JAKARTA, MENARA62.COM – Pandemi Covid-19 membuat kasus perkawinan anak meningkat. Berdasarkan data dari Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkaman Agung, dispensasi nikah pada tahun 2020 yang dikabulkan melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tercatat hanya 23.126 dispensasi. Selanjutnya di tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211 dispensasi.
Studi yang dilakukan Koalisi 18+ tentang dispensasi perkawinan mengungkapkan bahwa 98% orang tua menikahkan anaknya karena anak dianggap sudah berpacaran / bertunangan. Sementara itu 89% hakim mengatakan bahwa pengabulan permohonan dispensasi dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua.
Pemerintah sebetulnya telah memiliki landasan hukum terkait perkawinan anak. UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, yaitu 19 tahun. Namun, hal itu tidak serta-merta menjamin perkawinan anak dapat dicegah.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, selain peran pemerintah, perlu juga upaya dari lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memecahkan masalah perkawinan anak. Salah satu upaya yang perlu dilakukan, sebut dia, adalah dengan menetapkan fatwa terkait perkawinan anak.
Hal itu disampaikan Menko PMK dalam Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaaan Usia Peningkatan Kualitas SDM Indonesia, yang diselenggarakan oleh MUI dan Kementerian PPPA secara virtual via Youtube, pada Kamis (18/3).
“Pemerintah tidak bisa memecahkan masalah nasional ini sendiri, perkawinan anak perlu fatwa dari Majelis Ulama Indonesia sebagai perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat nikah, dimana setiap pernikahan hendaknya membawa kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan yang menikah, maupun bagi kedua keluarganya,” ujarnya.
Menko Muhadjir menjelaskan, tujuan pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah dan memperoleh keturunan yang baik serta sehat. Kondisi tersebut, menurutnya, bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikiran dan mental, serta siap melakukan proses reproduksi.
“Pernikahan anak akan berpotensi menghasilkan bayi yang kurang sehat karena anak perempuan di bawah usia 18 tahun fisiknya belum siap untuk melahirkan,” terangnya.
Orangtua Harus Bijaksana
Menko PMK mengatakan, orang tua memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah perkawinan anak. Dia meminta agar orangtua bijaksana dan memikirkan dampak panjang yang akan terjadi bila menikahkan anak.
“Keputusan untuk menikahkan anak inilah yang mestinya dipertimbangkan secara bijaksana oleh orang tua. Pemangku kepentingan terkait perlu memberi edukasi kepada orang tua mengenai sosialisasi pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan perkawinan yang tidak tercatat, demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul,” ujarnya.
Selain itu, Menko PMK mengatakan, penguatan koordinasi pemangku Kepentingan, dalam hal ini Pemerintah dan MUI, merupakan salah satu strategi yang diharapkan dapat mempercepat pendewasaaan usia perkawinan anak.
“Sekali lagi saya mendukung Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaaan Usia Perkawinan Anak antara Majelis Ulama Indonesia dengan Pemerintah. Semoga Gerakan Nasional ini akan mewujudkan Generasi Emas 2045,” pungkas Menko PMK.