SOLO, MENARA62.COM – Fenomena jasa fotografi marketplace seperti Fotoyu kembali ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat. Fenomena ini menuai kontroversi lantaran dianggap telah melanggar privasi seseorang.
Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika (FKI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sidiq Setyawan, S.I.Kom., M.I.Kom., sekaligus penggiat seni fotografi, mengungkap bahwa fenomena ini bukanlah hal baru dalam dunia fotografi. Ia menilai bahwa tren tersebut tidak sepenuhnya baru, melainkan kelanjutan dari perkembangan teknologi dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat serta kebutuhan untuk mengekspresikan diri di dunia digital.
“Fenomena fotoyu itu bukan hal baru. Munculnya fotoyu adalah hasil dari hukum pasar ketika ada permintaan, pasti akan muncul penawaran. Teknologi menjawab permintaan pasar itu,” jelas Sidiq pada Senin (10/11).
Ia menekankan fotografi bukan sekedar aktivitas memotret objek, melainkan mencakup sebuah seni, teknik, dan etika sosial. Dalam dunia jurnalistik, fotografer terikat oleh etika public interest yang berarti kepentingan publik yang secara sah dapat terpublikasi tanpa harus mempunyai izin.
“Ibaratnya seperti KPK menangkap koruptor, kan tidak mungkin kita fotografer izin ke koruptor untuk difoto dahulu. Public interestnya kurang dapat,” tuturnya.
Meskipun demikian, Ia juga mengingatkan, walau seseorang beraktivitas di ruang publik, bukan berarti bebas untuk dijadikan objek foto tanpa persetujuan. Selain itu, ia menuturkan pentingnya dokumen persetujuan yang menjelaskan di mana foto akan ditampilkan dan bagaimana penggunaannya.
“Kita sering lupa bahwa privasi itu hak dasar. Kalau orang tidak mau difoto, ya jangan difoto,” ujarnya.
Selain etika, Sidiq juga menyoroti pentingnya regulasi yang tegas bagi platform penyedia jasa fotografi digital. Ia menilai, platform memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur hubungan antara fotografer dan klien, termasuk perlindungan terhadap data visual pengguna.
“Platform seperti Fotoyu itu ibaratnya marketplace. Kalau fotografer disebut mitra, maka perjanjian dan batasan harus jelas. Jangan sampai foto yang tidak terpakai dijual atau digunakan untuk kepentingan lain, apalagi bisa digunakan AI tanpa izin,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sidiq mengakui masyarakat kini semakin peduli dengan hak privasi mereka. Ia melihat ini sebagai titik jenuh masyarakat terhadap eksposur berlebihan di ruang publik. Beberapa orang bahkan sudah memberikan tanda atau mengenakan kaos bertuliskan “Do Not Take My Photo” sebagai bentuk perlawanan.
“Orang sudah sangat peduli dengan hak-hak privacy. Bahkan beberapa orang bilang secara sederhana, orang mau lari aja kok, orang mau olahraga di luar aja, sekarang riweuh,” tutur Sidiq.
Sidiq mengusulkan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, regulasi yang jelas dari pemerintah yang mengatur term and condition platform dan batasan bagi fotografer.
Kedua, fotografer harus melihat kembali tujuan dan etika mereka. Ketiga, pelaku usaha dan fotografer tidak bisa bergerak sendiri dan harus didukung dengan platform pemangku kebijakan agar tidak memiliki gesekan horizontal.
“Foto itu tidak hanya medium. Single foto pun dia bercerita tentang orang itu, tentang hal yang mungkin dia ingin sembunyikan dari dirinya,” tambahnya.
Ia juga mendorong para fotografer muda untuk memahami kembali makna fotografi sebagai medium yang merekam kisah manusia, bukan sekadar alat ekonomi.
“Satu foto bukan cuma data visual, tapi cerita personal seseorang. Jadi hargailah mereka yang ingin atau tidak ingin difoto. Jangan hanya berorientasi pada uang, tapi juga pada nilai kemanusiaan,” pesannya.
Sidiq juga berharap tidak ada perselisihan serius antara fotografer dengan masyarakat, sehingga semua pihak, baik pelari, fotografer, dan platform bisa sama-sama menikmati aktivitas mereka dengan nyaman. (*)

