Fiat justitia ruat caelum adalah frasa dalam bahasa Latin yang berarti “keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh”. Frasa ini merupakan adagium hukum yang menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang konsekuensi.
Adagium ini makin terasa diperlukan, saat menyaksikan sidang kriminalisasi yang menimpa Kolonel Inf. Eka Yogaswara pada Kamis (13/3/2025).
Tidak banyak eksepsi kasus kriminal di pengadilan yang bisa menyita perhatian. Memang kasus ini belum banyak menyedot perhatian seperti pengadilan Tom Lembong, tapi kasus yang didakwakan terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara, oleh Oditur Militer Tinggi pada Kamis (27/2/2025), terasa mengganggu rasa keadilan. Itu sebabnya, eksepsi dari penasehat hukumnya akan dimuat secara lengkap di Menara62.com.
Kolonel Inf. Eka Yogaswara, didakwa oleh Oditur Militer Tinggi, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.
Ini sidang ketiga bagi Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH dalam kasus yang dilaporkan oleh Tessa. Eka dihadapkan ke Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta, karena dituduh memasuki pekarangan tanpa izin dan penyerobotan tanah. Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.
Berikut, lanjutan eksepsi yang dibacakan oleh R Agus Yudi Sasongko, penasehat hukum sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara dalam sidang di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta.
D. EKSEPSI DAKWAAN ODITUR MILITER TINGGI TIDAK DAPAT DITERIMA
- Bahwa jika memang Terdakwa adalah pelakunya, maka surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi menurut pendapat kami sangatlah membingungkan dan absurd khususnya pada bentuk Dakwaan yang diajukan. Bentuk Dakwaan dalam perkara a quo semestinya hanya berbentuk Dakwaan tunggal, yaitu Pasal 384 ke-4 KUHPidana saja tanpa memasukkan Dakwaan Kedua Pasal 167 ayat (1) KUHPidana, yang rumusan pidananya berbunyi memasuki pekarangan tanpa ijin. Hal ini sangat beralasan karena untuk melakukan perbuatan menyewakan tanah, maka Terdakwa secara otomatis memasuki pekarangan terlebih dahulu untuk melakukan tindakan hukum sewa menyewa tanah dengan pihak lain, sehingga Pasal 167 ayat (1) KUHPidana secara yuridis sudah cukup terwakili di dalam Pasal 385 ke-4 KUHPidana. Pencantuman Pasal 167 ayat (1) KUHPidana justru menunjukkan Oditur Militer Tinggi dengan sengaja mencari cari celah kesalahan Terdakwa dengan modus penegakan hukum.
- Bahwa jika memang Terdakwa adalah pelakunya, maka kami menilai konstruksi hukum surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi secara materiil adalah bersifat “perbuatan berlanjut”, di mana Oditur Militer Tinggi mendalilkan dalam Dakwaan Kesatu bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2023 dan dalam Dakwaan Kedua perbuatan Terdakwa dilakukan sejak tahun 2022 sampai dengan tahun 2023. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa terkesan sebagai perbuatan yang bersifat terus menerus atau berlanjut atau perbarengan (concursus), maka di
dalam surat Dakwaan harus memasukkan Pasal 64 ayat (1) KUHPidana karena tindakan yang dilakukan Terdakwa sama-sama diduga sebagai bentuk kejahatan dan ada hubungan antara satu tindakan dengan tindakan lainnya serta beberapa perbuatan Terdakwa dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukan di tempat yang sama namun dalam waktu yang berbeda. Dengan demikian terhadap surat Dakwaan yang tidak mencantumkan atau memasukkan Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dapat dinilai sebagai Dakwaan yang cacat hukum sehingga tidak sah. Bunyi Pasal 64 ayat (1) KUHPidana
dimaksud adalah: Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.