PRADYNA Paramita yang akrab disapa Mitha bukan berdarah Yogyakarta. Tetapi naluri bisnisnya untuk mengangkat makanan lokal tradisional membawanya untuk mengesplorasi gudeg. Makanan khas Yogyakarta tersebut, dihadirkan tetap dengan citarasa khas Yogyakarta meski sedikit ada penyesuaian dengan lidah orang kebanyakan di kota Jakarta.
Gudeg Yu Brindil, nama yang kini mulai dipopulerkan sebagai merek dagangnya pun mulai dikenal masyarakat. Tak heran ketika Mitha mengumumkan pre order (PO) untuk gudeg Yu Brindil, pesanan pun mengalir dari berbagai wilayah di Jakarta dan sekitarnya.
Mitha memang bukan tergolong pelaku bisnis kuliner yang baru muncul masa pandemi Covid-19 seperti kebanyakan orang. Perempuan dengan satu anak tersebut telah merintis bisnis gudegnya sejak masih berkantor di Jalan Soedirman, Jakarta Selatan, di sebuah perusahaan konsultan keuangan.
“Tahun 2014 saya sudah mulai bisnis kuliner ini. Tetapi masih skala kecil, hanya melayani pesanan pada akhir pekan, pas nggak dines kantor,” katanya.
Seiring waktu, otak bisnisnya terus menggelitik. Keinginannya untuk mandiri dan memulai menjalani bisnisnya secara serius semakin menjadi. Akhirnya awal 2020 ia memberanikan diri resign. Maka terhitung Februari 2020, Mitha sudah mulai konsentrasi dengan bisnis kulinernya.
Gudeg Yu Brindil dirintis dengan kerja keras. Ilmu yang dikumpulkan selama kuliah di UII dan Manila-Filipina kemudian diaplikasikan ke bisnis barunya tersebut. Sebab menurut Mitha, bisnis kuliner sejatinya tak sekedar memasak dan menyajikan menu masakan yang enak. Bisnis kuliner juga menuntut ide-ide dan kreativitas. Bagaimana memilih nama, branding nama, membuat kemasan yang menarik, bagaimana meyakinkan konsumen, bagaimana memenej uang yang keluar dan masuk, memenej semua pesanan, memasarkan dan lainnya.
“Otak kita terus bekerja, tak monoton. Harus kreatif setiap saat. Karena kita bekerja sendiri, untuk sendiri,” tambah Mitha.
Suasana ini jelas bebeda dibanding saat berstatus sebagai karyawan. Gaji sudah terukur, apresiasi sudah disiapkan perusahaan dengan standar penilaian yang jelas, jam dan hari kerja sudah ditentukan. Semua sudah diatur oleh sistem manajemen kantor dan ia tinggal menerima matang.
Cuma, zona nyaman tersebut memang harus dibayar mahal. Pergi sebelum matahari nongol, pulang ketika hari sudah gelap. Mitha mengaku saat berstatus sebagai karyawan, ia tiba di rumahnya di kawasan Cipayung, Jakarta Timur rata-rata pukul 21:00 atau 22:00 dengan tubuh yang pasti sudah penat.
“Saya merasa kok tua dijalan ya, belum lagi anak yang masih balita, seperti ga keurus. Itu mengapa saya akhirnya yakin bahwa saya harus berhenti ngantor,” tukas Mitha yang lahir di Kota Kebumen, Jawa Tengah.
Dan keputusan Mitha untuk bisnis kuliner memang tepat. Apalagi tak lama kemudian pandemi Covid-19 melanda tanah air. Kebijakan bekerja dari rumah, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan PSBB memaksa orang memesan makanan jika ingin variasi makanan di luar kebiasaan keluarga.
Untuk menghadirkan cita rasa yang pas, Mitha melakukan ‘uji coba’ resep gudeg 5 sampai 6 kali. Dan itu memakan waktu berbulan-bulan. Tester pun diberikan tidak hanya dari kalangan keluarga, juga teman-temannya. Tak sebatas mereka yang berlidah Jawa, juga orang-orang dari suku lainnya. Tujuannya mendapatkan rasa yang cocok untuk lidah semua orang.
Hasilnya, gudeg Yu Brindil tampil dengan cita rasa yang lebih familiar untuk semua kalangan tanpa meninggalkan pakem sebagai makanan khas wong Jogja. Di jual dengan kemasan ‘kendi tanah’, atau besek, Gudeg Yu Brindil tampil lebih modern dan milenial.
Gudeg Yu Brindil dijual dalam tiga pilihan paket. Yakni paket personal dengan harga Rp50 ribu, paket medium dengan harga Rp260 ribu dan paket family dengan harga Rp300 ribu. Masing-masing paket berisi gudeg (sayur nangka), tempe dan tahu bacem, sayur krecek, ayam kampung lengkap dengan bumbu gudeg termasuk sambal.
Meski sudah memiliki waktu lebih banyak untuk menjalankan bisnis kulinernya Mitha mengaku belum berani buka setiap hari. Ia masih sistem pre order (PO) dengan intensitas rata-rata 3 kali dalam sepekan. Pun sistem penjualannya, masih banyak mengandalkan media sosial seperti twiiter, Instagram dan facebook, juga WA. Sedang untuk penjualan secara online melalui aplikasi grabfood atau gofood, Mitha masih belum berani. Alasannya, keterbatasan tenaga kerja yang membantunya.
“Pandemi begini, saya masih mikir untuk merekrut tenaga tambahan karena dapur masih menyatu dengan rumah. Jadi sementara baru satu orang yang bantuin masak. Nanti kalau sudah berakhir pandemi atau sudah ada vaksin, saya punya planning menambah pekerja,” lanjut Mitha.
Gudeg Yu Brindil dengan kemasan dan hantaran yang menarik, dapat menjadi ide untuk hadiah bagi klien, kejutan untuk sahabat, teman atau kerabat. Bagi yang ingin mencoba rasa gudeg Yu Brindil, atau bernostalgia dengan makanan wong Jogya, untuk sementara baru bisa dipesen melalui instagram (@masakan_yu_brindil), twitter maupun aplikasi media sosial lainnya.
Selain menyediakan menu gudeg, Mitha juga melayani pesanan rendang ala Padang, pudding, risoles dan makanan lainnya.