JAKARTA, MENARA62.COM– DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) menjadi Undang-Undang resmi dalam Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020). UU Cipta Kerja ini merupakan perampingan dari setidaknya 79 UU dengan 1.244 pasal serta 11 klaster.
Dalam rapat paripurna tersebut beberapa fraksi menyampaikan persetujuannya. Diantaranya adalah Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), yang memberikan persetujuan dengan beberapa catatan kritis. Catatan kritis terkait UU Cipta Kerja ini yang disampaikan dalam rapat-rapat panja yang sudah dilaksanakan.
“Catatan-catatan kritis ini kami himpun dari masyarakat. Ini adalah akumulasi dari aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN. Namun harus disadari, Fraksi PAN tentu tidak bisa sendiri dalam menyuarakan dan memperjuangkannya. Karena itu, tidak heran jika tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU,” ujar Saleh Partaonan Daulay, Plh. Ketua Fraksi PAN, Wakil Ketua MKD, Anggota Komisi IX, Dapil Sumut II dalam siaran persnya.
Adapun beberapa catatan kritis Fraksi PAN terhadap UU Cipta Kerja tersebut antara lain pertama, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dinilai terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Ini akan mengakibatkan hasil dari UU kurang optimal.
Kedua, dari sektor kehutanan, terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan dinilai kurang tepat karena mengesampingkan masyarakat.
Ketiga, dari sektor pertanian, pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus belum menjadi agenda dalam UU Ciptaker hal ini karena pemerintah akan membuka keran impor pangan dari luar negeri yang diduga akan menyulitkan petani lokal.
Keempat, ketentuan dalam pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya dalam pasal 4A dinilai berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK. Dalam konteks ini, semestinya UU Ciptaker ini bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui lembaga yang resmi dan disetujui.
Kelima, dalam bidang ketenagakerjaan, UU tidak mencamtumkan secara spesifik mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing agar tidak menimbulkan multiinterpretasi.
Keenam, menilai penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Ketujuh, pada pasal 88B mengenai upah yang ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil tidak memihak kepada kaum buruh melainkan kepada pekerja profesional.
kedelapan, kebijakan hak pekerja tentang upah pada saat pemutusan hak kerja (PHK) melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Dinilai akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja (APBN) dan berpihak berpihak kepada pengusaha.
“Pandangan fraksi PAN ini telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat panja. Pandangan yang lebih lengkap juga disampaikan dalam rapat paripurna DPR RI. Fraksi PAN berharap agar kelahiran UU ini dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas,” tutup Saleh Ketua Fraksi.