SOLO,MENARA62.COM – Memasuki 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan efisiensi anggaran menjadi sorotan tajam di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional di Indonesia. Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah efisiensi dalam bidang anggaran negara yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Efisiensi anggaran ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap kontradiktif dan berpotensi berdampak negatif bagi pelayanan publik.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, M.Hum, menuturkan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan saat ini memiliki sejumlah pertentangan.
“Di satu sisi, niatnya baik untuk mengurangi pemborosan. Namun, di sisi lain, jumlah kabinet yang sangat besar justru menunjukkan ketidakefisienan. Undang-Undang Kementerian Negara memang mengizinkan hingga 46 kementerian, tetapi jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri saat ini melebihi 100, yang jelas berlawanan dengan prinsip efisiensi itu sendiri,” jelasnya Jumat (21/2/2025).
Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran juga berdampak langsung pada sektor pelayanan publik yang vital, seperti pendidikan dan kesehatan. Pemerintah diketahui memangkas anggaran dua sektor ini secara signifikan, yang mengundang reaksi keras dari masyarakat, terutama kalangan mahasiswa.
“Di dalam Undang-Undang Dasar jelas disebutkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN atau APBD. Pemotongan ini bukan hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga dengan tujuan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum,” tambahnya.
Pemerintah beralasan bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk mengalokasikan dana ke proyek-proyek strategis, salah satunya pendirian Danantara, sebuah holding company untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Guru Besar UMS itu mengingatkan bahwa model seperti ini pernah bermasalah di negara lain, seperti skandal 1 Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia.
“Pertanyaannya, bagaimana independensi dan efektivitas Danantara ini? Apakah akan benar-benar memperkuat BUMN, atau justru membuka celah baru bagi korupsi di lingkungan politik yang belum bersih?,” ungkapnya.
Selain dampak terhadap pendidikan dan kesehatan, kebijakan efisiensi juga menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama tenaga honorer dan pekerja di industri yang bergantung pada anggaran negara.
“Banyak hotel dan sektor jasa lainnya yang terdampak karena pemangkasan perjalanan dinas dan proyek pemerintah. Ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada dana APBN dan APBD,” katanya.
Di sisi lain, alokasi anggaran untuk sektor pertahanan, kepolisian, dan intelijen tidak mengalami pemotongan yang signifikan. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai prioritas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara.
“Jika efisiensi benar-benar diterapkan, seharusnya dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya pada sektor yang langsung berdampak pada masyarakat,” tegasnya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, kondisi ini turut menuai kritik dari mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang diwujudkan dalam gerakan demonstrasi dengan tagar #IndonesiaGelap. Menurutnya, pemilihan kata tersebut mencerminkan kekhawatiran mahasiswa terhadap masa depan yang suram.
“Ketika pendidikan dan kesehatan tidak terjamin, ekonomi melemah, serta sistem politik masih korup, mereka merasa bahwa masa depan mereka tidak jelas. Ini adalah sinyal kuat bagi pemerintah untuk lebih bijak dalam menjalankan kebijakan efisiensi,” tekannya.
Dengan semakin meningkatnya kritik terhadap kebijakan ini, pemerintah diharapkan dapat memberikan solusi konkret yang tidak hanya berbasis efisiensi angka, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan pembangunan nasional. (*)