28.9 C
Jakarta

Guru Besar Ilmu Hukum UMS Berikan Pandangan Untuk Menjadi Good Governance Wujudkan Indonesia Emas pada Peringatan Hari Konstitusi

Baca Juga:

 

SOLO, MENARA62.COM – Setiap tanggal 18 Agustus 2024, Indonesia memperingati Hari Konstitusi Indonesia. Penetapan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi berdasarkan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008. Latar belakang penetapan tanggal tersebut adalah pengesahan Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai konstitusi Indonesia.

Saat ini yang menjadi tantangan terbesarnya yaitu Good Governance, di mana tata kelola pemerintahan yang baik setelah demokrasi diwujudkan di Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, M.Hum.

“Tujuan berikutnya, bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih dengan tata kelola yang baik dengan transparansi, kontabilitas, partisipasi yang baik. Hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui Good Governance, bagaimana mewujudkan pemerintahan dengan tata kelola yang baik dan bukan hanya sekedar demokratis,” sambung Aidul, saat ditemui pada Ahad (18/8/2024).

Menurutnya, selama ini kita (Indonesia) berhasil tampil sebagai negara demokrasi, tetapi demokrasi yang bersifat elektoral (demokrasi yang berbasis pada Pemilu saja).

“Dan hasilnya seperti pemilihan Calon Wakil Presiden (Cawapres) kemarin, tidak menunjukkan demokrasi dan tidak melahirkan tata kelola pemerintahan yang baik, bahkan kemudian mendorong nepotisme,” jelas Ketua Komisi Yudisial tahun 2016 – 2018 itu.

Nepotisme tersebut, lanjutnya, bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik karena tata kelola pemerintahan yang baik itu berbasis kompetensi meritokrasi, bukan berdasarkan kekerabatan maupun keluarga.

Sehingga, Ia menjelaskan bahwa tantangan Indonesia ke depannya adalah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik berbasis pada kompetensi atau meritokrasi. Demokrasi yang sudah diupayakan sejak tahun 1998, sekarang harus dilengkapi dengan meritokrasi.

Meritokrasi merupakan tata kelola pemerintahan yang baik berbasis pada keahlian. Aidul menjelaskan, meritokrasi membuktikan negara-negara di Asia Timur berhasil tampil sebagai negara yang kuat dan sekaligus efektif. Hal tersebut disebabkan karena mereka membangun meritokrasi yang kuat.

“Kalau meritokrasi ini gagal, maka demokrasi lama-lama juga akan berubah menjadi Otokrasi,” tegas Pakar Hukum Tatanegara UMS itu.

Otokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dikuasai bukan oleh rakyat namun oleh segelintir orang, keluarga tertentu, oligarki tertentu, dan kelompok-kelompok pengusaha pemilik modal tertentu.

“Dan ini sudah terjadi di negara kita,” ujarnya.

Hal tersebut, tambahnya, menunjukkan bahwa demokrasi yang kita bangun sejak 1998 itu hanya melahirkan demokrasi elektoral yang berwatak transaksional tetapi gagal mewujudkan meritokrasi. Tantangan ke depan untuk menuju Indonesia Emas 2045, yaitu dengan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik berbasis pada meritokrasi.

Aidul Fitriciada juga mengutip salah satu hadist berkaitan dengan pemegang kekuasaan yang bukan diserahkan pada ahlinya.

“Sebagaimana dalam HR Bukhori dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya. Itu menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang berbasis meritokrasi,” jelas Aidul Fitriciada.

Sebagai langkah untuk mewujudkan budaya meritokrasi, Ia memberikan saran kepada anak muda yang turut serta dalam mendukung mewujudkan Indonesia Emas 2045 dalam hal konstitusi, dengan memunculkan budaya konstitusi yang kuat dan meletakkan prinsip-prinsip konstitusi dalam bernegara.

Prinsip-prinsip konstitusi tersebut bagaimana kita (anak muda) menempatkan kekuasaan itu terbatas, tidak terakumulasi, tidak terkumpul pada satu orang, maupun keluarga, dan juga suatu kelompok pemilik modal namun masih tetap dibatasi.

Pada dasarnya, konstitusi itu harus tumbuh dengan budaya yang kuat, sehingga generasi muda itu bisa mengontrol bagaimana berjalannya mekanisme bernegara di Indonesia.

“Sebagus apapun aturan, sebagus apapun struktur, kalau budaya konstitusi tidak mendukung maka hasilnya akan gagal juga,” pungkasnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!