JAKARTA, MENARA62.COM – Gizi optimal tidak disiapkan seketika, saat anak lahir. Tetapi persiapannya harus dilakukan jauh hari sebelumnya, bahkan sebelum kehamilan itu terjadi (pra kehamilan).
“Sebelum anak lahir, gizi harus sudah disiapkan, tentunya melalui ibu hamil, bahkan ketika seorang ibu menyiapkan kehamilan,” kata dr. Tirta Prawita Sari, Dokter Spesialis Gizi Klinik pada diskusi virtual bertema “Ikhtiar Mewujudkan Generasi Emas Indonesia Sejak Usia Dini” yang digelar Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Dep. Kesehatan BPP. KKSS, Bakornas LKMI PB. HMI dan, www.sadargizi.com, akhir pekan lalu.
Dr Tirta mengatakan sesungguhnya kehidupan seseorang merupakan siklus sehingga saling berkaitan. Apa pun yang terjadi pada seseorang dalam suatu waktu pada umur tertentunya maka perkembangan pada umur tententu tersebut akan dibawa kepada kelompok umur berikutnya.
“Hal yang paling nyata, anak yang dilahirkan dalam keadaan baik, insyaa Allah dan sesungguhnya ia telah mendapatkan perawatan kesehatan, mendapatkan asupan gizi, mendapatkan kasih sayang semenjak sebelum ia dilahirkan, yakni ketika masih dikandung oleh ibunya selama sembilan bulan,” lanjutnya.
Pelayanan/asupan gizi dan pemberian kasih sayang yang dilakukan selama sembilan bulan ini tentunya telah pula disiapkan oleh sang ibu jauh sebelum ia mengandung. Yaitu, pada saat ia mulai remaja, mulai pubertas, saat organ-organ reproduksinya mulai terbentuk. Pada saat inilah merupakan masa awal, di mana seorang ibu berinvestasi menyiapakan diri untuk melahirkan generasi unggul.
Contoh yang patologisnya, jelas dr Tirta, bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) sebenarnya merupakan hasil dari ibu yang ketika ia hamil menderita kurang energi kronik dan sepanjang kehamilannya kenaikan berat badannya sangat rendah sehingga anaknya dilahirkan dengan BBLR. Kemudian tumbuh menjadi balita yang kurang energi protein, lalu berkembang menjadi anak usia sekolah, remaja yang mengalami ganguan pertumbuhan dan seterusnya, seperti sebuah siklus yang bila tidak segera diputus maka akan menjadi lingkaran setan yang berulang-ulang.
Riset kesehatan dasar 2018 (Riskesda 2018), masalah yang dihadapi Indonesia dikerucutkan pada satu pada satu persoalan yang terus-menerus digaungkan dan dikampanyekan untuk menjadi perhatian bersama. Masalah gizi Indonesia yang paling terkenal yakni stunting.
Stunting menurut dr Tirta, bukan hanya masalah gizi yang dialami oleh orang Indonesia, tapi dialami sebagian besar penduduk di dunia, terutama negara-negara berkembang. Stunting mendapat perhatian khusus karena ia memiliki dampak, dan ia juga merupakan indikator yang paling penting untuk menunjukkan masalah gizi secara keseluruhan pada suatu negara. Stunting pada Riskesdas 2018, baik pendek maupun sangat pendek ditemukan sebesar 30,18%, mengalami sedikit penurunan dari sebelumnya.
Data status gizi buruk dan gizi kurang pada balita, secara angka sebenarnya kita turun sedikit dari 19,6% (2013) menjadi 17,7% (2018), tapi angka ini tidak signifikan penurunannya. Hal ini sangat menyedihkan karena masalah gizi buruk dari dulu sampai sekarang problemnya masih sama dan perkembangan perbaikannya tidak terlalu menggembirakan.
Ada lima alasan mengapa stunting itu menjadi perhatian utama. Pertama stunting merupakan sebuah indikator yang menggambarkan asupan gizi yang tidak adekuat dalam waktu yang lama. Jadi yang dibicarakan adalah tinggi badan. Kalau seorang anak tidak mendapatkan asupan gizi yang adekuat dalam waktu yang lama maka akan terlihat nyata pada pertumbuhannya, dan mengetahui pertumbuhan itu biasanya indikator yang paling muda dipakai adalah tinggi badan.
Kedua, stunting menggambarkan faktor lingkungan penderitanya serta menjelaskan keterkaitan yang sangat kuat. Paling gampang adalah faktor lingkungan pada saat ia dikandung.
Ketiga, stunting memberikan dampak jangka pendek yang signifikan, keterlambatan intervensi akan berakibat permanen.
Keempat, stunting memberikan dampak jangka panjang, intervensi yang cepat tepat akan sangat efisien dan efektif menyelesaikan masalah.
Dan kelima, stunting secara politik menggambarkan komitmen pemerintah terhadap kesehatan rakyat. Karena ini berkaitan situasi asupan gizi yang tidak adekuat dalam waktu lama. Sehingga kita dan negara lain pun bisa menilai suatu negara apakah punya prioritas yang baik untuk kesejahteraan rakyatnya.
Siklus stunting itu sendiri terjadi saat anak lahir dengan BBLR. Pada proses tumbuh kembangnya, ia akan menjadi anak yang stunting, kemudian menjadi anak remaja perempunan (kalau ia perempuan) yang malnutrisi dan akan menjadi ibu yang malnutrisi pula sehingga kembali melahirkan anak dengan BBLR.
Karena itu kita perlu memutus rantai tersebut dengan cara memberikan intervensi pada 1000 pertama kehidupan, semenjak dari kandungan sampai bayi lahir. Menjaga semua hal yang terbaik dan menghindari semua kemungkinan terburuk bagi bayi adalah upaya yang perlu dilakukan oleh ibu sebagai modal dan investasinya.
Dr Tirta mengingatkan dampak jangka pendek signifikan yang akan dialami oleh anak yang stunting adalah perkembangan otak tergangu, perkembangan organ-organ tubuh, IQ rendah dan daya tahan tubuh menurun. Sedangkan akibat jangka panjangnya dapat produktivitasnya terganggu, memiliki ukuran tubuh yang pendek dan karena program metabolik sudah terganggu sejak bayi maka akan memiliki resiko penyakit degeneratif seperti dibetes mellitus, jantung dan pembuluh darah, hipertensi, dan kanker.
Ia pun akan menjadi beban negara yang sangat besar dan memiliki resiko kematian yang cepat. Seperti diketahui bahwa penyakit yang paling banyak mengambil porsi pembiayaan BPJS Kesehatan adalah penyakit degeneratif ini.
Prioritas perhatian gizi pada level rumah tangga terdiri dari ibu hamil dan anak kurang dari 2 tahun, balita dan anak sekolah, manula dan penderita penyakit tertentu dan penyakit degeratif.
Kurang zat besi saat hamil
Menurut dr Tirta, salah satu hal yang sering menjadi masalah pada saat kehamilan adalah kekurangan zat besi dan asam folat, yang mengakibatkan terjadinya anemia. Karena itu pemantauan zat besi dan asam folat pada ibu hamil sangat penting.
“Sayangnya indikator yang kita pakai untuk memantau adalah indikator anemia. Padahal anemia adalah tahap terakhir dari kekurangan zat besi. Boleh jadi banyak orang yang sudah kekurangan zat besi tapi belum berdampak pada haemoglobinnya sehingga belum terjadi anamia,” tukasnya.
Karena itu, dr.Tirta Prawita Sari menyarankan agar wanita subur yang ingin hamil, atau berencana ingin hamil jangan lupa atau terlebih dahulu memeriksakan status zat besinya. Sebab anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan dan persalinan serta dapat pula mengakibatkan kecacatan pada janin. Karena itu konsumsi tablet tambah darah (TTD) yang berisi zat besi dan asam folat harus dilakukan secara rutin meskipun ibu hamil itu tidak anemia.
Proporsi anemia pada ibu hamil menurut Riskesdas 2018 mengalami peningkatan dari 37,1% (2013) menjadi sebesar 48,9% (2018). Sekalipun pada data Riskesdas tersebut dikatakan bahwa stunting yang merupakan dampak dari anemia pada ibu hamil angkanya mengalami penurunan.
Berkaitan cakupan TTD pada remaja dan ibu hamil. Remaja puteri yang mendapatkan TTD sebesar 76,2%. Dari yang mendapatkan TTD tersebut, 80,9% didapatkan dari sekolah (program sekolah). Dari 80,9% yang mendapatkan dari sekolah, hanya 1,4% yang minum secara rutin sesuai ketentuan (lebih atau sama dengan 52 butir/pertahun atau 1 butir/minggu).
Bagaimana dengan TTD pada ibu hamil? Perlu diketauhi bahwa ibu hamil itu mendapatkan TTD selama tiga bulan (trimester terakhir kehamilan) sebanyak lebih atau sama dengan 90 butir (1 butir/hari). Ibu hamil yang mendapatkan TTD sebesar 73,2 %. Dari 73,2% yang mendapatkan TTD tersebut hanya 24% yang mendapatkan TTD yang sesuai ketentuan, yakni lebih atau sama dengan 90 butir (1 butir/hari). Dari yang mendapat 90 butir tadi hanya 38,1% yang mengonsumsi penuh/rutin setiap hari sebanyak lebih atau sama dengan 90 butir.
Apa yang harus dikerjakan? Ibu hamil perlu mendapatkan gizi yang optimal. Optimal artinya jumlah disesuaikan dengan kebutuhan (usia, jenis kelamin, aktivitas fisik), jenis yang adekuat. Gizi optimal meliputi: Cukup energi (karbohidrat dan lemak); Cukup protein (hewani dan nabati) dan; Cukup vitamin dan mineral.