Tulisan ini merupakan bagian dari “Mencapai Indonesia Merdeka” karya Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi
Gunanya Ada Partai
Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan kebudayaan,–pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib dalam segala bagian dan cabang-cabangnya.
Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab sistem inilah yang sebagai kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat milik masyarakat kita.
Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan; pererakan kita itu haruslah pada hakekatnya suatu pergerakan yang ingin merobah sama sekali sifatnya masyarakat, suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat sampai kesulur-sulurnya dan akar-akarnya, suatu pergerakan yang sama sekali ingin menggugurkan sistem imperialisme dan kapitalisme. Pergerakan kita janganlah hanya suatu pergerakan yang ingin rendahnya pajak, janganlah hanya ingin tambahnya upah, janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil yang bisa tercapai hari-sekarang,–tetapi ia harus menuju kepada suatu transformasi yang menjungkirbalikkan sama sekali sifat masyarakat itu, dari sifat imperialistis-kapitalistis menjadi sifat yang sama-rasa-sama-rata. Pergerakan kita haruslah dus suatu pergerakan yang pada hakekatnya menuju kepada suatu “ommekeer” (pembalikan oleh penyalin) susunan sosial.
Bagaimana “ommekeer” susunan sosial bisa terjadi? Pertama-tama oleh kemauannya dan tenaganya masyarakat sendiri, oleh “immenente krachten” masyarakat sendiri, oleh “kekuatan-kekuatan rahasia” dari masyarakat sendiri. Tetapi tertampak-keluarnya, lahirnya, jasmaninya, oleh suatu pergerakan Rakyat jelata yang radikal, yakni oleh massa aksi. Tidak ada suatu perobahan besar di dalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini, yang lahirnya tidak karena massa aksi. Tidak ada transformasi di zaman akhir-akhir ini, yang tanpa massa aksi.
Massa aksi adalah senantiasa menjadi penghantar pada saat masyarakat-tua melangkah ke dalam masyarakat yang baru. Massaaksi adalah senantiasa menjadi paraji (Paraji – bahasa Sunda. Artinya dukun beranak) pada saat masyarakat-tua yang hamil itu melahirkan masyarakat yang baru. Perobahan di dalam zaman Chartisme di Inggris di zaman yang lalu, perobahan rubuhnya feodalisme di Prancis diganti dengan sistem demokrasi borjuis, perubahan-perubahan matinya feodalisme di negeri-negeri Eropa yang lain, perubahan-perubahan rontoknya sistem kapitalisme bagian per bagian sesudah pergerakan proletar menjelma di dunia,– perubahan-perubahan itu semuanya adalah “diparaji” oleh massaaksi yang membangkitkan sap-sapan dari pada Rakyat. Perubahanperubahan itu dibarengi dengan gemuruhnya banjir pergerakan
Rakyat-jelata
Maka kitapun, bilamana kita ingin mendatangkan perubahan yang begitu maha-besar di dalam masyarakat sebagai gugurnya sistem imperialisme dan kapitalisme, kita pun harus bermassa-aksi. Kita pun harus menggerakkan Rakyat jelata di dalam suatu pergerakan radikal yang bergelombangan seperti banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa-aksi yang sadar akan jalan dan maksud-maksudnya. Sebab, massa-aksi bukanlah sembarangan pergerakan massa, bukanlah sembarangan pergerakan yang orangnya ribuan atau berjuta-juta. Massa-aksi adalah pergerakan massa yang radikal. Dan massa-aksi yang bermanfaat seratus prosen hanyalah massa-aksi yang bewust dan insyaf; oleh karena itu maka-massa-aksi yang manfaat adalah dus: suatu pergerakan Rakyat jelata yang bewust dan radikal.
Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat jelata itu ke dalam ke-bewust-an dan keradikalan. Dengan suatu partai, yang menuntun Rakyat jelata itu di dalam perjalanannya ke arah kemenangan, mengolah tenaga Rakyat-jelata itu di dalam perjuangannya sehari-hari,–menjadi pelopor dari pada Rakyat jelata itu di dalam menuju kepada maksud cita-cita.
Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang. Partailah yang memimpin massa itu di dalam perjuangnnya merebahkan musuh, partailah yang memegang komando daripada barisan massa. Partailah yang harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi keradikalan.
Oleh karena itu, maka partai sendiri lebih dulu harus partai yang bewust, partai yang sadar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sadar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sadar dan radikal. Hanya partai yang demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan. Hanya partai yang demikian itu bisa membikin massa-aksi yang bewust, massa-aksi yang dus dengan cepat bisa mengundurkan stelsel yang menjadi buah perlawanannya.
Orang sering mengira: kita barulah bisa menang kalau Rakyat Indonesia yang 60.000.000 jiwa itu semuanya sudah masuk suatu partai! Pengiraan yang demikian itu adalah pengalamunan yang kosong, pengalamunan yang mustahil, pengalamunan yang tidak perlu terjadi. Jikalau kemenangan baru bisa datang bilamana Rakyat Indonesia yang 60.000.000 itu semuanya sudah masuk suatu partai, maka sampai lebur-kiamatpun kita belum bisa menang. Sebab Rakyat yang 60.000.000 itu tidak bisa semuanya menjadi anggota partai, mustahil semuanya bisa menjadi anggota partai.
Tidak! Kemenangan tidak usah menunggu sampai semua Rakyat jelata secindil-abangnya masuk suatu partai! Kemenangan sudah bisa datang, bilamana ada satu partai yang gagah-berani dan sadar menjadi pelopor-sejati daripada massa, yang bisa memimpin dan bisa menggerakkan massa, yang bisa berjuang dan menyuruh berjuang kepada massa, yang perkataannya menjadi undang-undang bagi massa dan perintahnya menjadi komando bagi massa. Kemenangan sudah bisa datang, bilamana ada satu partai yang dengan gagah berani pandai memimpin dan membangkitkan kesadaran massa aksi!
Lihatlah misalnya perjuangan Tiongkok dulu, lihatlah pergerakan di Mesir sepuluh-limabelas tahun yang lalu, lihatlah pergerakan kaum proletar di Eropa. Di semua negeri itu pergerakan tidak berwujud “tiap-tiap hidung menjadi anggota”, tetapi adalah suatu partai pelopor yang berjalan di muka memanggul bendera: di Mesir dulu Partai Wafd, di Tiongkok dulu partai Kuo Min Tang, di dalam pergerakan proletar De Internasionale. Partai-partai pelopor inilah yang menjadi motornya massa, pengolahnya massa, kampiunnya massa, komandannya massa. Partai-partai pelopor inilah yang mengemudikan massa-aksi.
Oleh karenanya, buanglah jauh-jauh itu pengiraan salah, bahwa lebih dulu “tiap-tiap hidung harus menjadi anggota”! Tidak, bukan lebih dulu “tiap-tiap hidung harus menjadi anggota”, bukan lebih dulu semua Rakyat jelata secindil-abangnya harus memasuki partai, tetapi Marhaen-Marhaen yang paling bewust dan sadar dan radikal harus menggabungkan diri di dalam suatu partai pelopor yang gagahberani! Marhaen-Marhaen yang paling bersemangat, MarhaenMarhaen yang paling berkemauan, paling sadar, paling rajin, paling berani, paling keras hati,–Marhaen-Marhaen itulah sudah cukup untuk menggerakkan massa-aksi yang hebat dan bergelora dan yang datang pada kemenangan, asal saja tergabung di dalam satu partai pelopor yang tahu menggelombangkan semua tenaganya massa.
Suatu partai-pelopor? Ya, satu partai-pelopor, dan tidak dua, tidak tiga! Satu partai saja yang bisa paling baik dan paling sempurna,– yang lain-lain tentu kurang baik dan kurang sempurna. Satu partai saja yang bisa menjadi pelopor!
Memang: lebih dari satu pelopor, membingungkan massa; lebih dari satu komandan, mengacaukan tentara. Riwayat duniapun menunjukkan, bahwa di dalam tiap-tiap massa-aksi yang hebat adalah hanya satu partai saja yang menjadi pelopor berjalan di muka sambil memanggul bendera. Bisa ada partai lain-lain, bisa ada perkumpulan lain-lain, tetapi partai-partai yang lain itu pada saatsaat yang penting hanyalah membuntut pada partai-pelopor itu,– ikut berjuang, ikut memimpin, tetapi tidak sebagai komandan seluruh tentaranya massa, melainkan hanya sebagai sersan-sersan dan kopral-kopral saja. Pada saat “historische momenten” maka menurut riwayat dunia adalah satu partai yang dianggap oleh massa “itulah laki-laki dunia, marilah mengikut laki-laki dunia itu”!
Tetapi partai mana yang bisa menjadi partai-partai-pelopor di dalam massa-aksi kita? Partai yang kemauannya cocok dengan kemauan Marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan kemauan alam, partai yang memikul alam dan terpikul alam. Partai yang demikian itulah yang bisa menjadi komandannya massa-aksi kita. Bukan partai borjuis, bukan partai ningrat, bukan “partai-Marhaen” yang reformis, bukanpun “partai radikal” yang hanya amuk-amukan saja,–tetapi partai-Marhaen yang radikal yang tahu saat menjatuhkan pukulanpukulannya. Serang pemimpin kaum buruh pernah berkata: “Partai tak boleh ketinggalan oleh massa; massa selamanya radikal; partai harus radikal pula. Tetapi partai tidak boleh pula mengira, bahwa ia dengan anarcho-syndicalisme lantas menjadi pemimpin massa. Partai harus memerangi dua haluan: berjuang memerangi haluan reforis, dan berjuang memerangi haluan anarcho-syndicalist.”
Welnu, partai yang digambarkan oleh pemimpin inilah,–yang dus tidak lembek, tetapi juga tidak amuk-amukan saja, melainkan konsekuen-radikal yang berdisiplin–, partai yang demikian itulah yang bisa menjadi partai-pelopor. Masyarakat sendiri akan menjatuhkan hukuman atas partai-partai yang tidak demikian: mereka akan didorong olehnya ke belakang menjadi paling mujur “partai sersan” saja, atau akan disapu olehna samasekali, lenyap dari muka-bumi. Oleh karenanya, Marhaen, awas! Awaslah di dalam memilih partai. Pilihlah hanya itu partai saja, yang memenuhi syaratsyarat yang saya sebutkan tadi!
Partai yang demikian itulah yang menuntun pergerakan Rakyat jelata, mengubah pergerakan Rakyat jelata itu dari onbewust menjadi bewust, memberikan pada Rakyat jelata bentukan alias konstruksi daripada pergerakannya, membikin terang pada Rakyat-jelata apa yang dituju dan bagaimana harus menuju, menjelmakan pergerakan Rakyat jelata yang tadinya hanya ragu-ragu dan raba-raba saja menjadi suatu massa-aksi yang bewust dan insyaf,–suatu massa-aksi, yang karenanya, segera memetik kemenangan.
Partai yang demikian itulah partai yang dibutuhkan oleh kaum Marhaen!
Bentukan alias konstruksi! Bentukan yang pertama ialah, sebagai sudah saya kemukakan, bahwa maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang tidak ada penindasan dan penghisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Kita bergerak,–begitulah tadi juga sudah saya katakan– , tidak karena “ideal” yang ngalaman, tetapi karena kita ingin perbaikan nasib. Kita bergerak karena kita tidak sudi kepada sistem kapitalisme dan imperialisme, yang membikin kita papa dan membikin segundukan manusia tenggelam dalam kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme!
Menurut anda, benarkah Bangsa Indonesia sudah merdeka seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa?
- Belum Merdeka (82%, 500 Votes)
- Setengah Merdeka dan Setengah Terjajah (16%, 96 Votes)
- Sudah Merdeka (1%, 8 Votes)
- Tidak Tahu (1%, 5 Votes)
Total Voters: 609
Dan syarat yang pertama untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme? Syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut-taliwanda menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Selama kita belum merdeka, selama kita belum bisa leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam segala kita punya gerak-bangkit,–tidak bisa “kiprah” sehebat-hebatnya–, selama itu maka kita tidak bisa habis-habisan tenaga menghanjut sistem kapitalisme dan imperialisme. Selama itu maka kapitalisme dan imperialisme akan tetap sebagai raksasa yang maha sakti bertakhta di atas singgasana kerezekian Indonesia, tidak bisa digugurkan daripada singgasana itu hingga mati menggigit debu. Dapatkah Ramawidjaya mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu misalnya terikat kaki dan tangannya, tak dapat mementangkan ia punya jemparing dan tak dapat melepaskan ia punya senjata?
Rakyat yang tidak merdeka adalah Rakyat yang sesungguhsungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidakmerdeka. Segala kemauannya, segala fikirannya, ya segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini tada ranjau, mau itu ada jurang. Mau mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa: mau menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis ter; mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap “berbahaya bagi keamanan umum”; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan sosial ada macam-macam “syaratnya”,–pendek-kata: mau ini ada duri, mau itu ada paku.
Oleh karena itu, maka kemerdekaan adalah syarat yang aha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, syarat yang penting untuk mendirikanmasyarakat yang sempurna. Gedung Indonesia Sempurna, di mana semua Rakyat jelata bisa bernaung dan menyimpan dan memakan segala buah-buah kerezekian dan kekulturan sendiri, di mana tidak ada kepapa-sengsaraan pada satu pihak dan keraja-beranaan pada lain pihak, Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka. Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya Indonesia yang Merdeka.
Tetapi, … Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen Indonesia, bilaman Marhaen adalah leluasa mendirikannya,–tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu,–yakni bilamana Marhaen, dan tidak pihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang. Oleh karena itu, maka Marhaen tidak saja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak saja harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, tetapi juga haurs menjaga yang di dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,–dan bukan kaum borjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaenlah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa dierebut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.
Lihatlah ke negeri Belanda, lihatlah ke negeri Prancis. Lihatlah ke negeri Jerman, Inggris, Amerika, Italia dan lain-lain. Semua negerinegeri itu adalah negeri yang merdeka semua negeri-negeri itu adalah berkemerdekaan nasional. Semua negeri-negeri itu adalah bebas dari pemerintahan asing. Tetapi tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu berat sekali perjuangannya ingin menggugurkan kapitalisme, tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu maha-sukar sekali usahanya mendongkel akar-akarnya kapitalisme,–tidakkkah kaum Marhaen di situ sudah hampir satu abad boleh dikatakan bsiasia bermandi keringat, ya, kadang-kadang bermandi darah, ingin menjebol kapitalisme yang menyengsarakan mereka? Tidakkah kaum Marhaen di situ sampai kini masih bongkok, punggungnya diduduki oleh kapitalisme yang megingkel-ingkel mereka, mengentrog-entrog mereka, memperbudakkan mereka,–memperbinatangkan mereka sampai ke dasar-dasarnya neraka kesengsaraan dan nerakakelaparan?
Apakah sebabnya begitu? Sebabnya ialah, bahwa kaum Marhaen di negeri-neeri itu sampai kini belum memegang politieke macht, belum memegang kekuasaan negeri, belum memegang kekuasaan pemerintahan. Politieke macht sampai kini adalah di dalam tangannya kaum kapitalisme sendiri, di dalam tangannya kaum borjuis sendiri, di dalam tangannya justru itu kaum yang menjadi tulang punggungnya sistem yang mereka lawan itu. Segenap aparatnya politieke macht itu adalah dipakai senjata oleh kaum borjuis untuk memagari sistem kapitalisme dan untuk menghantam aksinya kaum Marhaen yang mau meruntuhkan kapitalisme. Banjirnya pergerakan kaum Marhaen itu saban-saban menjadi uablah samasekali karena panasnya angin-simum yang keluar dari politieke machtnya kaum borjuis. Maka oleh karena itulah, semboyan pergerakan radikal daripada kaum Marhaen di negeri-negeri itu kini adalah: “naar de politieke macht!”, “ke arah kekuasaan-pemerinahan!” Kekuasaan-pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mereka kejar, kekuasaan pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mau mereka rebut dari tangannya kaum borjuis. Dengan kekuasaan pemerintahan di dalam tangan sendiri, dengan senjata pamungkas di dalam tangan sendiri, maka kaum MarhaenEropa akan gampang membinasakan stelsel kapitalisme, memelantingkan kapitalisme dari pundaknya yang telah berabad-abad diperkudakan itu. Kaum borjuis yang tangannya hampa,–yang politieke machtnya direbut oleh kaum Marhaen Eropa–, kaum borjuis yang demikian itu akan menjadi seperti singa yang hilang giginya dan hilang kukunya, hilang guruhnya dan hilang perbawanya, hilang tenaganya dan hilang kuasanya, lemah, lemas, dan mati semua kutu-kutunya,–tak kuasa sedikit juapun melindungi dan mempertahankan stelsel kapitalisme yang mereka sembah dan mereka puja!
Nah, kaum Marhaen Indonesia pun, oleh karenanya, harus insyaf, bahwa mereka punya perjuangan akan tak perlu mereka perpanjangkan, kalau pada saat datangnya Indonesia Merdeka itu politieke macht jatuh ke dalam tangannya kaum borjuis atau kaum ningrat Indonesia. Kaum Marhaen Indonesia pun harus insyaf, bahwa mereka baru bisa segera menjatuhkan stelsel kapitalisme dan imperialisme, hanya jikalau pada saat berkibarnya bendera kemerdekaan nasional, merekalah yang menerima warisan politieke macht dari overheersing asing. Kaum Marhaen Indonesia pun dus harus menjaga, jangan sampai politieke macht itu jatuh ke dalam tangannya ihak borjuis dan ningrat Indonesia.
Menjadi: mereka harus membanting-tulang mendatangkan kemerdekaan-nasional, membanting tulang menjelmakan kemerdekaan negeri Indonesia, tetapi dalam pada membanting tulang mendatangkan kemerdekaan negeri Indonesia itu, mereka harus awas dan sekali lagi awas, jangan sampai gedung yang mereka dirikan itu kaum borjuis atau ningratlah yang memasukinya. Dalam pada berjuang habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka itu, kaum Marhaen harus menjaga, jangan samapi nanti mereka yang “kena getah”, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang “memakan nangkanya”.
O, memang, pekerjaan berat mendatangkan Indonesia Merdeka buat sebagian besar hanya kaum Marhaenlah yang bisa melaksanakan, pekerjaan berat itu buat sebagian besar hanya kaum Rakyat jelatalah yang bisa menyelesaikan. Pekerjaan berat itu memang adalah mereka punya “riwayat-pekerjaan”, mereka punya “riwayat-kewajiban”, mereka punya “riwayat -bagian”. Pekerjaan berat itu memang mereka punya “historische taak”. Memang di atas sudah saya katakan, bahwa semua perubahan-perubahan besar di dalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini adalah dihantarkan oleh massa-aksi, diparadjikan oleh massa-aksi,-artinya: diparadjikan oleh aksinya Rakyat jelata yang berkobar-kobaran semangat menyundul langit. Tetapi riwayat dunia pun telah memberi contoh-contoh,–misalnya di negeri Prancis,–bahwa Rakyat jelata itu, karena kurang awasnya, kurang bewust, kurang pimpinannya suatu partai Rakyat jelata yang sejati, akhirnya kecele menjadi “pengupas nangka” belaka, “yang kena getah, tetapi tidak merasakan nangkanya”. Moga-moga Rakyat jelata Indonesia jangan sampai menambah contoh-contohnya riwayat dunia itu dengan satu contoh lagi yang baru! Moga-moga Rakyat jelata Indonesia dus selamanya awas, dan sekali lagi awas!
Klassenstrijd? Adakah dus saya kini mengutamakan klassenstrijd? Saya belum mengutamakan klassentrijd antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia, walaupun tiap-tiap nafsu kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi. Saya seorang nasionalis, yang selamanya buat mencapai Indonesia Merdeka memusatkan perjuangan kita di dalam perjuangan nasional. Saya selamanya menganjurkan, supaya semua tenaga nasional yang bisa dipaai menghantam musuh untuk mendatangkan kemerdekaan nasional itu, haruslah dihantamkan pula. “De sociale tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale vormen uitgevochten”, “pertentangan sosial di negeri-negeri yang tak merdeka diperjuangkan secara nasional”, begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu strijdmoment. Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita punya gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme. Oleh karena itu, maka apa yang saya tuliskan di atas, adalah berarti menganjurkan supaya Marhaen awas. Saya menganjurkan jangan sampai Marhaen nanti menjadi “pengupas nangka”, yang hanya mendapat bagian getahnya saja. Saya menganjurkan supaya buah politieke macht, yang nanti oleh Marhaen dipegangnya dan dimakannya. Saya seorang nasionalis, tetapi seorang nasionalis Marhaen, yang hidup dengan kaum Marhaen, mati dengan Marhaen.
Nah, saya dus bisa menutup bagian 6 dari tulisan ini dengan mengulangi apa sarinya. Mengulangi:
Bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme,
Bahwa kedua jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia.
Bahwa ketiga Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaenlah yang menggenggam politieke macht, menggenggam kekuasan kekuasaan-pemerintahan.
Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita perhatikan.