JAKARTA, MENARA62.COM – Remaja putri memiliki risiko terkena gangguan skoliosis lebih besar dibanding pada remaja putra. Karena itu sebaiknya remaja putri lebih waspada terutama pada fase beberapa bulan menjelang menstruasi dimana pertumbuhan yang cukup cepat berpengaruh pada kondisi tulang belakang.
Hal tersebut disampaikan dr Omar Luthfi, SpOT (K) tim medis Spine Center RS Premier Bintaro pada media gathering dan buka puasa bersama di Jakarta, Kamis (6/4/2023).
Menurutnya sekitar 90 persen kasus skoliosis ditemukan pada remaja dengan rentang usia 11-18 tahun. “Risiko terkena skoliosis jauh lebih besar pada remaja putri dibanding pada remaja putra dengan rasio 10:1,” kata dr Omar.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa penyebab skoliosis ini. Kemungkinan terkena scoliosis karena faktor genetik diduga hanya menyumbang 20-30 persen.
Skoliosis itu sendiri merupakan kelainan yang ditandai dengan bentuk tulang belakang yang melengkung menyerupi bentuk S atau C. Gangguan skoliosis ditandai dengan gejala antara lain tubuh tampak asimetris (tulang belakang melengkung atau miring/condong ke satu sisi), bahu tampak tinggi sebelah, panggul tampak tinggi sebelah, tulang belikat tampak lebih menonjol pada salah satu sisi dan jarak pinggang ke lengan tidak sama pada sisi kanan dan kiiri.
“Pada kelainan yang bersifat ringan, tidak menampakkan gejala dan perubahan bentuknya pun tidak nampak jelas,” lanjut dr Omar.
Berbeda pada kelainan skoliosis yang berat maka perubahannya bersifat progresif, tampak perubahan bentuk, rasa pegal atau nyeri pada punggung, dan gangguan pernafasan.
Menurut dr Omar, skoliosis ini tidak boleh diabaikan. Karena selain sering menimbulkan rasa nyeri atau pegal serta gangguan pernafasan, skoliosis juga mengganggu penampilan.
Untuk menangani gangguan skoliosis, seseorang dapat memeriksakan diri ke dokter. “Guna memastikannya, dokter akan melakukan pememriksaan rontgen. Dari hasil pemeriksaan rontgen ini, dokter akan melakukan penanganan berdasarkan hasil pengukuran skoliosis pada rontgen,” tegas dr Omar.
Target dari penanganan skoliosis itu sendiri adalah menghentikan progresi skoliosis, mencapai tulang belakang yang seimbang, memperbaiki kesulitan bernafas dan memperbaiki penampilan.
Pada tingkat keparahan tertentu, gangguan skoliosis ini harus diatasi dengan tindakan operatif. Tindakan pembedahan minimal invasif merupakan metode terkini yang dilakukan untuk mengatasi masalah pada gangguan skoliosis.
Spine Center RS Premier Bintaro saat ini telah memiliki teknologi robotic spine surgery. Penanganan skoliosis dengan model ini memiliki banyak kelebihan antara lain presisi dan akurasi pemasangan implant mencapai 99 persen bahkan untuk kasus yang sangat sulit. Selain ini robotic spine surgery juga sangat minimal risiko maupun komplikasi. Resiko-resiko infeksi atau perdarahan yang muncul pasca operasi juga lebih kecil, berbeda dengan operasi konvensional yang menggunakan tehnik bedah terbuka.
Cedera saraf pun dapat lebih diminimalkan karena menggunakan kamera, jadi bisa secara langsung melihat syaraf melalui lensa yang dimasukkan ke dalam jaringan tubuh. “Selain risiko lebih rendah, pemulihan pasien dapat sesegera mungkin, sehingga pasien tidak perlu berlama-lama di rumah sakit,” tandas dr Omar.