, menerima dengan senang hati, hasil apapun yang diberikan. Karena itulah yang terbaik menurut pandangan-Nya. Bukan kaca mata kita sebagai manusia. Konsep sederhana ini mudah untuk dibicarakan, namun dalam dataran realitas, ketika kita terkena masalah, tidak semua orang dapat menerima dan berada pada “maqam” tersebut. Namun, bukan berarti tidak bisa dilatih dan dicoba.

Tidak pernah masalah selalu dibarengkan dengan jalan keluar. Tidak selalu kesulitan, selalu diiringi dengan kemudahan. Tuhan Allah sesungguhnya tidak pernah memberikan beban diluar batas kemampuan kita sebagai manusia. Maka sudah seharusnya masalah apapun yang mengitari kehidupan kita, jangan sampai kita menjadi gelap mata, gelap hati kemudian mencari solusi pintas, bunuh diri. Itu solusi yang tidak kreatif. Tetapi destruktif. Merusak diri dan masa depan yang abadi. Kita kembalikan semua kepada Allah Yang Maha Adil, Yang Maha Mengatur. Amin..Sekian

* Penulis : Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!