29.6 C
Jakarta

Gerakan Mahasiswa, Buruh dan Getaran Suara Ali Taher Parasong Menggema di Parlemen

Baca Juga:

Bila mahasiswa, sebagai agen perubahan sosial sudah menggelandang, membanjiri area publik, memasuki pusat pengambilan keputusan politik, itu tanda bahaya! Sejarah mencatat, orang terkuat yang pernah memimpin negeri inipun ikut tergulung oleh arus gelombang gerakan mahasiswa.

Soekarno dan Soeharto, presiden yang punya reputasi dunia dan meninggalkan legacy tentang kebesaran, juga jatuh di tangan mahasiswa. Ini fakta sejarah, bukan mimpi juga bukan hayalan. Nampaknya sejarah itu akan terulang kembali di negeri ini, jika para elit salah mengambil keputusan politik. Oleh karena itu, elit politik baik eksekutif maupun legislatif, harus mengorientasikan secara tepat pilihan kebijakan ekonomi politik pada pelayanan rakyat, guna memperkuat otonomi kedaulatan rakyat. Bila rakyat berdaulat maka negara menjadi kuat.

UU Omnibus Law, dibahas secara tidak transparan. Konon draft UU tersebut disusun oleh satgas Omnibus Law yang terdiri dari 127 orang pengusaha. Penyusunannya, dilakukan tanpa dialog dan uji publik dengan berbagai kalangan. Kalaupun ada pembahasanpun, hanya dilakukan oleh pihak tertentu dalam skala yang terbatas. Bahkan, ketika pembahasan sampai pada Paripurna DPR untuk pengesahanpun, bahan belum sampai pada semua anggota DPR. Ini diungkapkan lewat pengakuan sejumlah anggota DPR, bahwa naskah UU Omnibus Law belum selesai dirapikan.

Kudeta konstitusi

Lantas, yang disahkan itu UU Omnibus Law versi siapa? Kalau belum rampung naskahnya lalu disahkan, maka posisi ini potensial terjadinya kudeta terhadap konstitusi. Bisa jadi, ada penambahan pasal dan bisa jadi penghilangan pasal tertentu yang krusial. Ada bahaya kedepan yang mengancam, ada ketidakpastian baru akibat sejarah penyusunan UU Omnibus Law seperti ini.

UU yang sangat penting berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia, terutama para buruh ini, sudah mengundang pro-kontra di masyarakat sebelum menuju pengesahan. Mengapa buruh resah? Tentu ini terkait dengan kelangsungan hidup buruh di masa depan. Kaum buruh memikirkan keberlanjutan kehidupan keluarganya, terutama sandang dan pangan, pendidikan anak, kesehatan keluarga. Bila buruh bujangan, mereka berfikir tentang bagaimana membiayai pernikahan, membeli perumahan dan membiayai kelahiran anak, membayar asuransi kesehatan dll.

Bila UU Omnibus Law tidak memberikan rasa aman dan jaminan akan kepastian hidup, tentu tidak salah jika para buruh bereaksi untuk memperjuangkan nasibnya. Jika buruh bereaksi, maka mahasiswapun turun kejalan sebagai wujud dari komitmen dan tanggung jawab moralnya pada buruh sebagai bagian dari warga bangsa.

Kecurigaan

Kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo, sering memunculkan kecurigaan, keresahan dan ketegangan publik. Terkait dengan UU Omnibus Law, yang berhubungan dengan banyak aspek, maka seharusnya proses pembahasan yang terbuka, melibatkan lembaga penelitian, perguruan tinggi, ormas, sehingga dapat mengiliminasi ketidakpercayaan dan penolakan publik seperti yang terjadi sekarang.

Pertemuan gerakan mahasiswa dan buruh dalam konteks pengesahan UU Omnibus Law, adalah pertemuan antara akal dan perut. Akal mahasiswa terganggu ketika perut orang tua, kakak, om, abang, tante, ibu sebagai buruh terganggu. Akal dan perut berkaitan dengan dimensi eksistensial kemanusiaan. Perut lapar, secara metafora melambangkan kemiskinan dan penderitaan manusia. Kemiskinan itu, bisa mempengaruhi akal sehat seseorang untuk berbuat sesuatu yang menyimpang. Kemiskinan berpotensi membuat seseorang menjadi kriminal dan kaum marginal. Orang fakir berpotensi menjadi kafir, dalam bahasa agama.

Bagaimana mungkin negara kaya, dengan berbagai potensi sumber daya alamnya, seperti Indonesia, tetapi di sini tumbuh kriminal dan kaum marginal?

Kelahiran UU Omnibus Law, sebagai genta yang menandai adanya tanda bahaya. Sirine yang memperingatkan kepada kita, ada bahaya perbudakan anak bangsa, imperialisasi ekonomi di depan mata. Ada kesan, pasal UU Omnibus Law ini, kurang dicermati secara maknawi oleh para pembahas. Oleh karenanya, UU ini selain cacat prosedural, para ulama, ilmuan cerdik pandai menilai bahwa UU ini membawa pesan adanya penindasan, perbudakan kaum pribumi oleh para kapitalis.

Dengan demikian, UU ini bertentangan dengan Prinsip Pancasila dan UUD 1945. Karenanya, saat ini sedang bergulir pengumpulan dukungan Mosi Tidak Percaya pada Pemerintah.

UU Omnibus Law, wujud dari kehendak kuat Kaum Kapitalis, Pemilik Modal melalui negara untuk menguasai buruh dan merampok kekayaan rakyat, kekayaan Bangsa Indonesia. Jika genta ini tidak ditanggapi dan disikapi secara tepat, maka nasib kaum pribumi di negeri ini akan tergilas dan tergulung oleh kekejaman Badai Kapitalisme melalui investasi modal asing.

Hegemoni Kapitalisme

Indikasi akan hegemoni kapitalisme pada rezim Joko Widodo ini sangat nyata. Bayangkan saja, hanya 1 % kaum non pri menguasai 75 % aset ekonomi nasional. Menguatnya oligharki yang menguasai eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, kejaksaan KPK dan MK. Nyaris semua sendi kehidiupan negeri ini, dikuasi oleh hegemoni oligharki. Nyaris negara kehilangan kekuasaan.

Prof Mahfud MD, yang kini juga duduk dalam kabinet rezim Joko Widodo pun pernah mensinyalir bahwa 95 persen Pilkada Indonesia dibiayai oleh para Cukong. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang Kepala Pemerintahan bisa mengotonomikan administrasi pembangunan rakyat, jika ia dikendalilan oleh pemilik modal? Wajar jika kemudian bupati dan wali kota, parade masuk penjara dengan tuduhan korupsi. Inilah salah satu bentuk kejahatan rezim oligharki.

Di tengah menguatnya oligharki dan Koalisi Partai Pendukung Presiden Joko Widodo, tidak banyak partai koalisi tampil mengkritisi UU Omnibus Law. Satu diantaranya, disuarakan oleh Dr HM Ali Taher Perasong ketika mewakili Fraksi PAN. Dengan suara bergetar dan tetesan air mata, ia meminta kepada Pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menegakkan keadilan, dan berlaku adil pada kaum buruh dan berkomitmen membela rakyat.

Ali Taher, pria asal Lamakera Solor, yang masa lalunya bergumul dengan kemiskinan dan kemelaratan, hanya bertahan hidup dengan mengunyah irisan kelapa tua, dicampur biji mangga, biji asam, ipa dan buah bakau. Makanan itu rupanya sangat kuat membentuk wataknya sebagai pejuang otentik yang membela kepentingan rakyat tertindas. Ali Taher, rupanya tidak ingin kemerdekaan negeri ini terus melahirkan kemiskinan dan penderitaan bagi segenap rakyat Indonesia.

Tidak ada kesejahteraan bagi rakyat, tanpa tegaknya keadilan dan pemihakan oleh pemerintah untuk rakyat. Tidak akan ada Negeri ini, tanpa derai air mata rakyat yang bahu membahu dalam perjuangan. Pemerintah, idealnya datang untuk menggeser air mata penderitaan rakyat dengan senyum kesejahteraan. Jangan sampai, ayam mati di lumbung padi, demikian tegas Ali Taher.

Pidato Dr Ali Taher Parasong yang menggema di ruang Palemen Indonesia pada saat pengesahan UU Omnibus Law, adalah pidato seorang anggota parlemen yang memperjuangan hak konstitusional kaum pribumi yang terdiskriminasi. Pidato yang menuntut tegaknya keadilan untuk buruh kaum pribumi bukanlah pidato rasisme, melainkan menagih janji kemerdekaan yang tertuang dalm UU 1945. Bagi saya, ini sebuah kebanggaan bagi yang terlahir dari rahim Lamakera.

Penulis: MHR. Shikka Songge, Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES. Presiden Pergerakan Muballigh Indonesia (PMI). Ciputat, 11 Oktober 2020

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!