32 C
Jakarta

Fiat Justitia Ruat Caelum (5)

Dakwaan Oditur Militer Tinggi Terlalu Prematur

Baca Juga:

Fiat justitia ruat caelum adalah frasa dalam bahasa Latin yang berarti “keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh”. Frasa ini merupakan adagium hukum yang menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang konsekuensi. 

Adagium ini makin terasa diperlukan, saat menyaksikan sidang kriminalisasi yang menimpa Kolonel Inf. Eka Yogaswara pada Kamis (13/3/2025).

Tidak banyak eksepsi kasus kriminal di pengadilan yang bisa menyita perhatian. Memang kasus ini belum banyak menyedot perhatian seperti pengadilan Tom Lembong, tapi kasus yang didakwakan terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara, oleh Oditur Militer Tinggi pada Kamis (27/2/2025), terasa mengganggu rasa keadilan.  Itu sebabnya, eksepsi dari penasehat hukumnya akan dimuat secara lengkap di Menara62.com.

Kolonel Inf. Eka Yogaswara, didakwa oleh Oditur Militer Tinggi, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.

Ini sidang ketiga bagi Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH dalam kasus yang dilaporkan oleh Tessa. Eka dihadapkan ke Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta, karena dituduh memasuki pekarangan tanpa izin dan penyerobotan tanah. Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.

Berikut, lanjutan eksepsi yang dibacakan oleh R Agus Yudi Sasongko, penasehat hukum sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara dalam sidang di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta.

F. EKSEPSI DAKWAAN ODITUR MILITER TINGGI TERLALU PREMATUR

Sasongko mengungkapkan, Dakwaan Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa adalah terlalu sumir dan prematur, yang diartikan sebagai dakwaan yang disusun terlalu singkat dan terburu-buru, yang belum saatnya untuk diajukan di depan persidangan, yang berakibat terdakwa adalah korban dari proses penegakan hukum yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru untuk suatu tujuan tertentu.

Bahwa alasan prematur karena ada Pra-Yudisial yang berarti ada sengketa yang harus diputuskan terlebih dahulu sebelum mengadili pokok perkara a quo, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1956, yang menerangkan “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu”.

Dengan kata lain surat Dakwaan dalam perkara a quo belum dapat diterima untuk diperiksa perkaranya di Pengadilan karena masih terdapat permasalahan hukum lain yang perlu diselesaikan terlebih dahulu baik melalui penetapan maupun putusan pengadilan Perdata yang berkekuatan hukum tetap sebelum memutus perkara a quo karena adanya hubungan antara kedua hal tersebut. Adapun alasan surat Dakwan dalam perkara a quo terlalu prematur adalah sebagai berikut:

  1. Perum PFN Terlebih Dahulu Harus Melakukan Tindakan Hukum Eksekusi Pengosongan. Bahwa rangkaian pokok perkara Perdata yang dihadapi oleh Perum PFN secara yuridis belumlah tuntas secara keseluruhan karena untuk menuntut hak atas tanah berdasarkan putusan TUN maupun putusan Perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, Perum PFN terlebih dahulu harus melakukan tindakan hukum lanjutan dengan mengajukan permohonan Aanmaning (Teguran), Sita Ekseksui dan permohonan eksekusi riil (pengosongan) atas tanah kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan bukannya malah melaporkan Terdakwa ke Puspomad atas dugaan tindak pidana penyerobotan
    tanah dan memasuki pekarangan tanpa ijin karena hal ini justru merupakan salah satu bentuk kriminalisasi melalui penegakan hukum pidana. Pengertian eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang merupakan tindakan yang berkesinambungan dari keseluruham rangkaian proses Hukum Acara Perdata yang wajib ditempuh oleh pihak yang merasa menang perkara. Jika pihak yang merasa menang hanya bersikap diam dan tidak melakukan tindakan hukum berupa eksekusi pengosongan, maka dinilai sudah tidak mempedulikan lagi persoalan hukum terkait hak atas tanahnya namun ironisnya justru mengambil
    langkah penyelesaian melalui jalur pidana, maka hal ini sama saja melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional Terdakwa. Bahwa dengan demikian guna menjamin adanya kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah yang terletak di Jl. Kapten P. Tendean No. 41, Jakarta Selatan, maka secara yuridis Perum PFN terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum dengan mengajukan eksekusi pengosongan. Tatanan hukum di Indonesia akan rusak apabila pemenang gugatan perdata enggan mengajukan eksekusi namun justru memohon bantuan kepada aparat negara agar yang kalah diprores secara pidana.
  2. Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75, Atas Nama Departemen Penerangan Mengandung Cacat Hukum. Bahwa batas-batas tanah yang termuat di dalam Gambar Situasi Sertifikat Sementara Hak Pakai Nomor: 75, atas nama Departemen Penerangan
    (terlampir dalam Berkas Perkara/ Bukti T-20) tertulis “Bekas eigendom verponding 6934 Sisa” adalah tidak benar karena berdasarkan surat Kantor Pertanahan Jakarta Selatan Nomor : 478/ 7.31.74-300/ I/ 18, tanggal 17 Januari 2018, Perihal Penjelasan Status Bidang Tanah Hak Pakai No. 75 (terlampir dalam Berkas Perkara/ Bukti T-21), yang pada pokoknya menerangkan bahwa status bidang-bidang tanah yang berbatasan langsung
    dengan Hak Pakai Nomor 75 adalah tanah bekas Milik Adat dan bukan tanah bekas Eigendom Verponding 6934 sisa. Dengan demikian asal tanah Hak Pakai Nomor : 75 adalah Konversi dari tanah Hak Milik Adat dan bukan konversi dari tanah eigendom verponding No. 6934/ sebagian, sebagaimana yang tertulis di dalam sertifikat tersebut, karena sangat tidak mungkin di tengah-tengah tanah dengan status Hak Milik Adat terdapat tanah dengan status eigendom verponding. Oleh karena itu guna memastikan legalitas sertifikat tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu di peradilan
    perdata dan oleh karenanya perkara a quo secara yuridis terlalu prematur untuk dilakukan penuntutan oleh Oditur Militer Tinggi di depan persidangan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
  3. Sertifikat Sementara Hak Pakai Nomor: 75, atas nama Departemen Penerangan RI Adalah Sertifikat Sementara. Bahwa Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75, atas nama Departemen Penerangan adalah sertifikat yang bersifat “sementara”, sebagaimana yang
    tertulis di dalam sertifikat tersebut, yang artinya menurut Pasal 17 PP No.: 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menerangkan bahwa “Sertifikat Sementara yaitu sertifikat tanpa surat ukur”. Faktanya Sertifikat Sementara Hak Pakai No. 75 tidak ada Surat Ukurnya namun baru memuat Gambar Situasi – di mana di dalam Gambar Situasi tersebut secara tegas dan jelas tertulis keterangan bahwa: “batas-batas tanah tersebut baru akan ditetapkan kembali dalam suatu surat ukur berdasarkan Pasal 11 ayat (1)
    Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah”. Sertifikat sementara merupakan alat pembuktian hanya mengenai alas hak dan pemegang haknya saja dan tidak membuktikan mengenai letak tanah, luas tanah dan batas-batas tanah. Oleh karena itu kami menilai letak tanah, luas tanah dan batas-batas tanah yang termuat di dalam sertifikat sementara hak pakai tersebut belum ada kepastian hukumnya dan tidak dapat dipakai sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah sehingga hal ini berakibat timbulnya keragu-raguan hukum mengenai legalitas sertifikat tersebut.
    Dalam perkara a quo kepastian hukum mengenai letak tanah, luas tanah dan batas-batas tanah pada hakekatnya sangatlah penting guna menentukan atau membuktikan apakah tindakan terdakwa telah memenuhi salah satu unsur tindak pidana, sebagaimana yang didakwakan oleh Oditur Militer Tinggi, yaitu “menyewakan tanah orang lain” dan “memasuki pekarangan orang lain“. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang pada pokoknya berbunyi “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur”. Jika berpijak pada pasal tersebut, maka sebuah sertifikat sementara yang data fisiknya tidak ada surat ukurnya, maka sertifikat tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat pembuktian yang kuat/ sempurna. Dengan demikian guna mendapatkan kepastian hukum mengenai letak
    tanah, luas tanah dan batas-batas tanah pada Sertifikat Sementara Hak Pakai Nomor: 75 tersebut, maka secara yuridis perlu dilakukan pengukuran ulang dan pemetaan terlebih dahulu oleh Kantor Agraria sebelum diajukan di persidangan dalam perkara a quo.
  4. Pengakuan Perum PFN Sebagai Pemilik Tanah Tidak Berdasar Hukum. Oditur Militer Tinggi dalam Surat Dakwaan halaman 4, huruf i telah berpendapat “tanah yang terletak di Jl. Kapten P. Tendean No. 41, Jakarta Selatan adalah milik sah Perum PFN”, merupakan pendapat yang menyesatkan dan sobyektif karena berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran Tanah, yang
    menjelaskan : “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada di dalam Surat Ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”, maka guna menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah yang diklaim oleh Perum PFN tersebut, maka seharusnya sertifikat sementara hak pakai tersebut dilakukan balik nama terlebih dahulu dari atas nama Departemen Penerangan menjadi atas nama Perum PFN, sehingga secara yuridis legal standing Perum PFN sebagai pemilik tanah menjadi jelas, sah dan sempurna serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan demikian Oditur Militer Tinggi terlalu prematur dalam mengajukan tuntutannya di muka persidangan dengan mendalilkan Perum PFN adalah sebagai pemilik sah atas tanah yang terletak di Jl. Kapten P. Tendean No. 41, Jakarta Selatan.

Eksepsi Dakwaan terlalu prematur memang tidak dikenal dalam KUHAP maupun UU Peradilan Militer namun tidak bertentangan dengan KUHAP maupun dengan UU Peradilan Militer, mengingat implikasi yang ditimbulkan dari dikabulkannya eksepsi dakwaan bersifat pramatur adalah surat dakwaan tidak dapat diterima. Oleh karena itu alangkah bijaknya apabila alasan adanya Pra Yudisial tersebut di atas wajib ditempuh terlebih dahulu karena masih ada kemungkinan bahwa keluarga Terdakwa dan para ahli waris merupakan pemilik sah atas tanah yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan, sehingga masih diperlukan putusan perdata untuk memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa. Dengan demikan Kami mohonkan dengan hormat kepada Majelis Hakim untuk menyatakan menurut hukum bahwa Surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi tidak dapat diterima karena terlalu prematur untuk dilakukan penuntutan di persidangan.

4<<sebelumnya; selanjutnya>>6

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!