Oleh. Ashari, SIP*
GELIAT TPA (Taman Pendidikan Al-quran) tumbuh di mana-mana. Bak jamur di musim penghujan. Anak-anak TPA lincah kesana kemari. Meski ucapannya belum jelas benar, cara memakai celana, baju atau bahkan kerudung masih belepotan, namun semangatnya untuk mengaji tidak kalah dengan orang tuanya. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang justru ngambek kalau sore itu tidak ke TPA. Itu ketika anak kita usia TPA, berkisar kelas 1 – 5 SD. Semua jerih payah orang tua itu tidak terasa, bahkan berbuah manis saat mereka tua mendengar anaknya mulai bisa membaca Al-quran. Masuk Iqra jilid 3-5 bacaannya biasanya sudah mulai jelas. Hati orang tua berbunga-bunga, melihat buah hatinya sudah mulai bisa mengaji.
Namun seiring dengan perkembangan waktu, anak-anak kita yang tadinya masih ‘lembut’, mungil dan polos, beranjak pra remaja. Usia masuk SMP. Pada saat inilah mereka sudah mulai banyak berhubungan dan berkenalan dengan dunia luar. Termasuk pertemanan yang makin akrab, mulai membentuk kelompok-kelompok tersendiri sesuai dengan minat. Kegiatannya pun sudah mulai banyak. Maka agenda TPA yang dulu dilaksanakan dengan tertib, kini sudah mulai agak terlupakan. Didukung kita sebagai orang tua juga kurang peduli.
Mengurai Benang Kusut
Fenomena kehilangan generasi paska TPA ini bisa terjadi dimana-mana. Memang ada satu dua TPA yang masih konsen menjaga keberlanjutan kegiatan ini hingga anak-anak dewasa. Namun bagi TPA yang ‘bernafas pendek’ tentu akan ngos-ngosan untuk dapat melanjutkan pendidikan berikutnya. Kendalanya biasanya terletak pada tenaga guru (ustad/ustadzah) yang jumlahnya relatif terbatas. Karena menikah, bekerja di daerah lain, hingga pada simpul regenerasi mati. Tenaga yang pas-pasan, ditambah dengan manajemen ‘sambil lalu’ menyebabkan TPA tidak dapat maksimal.
Padahal semua orang menyadari bahwa generasi qurani menjadi dambaan umat. Namun untuk mewujudkannya tidak semua orang/warga mempunyai tekad kuat yang sama. Beberapa langkah solutif. Pertama, tokoh masyarakat dan pemuka agama (tomas dan togas) duduk bersama. Ini langkah penting, karena untuk menyamakan visi dusun kedepan, lima atau sepuluh tahun yang akan datang dalam bidang agama.
Dengan kesamaan visi ini, maka akan ditemukan beberapa solusi kedepan. Misalnya masalah pemahaman yang relatif sama bagi orang tua santri akan pentingnya pendidikan agama sejak dini, termasuk didalamnya adalah iqra/baca tulis quran. Kalau orang tua sudah mempunyai keinginan yang sama, maka dorongan kepada anak akan lebih mantap dan termotivasi dari dalam diri keluarga itu sendiri. Sebab kalau orang tua sudah abai, tidak lagi peduli dengan kepentingan TPA bagi anak-anaknya.
Kedua, musyawarah tersebut ternyata bisa merambat kepada pembicaraan penambahan pengasuh dan pencarian donatur tetap. Sekarang ini sudah menjadi kendala umum di hampir semua TPA adalah miskinnya pengasuh tetap yang on time. Seolah pengasuh TPA kini menjadi ‘makhluk langka” yang susah dicari. Musyawarah yang lain adalah membicarakan masalah keuangan. Untuk pengembangan dan membeli seperti buku buku iqra, media untuk bermain, bahkan kalau memungkinkan adalah seragam santri. Problem guru TPA dapat dipecahkan kerjasama dengan Badko (Badan Koordinasi) TPA Daerah (Kabupaten) sebagai lembaga yang menaungi TPA ditingkat desa atau dusun. Biasanya Badko mempunyai stok guru yang relatif banyak untuk dapat disalurkan ke TPA-TPA yang membutuhkan.Jika problem ini sudah dipecahkan, maka langkah berikutnya terkait dengan keuangan, pengelola dapat bekerjasama dengan takmir setempat, minta bantuan donator dan mengajukan ke Kabupaten Cq. Dinas Sosial atau yang sejenisnya.
Kendala yang muncul dikalangan remaja usia SMP- SMA biasanya kalau kita tanya alasannya mengapa mereka tidak mengaji lagi? adalah sibuk. Sibuk sekolah, banyak tugas, terus kapan mainnya? Kalau sudah begitu, maka ajak dialog mereka dengan baik-baik. Jangan dinasehati apalagi dimarahi. Masa remaja hanya sekali dan sebentar kalau tidak dimanfaatkan rugi. Bagi pengasuh inilah real dakwah yang ada ditingkat bawah.
Ketiga, secara berkala, kalau TPA sudah mulai berjalan, adakan pertemuan dengan wali santri. Misal sebulan sekali. Gandeng tokoh-tokoh masyarakat dan agama, juga para donatur tadi. Tunjukkan hasil yang sudah mulai diperoleh. Disamping pemahaman yang lain, misalnya hafalan bacaan sholat, hafalan wudhu, doa-doa sampai kepada nyanyian islami yang sederhana. Tidak sedikit orang tua yang akan trenyuh hingga meneteskan air mata, ketika melihat anak kecil yang belum begitu jelas bicaranya sudah hafal surat-surat pendek, sudah hafal bacaan sholat, sudah bisa sholat dengan gerakan yang relatif benar. Padahal (maaf) bisa jadi orang tuanya belum hafal.
Orang tua akan sadar bahwa anak sebagai permata hati, penerus sejarah inilah justru sebagai harta yang tidak ternilai yang akan menyelamatkan dirinya dari jilatan api neraka-karena doa-doa mereka.Mengapa? karena mereka mempunyai anak sholeh yang mampu dan mau mendoakan kedua orang tuanya.Jika hati sudah mulai tersentuh, maka hambatan yang adalah dalam ‘tubuh’ TPA akan diangkat bersama-sama. Yang penting kalau sudah menyangkut anggaran harus transparan. Sekali manipulatif, susah mengembalikan kepercayaan ini.
Keempat, jaga konsistensi. Jadwal yang sudah disepakati untuk TPA, harus ditaati. Apakah seminggu dua atau tiga kali. Kalaupun toh, ada waktu libur, maka pengelola musti memberi tahukan kepada orang tua wali. Jangan sampai santri pulang menangis, karena sudah semangat datang – sampai masjid tidak ada gurunya. Maka dia akan kecewa. Kekecewaan ini akan tembus kepada orang tua santri. Kepercayaan yang sudah diberikan, lambat laun akan berangsur pudar. Bak mencabut pohon bambu dari ujung.Sulit untuk memulai. Untuk penyegaran. bisa melakukan study banding ke TPA lain yang lebih maju.
Epilog
Ini persepsi yang masih menghinggapi sebagian kita sebagai orang tua. Ketika saya sempat bertanya, mengapa anaknya tidak diikutkan TPA di masjid? Alasanya dengan TPA maka waktu istirahat dan belajar di rumah menjadi berkurang. Akibatnya anak akan menjadi bodoh secara akademik. Nilai raport jelek. Alasan dari sebagian orang tua ini, bagi pengelola jangan dibantah dengan ucapan. Namun sebaiknya disangkal dengan data.
Saya pernah melakukan penelitian kecil-kecilan di tiga SD yang berbeda. Saya ambil data mereka yang masuk rangking 10 besar disekolahnya, apakah mereka rajin mengaji di rumahnya atau malas. Artinya mereka hanya belajar saja. Ternyata jawabannya mengejutkan saya, hampir semua atau mereka adalah aktivis TPA. Dan 80 persen adalah anak perempuan. Yuk kita temukan lagi generasi paska TPA agar mereka tidak hilang..
* Mengajar TPA di Al-Hidayah Murangan VII Triharjo Sleman DIY.