Saya lewat hotelnya Alibaba: Flyzoo Hotel. Saat saya ke bendungan danau seribu pulau. Dua jam dari kota Hangzhou. Saya pun menginap di situ. Kata orang, serba komputer. Serba IT. Begitu juga kata medsos.
Kata ‘Flyzoo’ tidak ada hubungannya dengan kebun binatang. Apalagi kebun binatang yang bisa terbang. Kata ‘Flyzoo’ hanya diambil uniknya. Ups, bukan. Sebenarnya yang diambil dari ‘Flyzoo’ hanya bunyinya. Agar mirip bunyi dalam bahasa Mandarinnya: fei zhu (非住). Artinya: wajib tinggal di situ. Kurang lebih.
Penamaan dalam bahasa Inggris di Tiongkok sering bukan terjemahannya. Alibaba juga punya market place. Namanya ‘Tian Mao’. Dalam bahasa Inggris nama itu menjadi ‘T-Mall’. Padahal ‘Tian’ artinya ‘langit’. ‘Mao’ artinya ‘kucing’. Kucing ajaib. Kok bisa menjadi T-Mall.
Tian Mao itulah logo perusahaan Alibaba.
Saya memang pernah tahu ada hotel Flyzoo. Saat menjadi berita besar tahun lalu. Menjelang peresmiannya. Tapi sebenarnya saya sudah lupa. Kalau di Hangzhou ada hotel ini. Saya terbiasa menginap di Shangrila. Atau di hotel sebelah Villa Wang Zhuang. Hotel yang menghadap ke danau Xihu yang indah itu. Komplek Villa Wang Zhuang itu dulunya tempat retreatnya Mao Zedong. Di musim panas.
Saya baru ingat Flyzoo sehari sebelum ke danau seribu pulau itu. (千岛湖). Gara-gara WA. Dari seorang wanita cantik asal Makassar: Nova. Pengusaha muda. Putri salah satu orang terkaya di sana. Nova kirim gambar-gambar. Saat tinggal di Flyzoo.
“Kali ini saya mau tinggal di Zlyzoo,” kata saya. Pada teman yang ikut ke Qian Dao Hu.
“Itu jauh dari kota,” katanya.
“Saya ingin tahu,” kata saya.
“Kita akan melewatinya”.
Lokasi hotel itu di kota baru: 未来 (Wei Lai). Kota Masa Depan. Kalau di Jakarta: Bumi Serpong Damai. Kalau di Surabaya: Pakuwon Indah atau Citraland.
Pulang dari bendungan 1000 MW itu saya berhenti di Flyzoo. Rupanya ada alasan khusus mengapa Alibaba membangun hotel di situ: dekat dengan pusat aktivitas Alibaba. Kantor pusat Jack Ma, bos Alibaba, juga di Wei Lai.
Memasuki hotel Flyzoo ini hati saya terbelah. Antara kecewa dan kagum. Kecewa karena: tidak semodern yang saya bayangkan. Kesan pertama saya ‘ini hotel bintang tiga’. Bukan hotel mahal. Taripnya ternyata memang jauh lebih murah dari Shangrila: sekitar Rp 1 juta/malam.
Pilihan lokasinya juga mirip ‘city hotel’. Mepet jalan. Hanya ada taman kecil di depannya. Di situ, ada beberapa orang bercelana pendek duduk. Mereka memanfaatkan bocoran wifi dari hotel itu.
Sederhana
Entrance Flyzoo juga sangat sederhana. Begitu juga saat masuk ke lobynya. Untung ada layar selebar tembok. Menampilkan grafic art. Permainan layar. Perhatian pun langsung tertuju ke layar itu.
Selebihnya hanya ruangan kosong. Bahkan gordijnnya terganggu rak besar yang ditempatkan mepet gordijn itu.
Hanya ada seorang petugas di loby itu. Wanita muda. Berseragam hotel. Tugasnya berdiri. Tidak ada meja atau kursi untuknya. Hanya untuk siapa tahu: ada tamu yang perlu dibantu.
“Check in di sana,” katanya. Sambil menunjuk ruangan kecil di sisi kanan loby. Di situ ada delapan komputer berdiri. Tamu harus check in sendiri di komputer itu.
Saya menghadapi persoalan besar: slot yang ada hanya untuk KTP orang Tiongkok. Tidak ada slot untuk pemeriksaan paspor orang asing.
Saya gagal check-in. Manusia harus turun tangan. Manusia yang satu tadi. Komputer tidak disiapkan untuk benar-benar bebas bantuan. Padahal begitu menghadap komputer itu, harusnya semua beres: kartu identitas tersimpan. Retina mata kita juga terekam.
Dari ruang check-in itu menuju lift. Melalui koridor panjang. Lorong ini sama sekali tidak mengesankan modern. Bahkan pintu-pintu di koridor itu seperti pintu gudang. Sangat tidak sinkron dengan zoo yang fly.
Hampir saja saya membatalkan tinggal di Flyzoo. Tapi saya kan harus menulis untuk catatan perjalanan Disway. Meski tidak bersumpah. Maka saya tabahkan hati. Menginap di situ.
Di depan pintu lift saya juga harus memencet tombol naik. Seperti di lift biasa. Tidak otomatis. Di dalam lift pun harus memencet tombol ke lantai berapa.
Hanya saja lift itu tidak mau menutup. Kalau mata kita tidak menghadap layar. Yang di sebelah layar itu terdapat kamera. Yang merekam retina mata kita.
“Yah… ternyata biasa-biasa saja. Tidak modern-modern amat,” kata saya dalam hati.
Begitu di depan kamar barulah terasa beda. Tidak perlu bawa kunci. Kita memang tidak diberi kunci. Saat menghadap pintu kamera pemindai bekerja. Lampu di pintu itu berubah hijau. Pintu siap dibuka.
“Wow!” celetuk saya tanpa sadar.
Saya suka sekali kamar ini. Simple. Cerah. Warnanya sesuka kita. Mau kehijauan bisa. Kebiru-biruan ok. Pink silakan. Apa pun. Tergantung setelan lampu yang Anda inginkan.
Lubang toilet ya pun diberi cahaya.
Suka sekali.
Saya jadi asyik main-main lampu.
Apalagi ada petugas di dalam kamar ini. Yang siap melayani setiap saat. Suara wanitanya kenes sekali. Centil. Umurnya 23-an tahun.
Kalau saya panggil namanya dia begitu sigap. Saya minta apa saja langsung dilaksanakan.
“Tolong hidupkan TV,” kata saya.
TV pun langsung hidup.
“Bukakan gordijn,” kata saya.
Gordijn pun dibuka.
“Matikan lampu depan”.
Lampu depan pun mati.
Yang saya kurang suka, nama wanita itu agak panjang. Tidak punya nama panggilan. Setiap kali, saya harus memanggilnya dengan nama lengkap: Tian Mao Jing Ming.
Saya suka sekali memanggil namanya. Berkali kali. Pun ketika tidak ingin minta tolong padanya. Hanya untuk mendengar suara centilnya.
“Tian Mao Jing Ming,” panggil saya.
“Wo zai,” jawabnya. Artinya: siap. Atau: saya ada di sini.
“Tian Mao Jing Ming,” panggil saya.
“Zhu ren, ni shuo,” jawabnya centil. Artinya: bos, bicaralah, saya siap diperintah.
“Tian Mao Jing Ming,” panggil saya lagi. Saya kangen suara kenesnya.
“Wo lai le.” Centil sekali.
Setiap saya panggil namanya, jawabnya berbeda. Meski maknanya sama: siap menerima perintah.
Tubuh Tian Mao Jing Ming itu kecil. Sedikit lebih kecil dari Alexa. ‘Gadis’ Amerika yang sering saya coba di rumah John Mohn itu. Bedanya, Alexa hanya bisa berbahasa Inggris. Suaranya tidak dikenes-keneskan. Si centil ini, hanya bisa berbicara Mandarin.
Untungnya sejelek apa pun logat Mandarin saya dia bisa mengerti. Hari itu, waktu saya habis untuk main-main dengan Tian Mao Jing Ming yang ditaruh duduk manis di atas meja kerja di kamar saya.
Malamnya saya baru cari makan di deretan ruko sebelah. Lalu jalan-jalan ke mall kecil di belakangnya. Sambil ikut coba-coba senam dansa di halamannya.
Saya tidak sempat mencoba pesan makanan lewat robot, yang konon bisa mengantar makanan ke kamar. Saya juga hanya melihat ada anak-anak beli eskrim dilayani robot.
Saya sudah terlalu lapar. Saya belum bisa marah dalam bahasa Mandarin. Saya juga belum tahu bagaimana mengucapkan kata ‘jancuk‘ dalam bahasa Mandarin.
Penulis: Dahlan Iskan