Oleh : Rahmat Mulyana*
Groupthink adalah fenomena psikologis yang terjadi dalam kelompok di mana keinginan untuk mencapai harmoni atau konformitas menghasilkan pengambilan keputusan yang irasional atau tidak efektif.
Konsep ini pertama kali diidentifikasi oleh psikolog Irving Janis yang mengamati bagaimana kelompok cenderung menekan perbedaan pendapat dan mengabaikan alternatif untuk mencapai konsensus. Karakteristik utama groupthink meliputi ilusi invulnerabilitas, rasionalisasi kolektif, tekanan langsung pada pembangkang, self-censorship, dan mindguards yang memblokir informasi negatif. Dalam dunia bisnis, groupthink telah menyebabkan beberapa kegagalan spektakuler.
Contoh klasik adalah kasus Kodak yang gagal beradaptasi dengan era digital karena eksekutif senior menolak mempertimbangkan ancaman serius dari fotografi digital, atau kasus Nokia yang tetap yakin dengan dominasi mereka di pasar ponsel meski ada ancaman iPhone. Merger AOL-Time Warner senilai $350 miliar yang berakhir dengan kerugian masif juga mencerminkan bagaimana groupthink membuat direksi mengabaikan tanda-tanda peringatan tentang overvaluasi dan masalah integrasi.
Dampak negatif groupthink dalam bisnis sangat serius dan multidimensi. Secara finansial, dapat mengakibatkan kerugian besar karena keputusan investasi yang buruk atau kegagalan produk. Secara organisasional, groupthink merusak budaya inovasi dan pembelajaran karena menekan pemikiran kritis dan perspektif berbeda. Dampak jangka panjang termasuk hilangnya daya saing karena organisasi menjadi lambat beradaptasi dengan perubahan pasar, erosi nilai pemegang saham, dan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan seperti yang terjadi pada Lehman Brothers yang mengabaikan risiko kredit subprime karena groupthink di kalangan eksekutif senior.
Kasus IKN
Kasus Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan kondisi mendekati mangkrak menggambarkan secara telanjang kegagalan sistemik dalam tata kelola dan pengambilan keputusan strategis di Indonesia. Proyek senilai Rp466 triliun ini muncul tanpa pernah tercantum dalam dokumen perencanaan strategis nasional, termasuk RPJPN 2005-2025 bahkan tidak dalam Nawacita maupun janji kampanye Jokowi 2019, menunjukkan karakteristik keputusan yang tidak terencana dan tergesa-gesa. Fenomena groupthink yang mewarnai proses pengambilan keputusan IKN memiliki paralel kuat dengan kegagalan kebijakan besar seperti yang diidentifikasi Irving Janis dalam studinya tentang kegagalan kebijakan Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, groupthink menemukan tanahnya yang subur dalam struktur kekuasaan yang hierarkis dan budaya “asal bapak senang”. Manifestasinya dalam kasus IKN terlihat dari delapan gejala klasik: ilusi invulnerabilitas dalam perencanaan yang terlalu optimistis, rasionalisasi kolektif terhadap peringatan dan kritik, keyakinan moral yang tak tergoyahkan tentang “kebenaran” proyek, stereotip negatif terhadap kritikus sebagai “anti-pembangunan”, tekanan langsung pada suara-suara kritis, sensor diri di kalangan birokrasi dan DPR, ilusi unanimitas yang dipaksakan, dan kehadiran “penjaga pikiran” yang memblokir informasi negatif.
Data menunjukkan bahwa dari 127 rapat koordinasi tingkat tinggi tentang IKN selama 2019-2023, tidak ada satupun yang menghasilkan rekomendasi penundaan atau peninjauan ulang, meskipun tanda-tanda masalah sudah jelas terlihat. Mundurnya investor strategis seperti Softbank, peringatan dari lembaga rating internasional, dan protes masyarakat adat semuanya diabaikan demi mempertahankan momentum proyek. Pola ini mengingatkan pada kegagalan korporasi besar seperti Enron atau keputusan peluncuran Challenger NASA, di mana tekanan konformitas mengalahkan pertimbangan rasional.
Kerugian finansial dari proyek IKN mencapai dimensi yang mengkhawatirkan. Hingga 2024, anggaran yang terpakai mencapai Rp75,6 triliun, jauh melampaui batas 20% APBN yang dijanjikan. Komitmen kontrak yang harus dibayar mencapai Rp48,8 triliun, dengan biaya pemeliharaan infrastruktur existing sebesar Rp2,4 triliun per tahun. Opportunity cost yang hilang setara dengan pembangunan 1.000 rumah sakit tipe C (Rp50 triliun), 20.000 sekolah dasar (Rp40 triliun), atau program pengentasan kemiskinan untuk 10 juta keluarga (Rp60 triliun).
Potensi kerugian jangka panjang lebih mengkhawatirkan lagi. Jika proyek dilanjutkan, beban utang dan bunga diproyeksikan mencapai Rp200 triliun dalam 10 tahun, dengan biaya pemeliharaan infrastruktur Rp120 triliun dalam 20 tahun. Jika proyek terbengkalai, depresiasi aset bisa mencapai 40-60% dari nilai investasi. Belum lagi kerugian lingkungan berupa deforestasi 56.000 hektar hutan primer, ancaman terhadap 94 spesies langka, dan potensi kerusakan daerah aliran sungai.
Dampak
Dampak sosial juga signifikan: relokasi paksa 5.000 keluarga indigenous, disrupsi mata pencaharian 20.000 warga lokal, dan konflik lahan dengan 12 komunitas adat. Secara institusional, kasus ini menciptakan preseden buruk dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi negara. Asumsi-asumsi perencanaan yang tidak realistis – seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi 7,5% saat tren nasional hanya 5%, atau target penyelesaian 5 tahun untuk proyek yang biasanya butuh 15-20 tahun – mencerminkan kedalaman masalah dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, diperlukan reformasi sistemik dalam tata kelola negara. Pertama, penguatan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara perlu direvitalisasi. MPR harus kembali menjadi lembaga yang memiliki kewenangan efektif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan DPR yang terperangkap jerat Parpol, tidak sekadar ceremonial.
Ini bisa dicapai melalui beberapa mekanisme:
1. Pemberian wewenang kepada MPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja lembaga-lembaga negara, termasuk presiden dan DPR.
2. Penguatan fungsi MPR dalam menetapkan dan mengawasi implementasi GBHN sebagai panduan pembangunan jangka panjang.
3. Pemberian kewenangan kepada MPR untuk membentuk tim investigasi independen untuk proyek-proyek strategis nasional.
4. Revitalisasi peran MPR dalam memfasilitasi dialog nasional tentang isu-isu strategis.
Reformasi struktural juga harus mencakup penguatan sistem checks and balances secara keseluruhan. Ini meliputi:
1. Penguatan independensi lembaga pengawas dan audit dengan jaminan anggaran dan kewenangan yang memadai.
2. Pembentukan sistem early warning untuk mega proyek yang melibatkan multi-stakeholder.
3. Standardisasi proses evaluasi kebijakan strategis dengan kriteria dan indikator yang jelas.
4. Mandatory independent review untuk proyek di atas Rp10 triliun.
5. Requirement multi-stakeholder approval untuk keputusan strategis nasional.
Reformasi prosedural harus fokus pada peningkatan kualitas pengambilan keputusan:
1. Standarisasi requirement untuk studi kelayakan dan kajian dampak.
2. Penguatan mekanisme konsultasi publik yang bermakna.
3. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang independen.
4. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pengambilan keputusan.
5. Pengembangan mekanisme exit strategy yang jelas untuk proyek bermasalah.
Transformasi budaya organisasi juga krusial:
1. Program pengembangan critical thinking untuk pejabat publik.
2. Penguatan kultur deliberasi dalam pengambilan keputusan.
3. Insentif untuk whistleblowing yang konstruktif.
4. Pengembangan budaya evaluasi dan pembelajaran dari kegagalan.
Untuk implementasi reformasi ini, peran berbagai stakeholder sangat penting:
1. MPR sebagai lembaga tertinggi harus proaktif menginisiasi dan mengawal reformasi.
2. DPR harus kembali ke fungsi pengawasan yang kritis dan independen.
3. Lembaga audit dan pengawas harus diperkuat independensinya.
4. Media harus menjalankan fungsi watchdog secara efektif.
5. Akademisi harus aktif memberikan kajian kritis.
6. Masyarakat sipil harus terlibat dalam pengawasan dan partisipasi.
Pembelajaran dari kasus bisnis serupa di dunia menunjukkan bahwa groupthink sering menghasilkan tiga pola kegagalan yang harus diantisipasi: overestimation of capabilities (seperti kasus AOL-Time Warner merger), excessive optimism about market response (seperti kasus New Coke), dan institutional blindness to risk (seperti kasus Lehman Brothers). Kasus IKN menunjukkan ketiga pola ini sekaligus.
Untuk masa depan, Indonesia membutuhkan sistem tata kelola yang lebih robust dengan checks and balances yang efektif. MPR harus memainkan peran sentral dalam transformasi ini, bukan hanya sebagai lembaga tertinggi secara formal, tetapi juga sebagai guardian efektif terhadap pengambilan keputusan strategis nasional. Tanpa reformasi sistemik ini, risiko terulangnya kegagalan seperti IKN akan tetap tinggi.
Kesimpulannya, kasus IKN harus menjadi wake-up call untuk reformasi mendasar dalam tata kelola negara Indonesia. Kombinasi penguatan MPR, reformasi struktural dan prosedural, serta transformasi budaya organisasi adalah prasyarat untuk membangun sistem pengambilan keputusan yang lebih baik. Hanya dengan perubahan sistemik dan komitmen seluruh stakeholder, Indonesia dapat memastikan kualitas pengambilan keputusan strategis yang lebih baik di masa depan.
Penulis: Rahmat Mulyana, Kepala Pusat Studi Islamic Public Policy IAI Tazkia