Moh Jumhur Hidayat dan Dr Syahganda Nainggolan, adalah dua figur sahabat Pergerakan Mahasiswa Indonesia. Keduanya memulai langkah pergerakan dari kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) sejak tahun 1980-an. Sebagai anak muda visioner dan progresif, keduanya turut mencatat rekor yang membanggakan di kalangan aktivis mahasiswa.
Semangat pergerakan dari dua orang yang pernah mendekam di Rumah Tahanan, bahkan Jumhur Hidayat, sempat menginjakan kaki di pulau tahanan termashur, Nusa Kembangan, tak pernah padam.
Satu catatan intelektual dari kedua sahabat ini, makin nampak pergumulan gagasan-gagasan perubahan mereka, disaat memimpin CIDES (Center for Information and Development Studies). CIDES adalah lembaga kajian yang dibesut oleh tokoh-tokoh elit ICMI, seperti mantan Presiden BJ Habibie, Adi Sasono, M Dawam Rahardjo, dll, tahun 1993. Sejak kurun waktu itu juga, CIDES mulai merekonstruksi agenda-agenda perubahan di tanah air. CIDES menggelinding membuka tirai demokrasi, lewat pelbagai riset dan ragam kajian. Produktivitas dari riset dan kajian-kajian yang dihasilkan, turut mengantarkan pergolakan perubahan transisi terpenting bagi Indonesia di awal reformasi.
Peranan CIDES sangat sentral dalam mengentaskan kebekuan demokrasi. Sesuatu yang teramat mahal sejak bangsa ini dikumandangkan, untuk mencerdaskan segenap anak bangsa. CIDES menyadari betul tugas sejarah ini. Itu sebabnya, pergerakan mereka yang lebih utama membangun pondasi fikiran generasi muda. Ada keinginan untuk memperbaiki tatanan kebangsaan, pentingnya perbaikan sistem politik, pengelolaan negara yang akuntabel dan transparan, serta hukum dan tatanan ekonomi yang berkeadilan, adalah keharusan yang segera dipupuk oleh segenap anak bangsa.
Tidak akan ada perubahan sistem politik, dan suksesi kekuasaan, tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan cara berfikir anak bangsa dalam memandang negaranya.
Ide besar, kuat dan benar merupakan jaminan akan ketahanan suatu negara. Bila suatu negara tanpa dibentengi moralitas, maka disaat itu juga terjadinya anomali atau penyimpangan dari setiap penyelenggaraan negara.
Dari CIDES, para intelektual bangsa menghadirkan sekaligus mengelola berbagai gagasan-gagasan progresif, semangat dan ide perubahan menumbuhkan tradisi kritisisme hidup bernegara. Nafas perubahan ini teraktualisasi dalam bentuk kajian dan riset.
Hasil kajian CIDES berderet di beberapa dokumen seperti; Jurnal Mingguan Sintesis, Jurnal Bulanan Afkar, dan Jurnal Tahunan Profil Indonesia. Semua jurnal yang ada tersebar, baik ke kantor pemerintahan, maupun lembaga ormas keagamaan, tak terkecuali dokumen itu dapat diakses juga melalui lembaga perguruan tinggi di tanah air.
Proses dari aktivitas ini, dilakukan sejak berdirinya CIDES dari tahun 1993 hingga 1998. Disaat itu juga, seluruh anak negeri ini menjadi saksi lahirnya Reformasi, dan memerlukan jangkauan waktu 5 tahun proses pelembagaan gagasan perubahan politik.
Dekat
Kedekatan saya dengan kedua sahabat pergerakan ini, memulai titik berangkat sejak bersama terlibat di lingkaran CIDES.
Tepat saat Jumhur Hidayat menjabat Direktur Eksekutif CIDES, saya turut mengambil bagian sebagai tim peneliti yang membidangi demokrasi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia. Ketika Dr Syahganda Nainggolan menjabat Direktur Eksekutif CIDES, saya pula dipercayakan menempati tugas kerja sebagai Sekretaris Eksekutif untuk mendampinginya, menangani berbagai kegiatan CIDES. Mengingat pentingnya mengawal agenda strategis reformasi, riset dan kajian CIDES pun menaruh perhatian besar pada penguatan kebijakan reformasi.
Sejenak bisa kita bayangkan, andaikan tanpa upaya membangun visi bersama, merumuskan agenda aksi bersama, akan terasa sulit menghentikan laju kekuasaan rezim Orde Baru saat itu. Andaikan rezim Orde Baru tetap bertengger, tentu tidak ada reformasi. Pertanyaannya, mungkinkah Presiden Joko Widodo bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini, Presiden RI dalam hitungan dua periode kekuasaan?
Saya kembali teringat, satu catatan berharga pada tahun 2008, persis saat CIDES memperingati seperempat abad usia perjalanannya. Dikala momentum itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, turut hadir bersama menteri, dan segenap tokoh bangsa. Syahganda dengan gigih menyampaikan Pidato Kebudayaan yang spektakuler, berjudul “Demokrasi yang Berkeadilan Ekonomi dan Hukum”.
Topik ini hendak menggambarkan impian dan cita-cita setiap aktivis, bila kelak dipercayakan menjadi pemimpin bangsa. Karenanya, jangan bilang anda pemimpin negara merdeka, jika tak sanggup menghadirkan janji keadilan yang berpihak pada rakyat. Keadilan adalah cita-cita utama dan mulia bagi setiap pemimpin.
Saya kenal betul watak kedua sahabatku alumnus ITB ini. Mereka berdua memiliki pribadi yang tangguh, berkarakter dan berintegritas, serta memiliki cita-cita besar untuk rakyat. Perhatian mereka, pada isu demokrasi, hak asasi manusia, pembangunan yang berorientasi dan berbasis kerakyatan, tak pernah hilang. Tentu keduanya memiliki visi besar tentang demokratisasi pembangunan.
Pada tempatnya saya katakan bahwa, Syahganda dan Jumhur, merupakan sosok aktivis pergerakan anti pada penindasan dan pelanggaran HAM oleh rezim manapun. Itulah sebabnya, tepat kiranya keduanya disandangkan, tokoh yang pembuka tirai demokrasi.
Tersandera
Kini hukuman menyandera kedua sahabatku, dikenakan kostum baju oranye, tangan terborgol, betul-betul menjadi sebuah ekspresi penghinaan terhadap martabat para aktivis pejuang demokrasi. Dan ketika penguasa menggunakan kekuasaannya untuk menghinakan aktivis yang menggugat ketidakadilan, menggugat kesewenang-wenangan penguasa, maka apa yang dialami mereka, merupakan penghinaan pada bangsa dan negara.
Sebab, sejatinya kekuatan negara demokrasi sangat bergantung pada kecerdasan kaum intelegensia, yaitu kaum aktivis yang terpelajar dan berintegritas. Di belahan dunia manapun, hanya rezim totaliter yang bisa mengadili aktivis pro-demokrasi, yang anti penindasan.
Saya terbawa heran di jaman sekarang ini, dimana era demokrasi semakin terbuka lebar, namun ekspresi kekuasaan Presiden Joko Widodo, seperti anti demokrasi. Joko Widodo masih memperlihatkan kekuasaannya dengan perlakukan yang “tidak pantas” disandangkan pada mereka yang mengkritisi kebijakan negara.
Mereka diborgol mengenakan baju oranye layaknya kriminal. Namun di sisi lain, mereka yang mengecam para penggiat demokrasi dan aktivis demonstran sebagai sampah demokrasi, lebih-lebih demonstran penolak UU Omnibus Law dituduh dengan beragam tuduhan ngawur, tetap masih bisa berkeliaran dengan nyaman, bahan tenang-tenang saja di lingkaran Istana.
Negara-negara di zaman modern, mengalami percepatan modernisasi yang kuat, karena di dalamnya terdapat ruang dialektika pemikiran politik dan kebudayaan bernegara. Reformasi 1998 itu, menandai lompatan untuk Indonesia segera keluar dari krisis kepemimpinan, dan membawa atmosfir baru kehidupan bernegara secara sehat dan cerdas.
Negara semestinya dikelola secara cerdas oleh orang yang punya kemampuan dan mengerti cara menyelenggarakan pemerintahan dengan demokratis.
Nampaknya, 20 tahun setelah reformasi, kehidupan kebangsaan dan kebernegaraan kita, makin menyimpang dan terpuruk, jauh dari cita cita reformasi. Keterpurukan karena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang semula menjadi musuh negara, kini sepertinya makin legal dan tumbuh subur.
Potret Oligharki bernegara adalah bentuk kolusi yang paling primitif dalam hidup bernegara. Hubungan antara pemilik modal dan penguasa, partai serta pendukung kekuasaan, makin asik bekerja sama secara harmoni melakukan operasi pengerukan dan perampokan kekayaan alam negara. Ekonomi rakyat terpuruk, rakyat menjadi miskin dan melarat.
Bapak jadi penguasa untuk anak, dan anak mantu calon Bupati dan Wali Kota. Fenomena buruk dan primitif ini akan terus tumbuh di berbagai tingkat pemerintahan jika tidak diingatkan. Belum lagi kebijakan negara maupun produk hukum, berupa UU lahir tanpa melewati proses traparansi publik. Lantas, di mana hakekat reformasi ?
Inilah akibat hilangnya tradisi kritisisme, runtuhnya dealektika intelektualitas bernegara. Negarapun diurus oleh penguasa angkuh dan pongah. Penguasa bekerja sebagai pengendali dan pemilik kebenaran. “Kalau kata Pemerintah Hoax, ya Hoax“, adalah pernyataan bernada intimidatif sekaligus pembodohan publik. Jadi, setidak-tidaknya menangkap lalu mentersangkakan para aktivis pergerakan, seperti Syahganda Nainggolan maupun Jumhur Hidayat dkk., mengisyaratkan pemerintah yang tidak siap berdialog dengan narasi yang setara dan cerdas. Kebodohan adalah bentuk lain adanya penyimpangan terstruktur dalam proses pengelolaan negara.
Seharusnya kita belajar pada watak dan karakter para pendiri bangsa. Bagaimana M Hatta, Soekarno, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Mr M Yamin, Natsir, Ley Mena, membangun negeri ini? Mereka berdebat dan berdialog dengan berbagai argumentasi tentang politik negara. Perdebatan itulah, yang kemudian mengangkat posisi mereka menjadi pemimpin negara yang disegani, dihormati, dibanggakan dan dicintai oleh rakyat. Dan diantara para tokoh itu, mereka menjadi saling menghargai, antara satu sama lain, karena integritas, kewibawaan akan ilmu yang dimiliki oleh masing masing dari mereka.
Tetap Tegar, Tegas dan Tegap untuk kedua sahabatku. Meskipun penguasa di negeri ini mengurung anda berdua, dengan cara yang tidak terhormat. Tapi yakinlah, pikiran anda berdua dibalik jeruji akan menembus seluruh kampus di berbagai pelosok negeri. Yakinlah pada kekuasaan Allah SWT, bahwa kekuasaan absolut itu hanya milik-Nya. Suatu saat, rakyat di negeri ini akan memberi pada sahabatku berdua suatu tahta kehormatan yang bernilai.
Sebagai aktivis saya sangat menyesali atas tindakan penguasa yang semena-mena ini. Tindakan yang merusak karakter aktivis dan tokoh pergerakan. Negeri ini secara konstitusional bukan negeri kekuasaan, melainkan negeri hukum. Dan hukum kita berdasarkan Pancasila, tentu penegakan hukum bersifat mendidik, mengayomi, bukan mencederai, menindas dan seterusnya.
Itu sebabnya, bagi saya tidak pantas sahabatku berdua diperlakukan seperti halnya penjahat, preman dan kriminalis. Sesungguhnya, apa yang terjadi pada kedua sahabatku ini, menunjukan bahwa negara gagal berdialog secara naratif, argumentatif dan cerdas.
Seharusnya Jumhur dan Syahganda, keduanya patut dipulihkan dari berbagai tuduhan dan tuntutan. Keduanya patut dikukuhkan menjadi tokoh inspirator kebanggaan kaum aktivis pergerakan di tanah air. Apalagi mereka, Moh Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan, telah malang-melintang dalam dunia pergerakan, mengedukasi anak muda untuk selalu kritis membaca dan merawat bangsa. Bahkan, keduanya sudah sampai di ujung negeri, kampung halamanku Menanga dan Lamakera, Solor Flores Timur NTT, mereka berdialog langsung bersama masyarakat.
Mestinya, pihak kepolisian lebih arif, harus bisa membedakan antara aktivis pergerakan dan preman. Karenanya, penjara bukan tempat yang tepat untuk sahabatku berdua yang, sedang membangun jalan perubahan untuk negeri ini di masa mendatang.
Penulis: MHR Shikka Songge, (Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES, Presiden Pergerakan Muballigh Indonesia (PMI). Ciputat, 18 Oktober 2020