Bogor, Menara62.com – Indonesia memiliki wilayah perairan laut seluas 5,8 juta km persegi, sehingga memiliki kekayaan biodiversitas laut yang begitu tinggi. Belum lagi ketersediaan perairan umum di wilayah daratan yang juga memasok habitat bagi banyak jenis biota perairan.
Di antara banyak ragam jenis biota perairan di wilayah Indonesia, sumberdaya krustasea merupakan salah satu yang memiliki manfaat ekologi dan ekonomi. Krustasea yang banyak dikenal adalah lobster, rajungan, kepiting, dan udang. Komoditas rajungan memiliki volume produksi yang paling tinggi dari tahun ke tahun, dibandingkan kepiting dan lobster. Nilai produksi rajungan adalah yang tertinggi di antara ketiga komoditas. Nilai produksinya sebesar Rp 2.845.171.585,- di tahun 2015.
“Besarnya potensi krustasea ini tidak diimbangi dengan pendataan spesies krustasea itu sendiri. Pendataan di Indonesia masih belum begitu baik, sehingga perlu didata ulang dan diperbarui. Potensi biodiversitas sumberdaya krustasea Indonesia pun masih sangat terbuka. Masih ada eksosistem perairan laut dalam yang belum dieksplorasi secara optimal. Namun demikian, potensi tersebut perlu juga didukung dengan infrastruktur ilmiah berupa tersedianya taksonomis andal dan berdedikasi. Selain itu berbagai kajian dan penelitian tentang biologi krustasea telah banyak dilakukan, namun pemanfaatan informasi biologi (bioinformasi) tersebut belum optimal,” ujar Prof. Yusli Wardiatno, MSc dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) di Kampus IPB Dramaga (5/5).
Dalam dua dekade terakhir, telah dilaporkan sebanyak 9.280 spesies baru krustasea. Bahkan pada awal tahun 2018 ini, terdapat 43 spesies baru yang telah dilaporkan. Tahun 2009 merupakan tahun dimana paling tinggi ditemukannya spesies baru, yaitu sebanyak 787 spesies. Bila dikalkulasikan dengan keseluruhan spesies yang telah dilaporkan, maka dalam dua dekade terakhir ini proporsi spesies baru sebanyak 17%.
“Dari hasil penelusuran literatur dan publikasi yang saya lakukan, ternyata sumberdaya krustasea laut Indonesia tercatat lebih dari 783 spesies dari 81 famili. Melebihi estimasi LIPI tahun 2014 yang merilis 309 jenis untuk krustasea laut. Perbedaan ini membuktikan bahwa pendataan spesies krustasea Indonesia masih belum baik,” ujarnya.
Contoh kurangnya perhatian terhadap biodiversitas krustasea dari sudut pandang taksonomi dan nomenklatur dapat dilihat dari salah satu jenis lobster yang terkategori sebagai lobster perairan dalam di Palabuhan Ratu, yakni jenis Puerulus mesodontus. Menurut nelayan, jenis lobster ini sudah biasa ditemukan sejak tahun 80-an. Namun nama spesiesnya ditemukan oleh peneliti Taiwan, yakni TY Chan, KY Ma dan KH Chu pada tahun 2013.
Oleh karena itu, sejak tahun 2009 Prof. Yusli dan peneliti lainnya membentuk kelompok penelitian bernama Crustacean Research Group yang salah satu tujuannya mendata biodiversitas krustasea. Sampai saat ini sekitar 150 spesies telah tercatat bioinformasinya.
“Memang belum ketemu spesies baru, namun ada spesies yang menjadi pertama kali dilaporkan keberadaannya di Indonesia, yaitu Puerulus mesodontus. Selain itu, beberapa spesies bertambah informasi keberadaannya di perairan Indonesia. Misalnya Panulirus femoristriga dari perairan Sulawesi dan Seram, P. Polyphagus dari Teluk Mayalibit (Papua) dan dari Palabuhan Ratu. Contoh lain adalah yutuk atau undur-undur laut. Ekplorasi lebih dalam membuktikan bahwa di Indonesia ada enam spesies yutuk yakni Hippa adaclyla, H. admirabilis, H. ovalis, H. marmorata, H. celaeno, dan Emerita emeritus. Informasi ini menjadi kontribusi signifikan untuk menambah data distribusi suatu spesies dari Indonesia di peta dunia,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah menetapkan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Prof. Yusli, tingkat pemanfaatan krustasea di setiap WPP sebagian besar sudah full exploited dan over exploited. Fakta ini menjadi peringatan agar pemanfaatn sumberdaya krutasea dapat berkelanjutan.
Oleh karena itu hasil-hasil penelitian yang mengeksplorasi informasi biologi krustasea sangat diperlukan untuk dijadikan dasar dalam pengelolaan dan pengambilan kebijakan terkait sumberdaya krustasea, diantaranya sebagai informasi stok untuk pengelolaan sumberdaya perikanan, sebagai dasar kebijakan sektor perikanan dan untuk masukan penyempuraan regulasi nasional terkait spesies invatif.
“Pembagian WPP ke depan perlu didasarkan atas struktur stok dan kajian-kajian terhadap struktur stok. Terkait regulasi tentang ukuran tangkap 3 grup krustasea (lobster, kepiting, rajungan), perlu lebih didetailkan aturannya dengan mempertimbangkan spesies dan/atau lokasi tangkap. Pengawasan terhadap implementasi aturan yang telah ditetapkan harus ditingkatkan, misalnya untuk kasus penangkapan krustasea betina bertelur. Dan regulasi terkait masuknya dan tersebarnya spesies invasif harus menjadi perhatian serius dan regulasi teknis terkait pengawasan sangat diperlukan,” terangnya.
Untuk mendukung hal ini, perlu dorongan dari pemerintah untuk memunculkan taksonomis lebih banyak lagi agar eksplorasi jenis-jenis biota perairan Indonesia menjadi lebih intensif. Ini akan memperkuat fakta Indonesia sebagai hotspot biodiversity. Selain itu, perlu ditunjuk sebuah lembaga yang bertanggungjawab dalam membuat pencatatan dan data base bagi kekayaan jenis biota Indonesia.
“Ke depan perlu didorong peran taksonomis Indonesia untuk aktif berperan dalam upaya penemuan spesies baru untuk fauna Indonesia umumnya, dan krustasea pada khususnya. Fakta Indonesia sebagai salah pusat biodiversitas dunia menjadi tidak berarti tanpa keberadaan dan keaktifan taksonomis,” tandasnya.