SOLO, MENARA62.COM – Kontaminasi material radioaktif Cesium 137 (Cs-137) yang terjadi di Kawasan Industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, menjadi perhatian publik. Bermula ketika Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat mendeteksi adanya zat Cs-137 pada udang beku ekspor dari Indonesia. Temuan ini memicu investigasi lanjutan terhadap penanggung jawab dalam permasalahan ini.
Berdasarkan hasil uji lab Kementerian Lingkungan Hidup (16/10) kawasan industri Cikande mencapai tingkat radiasi 33.000 mikro sievert per jam atau sekitar 875.000 radiasi alamiah. Cs-137 bersifat memancarkan sinar gamma, sehingga jika manusia terpapar secara berlebih dapat memicu luka radiasi, mual hingga risiko kanker.
Guru Besar Program Studi Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Ir. Herry Purnama, M.T., Ph.D., IPM., menjelaskan paparan radioaktif dapat terkontaminasi melalui udara, air, atau pangan. Besarnya angka paparan radioaktif Cs-137 yang meluas ke dalam kawasan masyarakat menimbulkan dampak kepada manusia dan lingkungan.
“Jadi yang ini (Cs-137) bisa menembus tubuh kita dan bisa membentuk garam dalam tubuh kita. Misalkan cesium klorida (CsCl), itu nanti dia bisa mudah menyebar sebagai debu bila kapsel sumber rusak,” jelas profesor itu mengenai bahaya radioaktif berlebih ke tubuh manusia, Sabtu (7/11).
Dari sisi lingkungan, Herry memaparkan kontaminasi Cs-137 berpotensi bertahan di permukaan benda keras hingga puluhan tahun. Penyebaran yang terjadi secara beruntun, berpotensi masuk ke dalam rantai makanan yang dikonsumsi manusia, sehingga menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang.
“Yang selalu kita takut itu rantai pangan itu. Jadi bisa masuk ke jaringan tubuh makhluk hidup ya dan juga bisa berdampak ke kita, kalau makanan itu masuk ke tubuh kita,” tambahnya.
Dalam pandangan Teknik Kimia, Herry menduga, penyebab zat radioaktif di Cikande dipicu akibat limbah berupa skrap logam yang tercemar oleh isotop pemancar beta gamma Cs-137. Akan tetapi sumber limbah ini tidak diawasi dengan ketat.
Selain melalui pencemaran limbah, Herry menuturkan bahwa idealnya dalam tata letak kawasan industri seharusnya tidak berdekatan dengan area pemukiman masyarakat. Namun, di Indonesia banyak kawasan industri yang berdampingan secara langsung dengan pemukiman masyarakat.
“Kalau di negara yang tidak pada memahami dampak dari cemaran itu atau potensi dari cemaran itu, mereka biasanya tidak memisahkan kawasan permukiman dengan kawasan industri,” papar Herry.
Penting adanya jarak yang jelas antara kawasan industri dan pemukiman. Sehingga, tidak saling berhimpitan akan meminimalisir risiko masyarakat sekitar terkena dampak jika terjadi insiden pencemaran limbah atau kebocoran bahan berbahaya.
Herry menanggapi pernyataan masyarakat enggan untuk relokasi dari kawasan industri Cikande. Ia menekankan ketika terdeteksi adanya cemaran Cs-137, seharusnya masyarakat mengikuti peraturan keamanan kesehatan yang berlaku. “Jadi masyarakat kita mungkin terbiasa agak abai. Kalau sudah dinyatakan sebagai area terlarang, sudah terindikasi tadi ada cemaran radioaktif cesium itu. Tentunya masyarakat tidak mendekat dulu,” pesan Herry.
Lebih lanjut, ia menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dalam kegiatan impor skrap baja bekas. Bahan skrap logam impor yang tidak melalui seleksi ketat secara keseluruhan sebelum masuk Indonesia, memiliki kemungkinan mengandung zat radioaktif seperti Cs-137. Menurut Herry, bahan-bahan bekas yang berasal dari luar negeri berpotensi tercemar, tetapi disisi lain pengawasan dari pihak pengimpor kurang ketat.
“Di sananya (luar negeri) mungkin tadi ada kebocoran radio AP (cesium), ternyata masuk ke campuran besi-besi,” ungkapnya.
Berbeda dengan negara Jepang yang terdapat standar ketat dalam industri, yakni Japanese Industrial Standards (JIS) berupa teknologi yang digunakan untuk menyeleksi hasil impor bahan logam. Teknologi tersebut dapat mencegah terjadinya kebocoran zat berbahaya dengan mendeteksi komposisi bahan logam guna memastikan kesesuaian bahan.
Maka dari itu, Herry menegaskan pentingnya pemeriksaan pada setiap transaksi industri. “Jadi setiap transaksi itu kan kita harus cek dulu, kita beli sesuatu harus kita cek. Kalau beli barang COD itu kan kita cek ini barang apakah betul yang kita pesan atau spesifik yang kita harapkan atau enggak, kalau enggak kan kita kembalikan,” ujarnya memberikan analogi terhadap proses transaksi.
Permasalahan radioaktif menurut Herry menjadi pengingat dalam meningkatkan wawasan masyarakat Indonesia mengenai zat berbahaya. Menurutnya, perlu adanya sinergi lintas disiplin antara pemerintah, ahli teknik kimia, hukum, dan bidang terkait lainnya dalam menangani serta mencegah kasus serupa.
“Saya kira semua bidang bisa terlibat, aspek legal pun juga harus. Saya khawatir kalau kadang-kadang kita beli sesuatu yang tidak legal, jadi terus tadi ada kecampuran macam-macam,” tegasnya.
Aspek legal menurutnya menjadi sangat penting untuk mengetahui penanggung jawab atas kejadian di Cikande ini. (*)

