JAKARTA, MENARA62.COM – Raden Ajeng Kartini memang telah menjadi sosok inspirator dan role model bagi setiap perempuan Indonesia. Tetapi hendaknya dalam setiap peringatan Hari Kartini, selayaknya bukan hanya RA Kartini yang dijadikan sebagai sosok inspirator yang patut diteladani.
“Kita memiliki banyak tokoh-tokoh perempuan yang patut dijadikan sosok inspirator, diteladani dan dijadikan role model oleh setiap Perempuan Indonesia, dari aspek perjuangan dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan,” kata Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto saat memberikan sambutan pada acara FDG Perpusnas “Perempuan Indonesia Berkiprah DI Berbagai Bidang dari Masa Ke Masa”yang digelar secara daring, Kamis (22/4/2021).
Tokoh-tokoh pejuang peremouan tersebut diantaranya Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Raden Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Nyai Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan, Nyi Ageng Serang, Hj. Rangkayo Rasuna Said, Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto, Hj. Fatmawati Soekarno, Opu Daeng Risaju. Dan ditambahi lagi, dua pahlawan yakni Malahayati dan Rohana Kudus yang merupakan hasil perjuangan keras Kowani sebagai inisiator sehingga keduanya akhirnya resmi diakui sebagai pahlawan Nasional perempuan.
Giwo mengingatkan perjuangan perempuan Indonesia dari masa ke masa sesungguhnya tidak terlepas dari sejarah lahirnya Kongres Wanita Indonesia. Federasi organisasi perempuan yang membawahi 97 organisasi perempuan di seluruh Indonesia tersebut menjadi tonggak sejarah yang penting bagi perjuangan perempuan Indonesia.
Kowani sendiri lahir diilhami oleh Soempah Pemoeda tanggal 28 Oktober 1928. Dari peristiwa Soempah Pemuda ini kemudian para pejuang perempuan berkumpul di Yogyakarta untuk menyuarakan tekad dan perjuangannya yang kemudian digelar Kongres Perempuan pertama.
“Kowani lahir dari inisiasi Kongres Perempuan pertama di Jogjakarta tanggal 22 Desember 1928,” tukas Giwo.
Berbicara tentang tanggal 22 Desember, Giwo yakin semua orang akan teringat tentang Hari Ibu. Tetapi justru sejarah Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember adalah merupakan hari lahirnya Kowani sebagai pergerakan wanita Indonesia, dimana tujuannya adalah untuk memperjuangkan perbaikan derajat kedudukan wanita juga memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan serta mengisinya dengan pembangunan.
Pada Kongres Perempoean Indonesia ke-II di Jakarta tahun 1935 Kowani lanjut Giwo, kemudian menghasilkan keputusan penting dimana kewajiban utama wanita Indonesia adalah menjadi Ibu Bangsa. Hal ini bermakna bahwa setiap ibu adalah sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam keluarga yang menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar dengan kebangsaannya.
Menurut Giwo, Kowani sebagai Ibu Bangsa menjadi garda terdepan untuk meningkatkan literasi di kaum perempuan, dan ini terbukti karena hingga saat ini eksistensi dan keikutsertaan Kowani telah merambah di segala bidang pembangunan.
“Terlebih di momen Bulan Kartini, kami mengikuti jejak salah satu pejuang/pahlawan nasional wanita Indonesia yang mencerdaskan perempuan dengan gerakan “habis gelap terbitlah terang” agar perempuan pada masanya bangkit dari keterpurukkan edukasi sehingga pada hari Rabu kemarin tanggal 21 April 2021, telah dilaksanakan penandatanganan MOU antara Kongres Wanita Indonesia dengan Perpustakaan Nasional, serta launching e-library Kowani yang telah dihadiri oleh 4.000 orang melalui daring,” kata Giwo.
Peluncuran laman Kepustakaan Kowani, jelas Giwo, salah satunya adalah untuk meningkatkan literasi kaum perempuan Indonesia. Sebab hingga kini tingkat literasi perempuan masih rendah.
Mengingat masih dalam masa pandemi, maka tidak ada pilihan selain perempuan harus menjadi cerdas, kreatif, inovatif, adaptif dan adoptif dalam melakukan kewajibannya sebagai Ibu Bangsa. Tantangan yang menghadapi perempuan masa kini terutama terkait era industri 4.0 bahkan masyarakat 5.0 tidaklah mudah, sehingga perempuan harus melek teknologi.
“Maka dari itu kita harus saling mendukung, memasyarakatkan, membuka jalur akses modern, mengembangkan potensi dan mendorong ekosistem pengetahuan dalam meningkatkan literasi masyarakat, terlebih lagi adanya multiplier effect khususnya untuk perempuan,” tutup Giwo.