SURAKARTA, MENARA62.COM –Muhammadiyah Solo Raya siap selenggarakan Muktamar Muhamamdiyah ke-48. Muktamar bertema Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta, untuk ‘Aisyiyah Perempuan Berkemajuan untuk Peradaban Bangsa yang akan digelar 1-5 Juli 2020 tersebut merupakan Muktamar yang ketiga digelar di Kota Solo.
Sebelumnya Solo juga pernah menjadi tuan rumah muktamar Muhammadiyah yakni muktamar ke 18 pada tahun 1929 dan kedua pada tahun 1985. Muktamar Muhammadiyah yang dulu namanya kongres itu untuk pertama kali keluar dari Yogyakarta pada tahun 1926 ,yakni di Surabaya Jawa Timur .
Kemudian untuk Jawa Tengah yang pertama kali yakni di Pekalongan tahun 1927 . Lalu yang kedua di Surakarta tahun 1929 , setelah itu di Semarang tahun 1933 lalu di Purwokerto tahun 1941 dan tahun 1953 dan setelah itu baru di Solo kembali pada tahun 1985 .
“Alhamdulillah pada malam hari ini kita hadir untuk soft launching Muktamar Muhammadiyah dan “Aisyiyah ke 48 yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Atas nama pimpinan pusat Muhammadiyah kami menyampaikan terimakasih atas kehadiran Wakil Gubernur mewakili pemerintah provinsi Jawa Tengah, Gus Yasin,” kata Ketua Umum PP Muhamamdiyah, Haedar Nashir saat melaunching Muktamar Muhammadiyah ke-48, Rabu malam (31/7/2019).
Haedar melihat bahwa PWM Solo dan UMS serta Muhammadiyah Jawa Tengah termasuk ‘Aisyiyah telah siap menjadi tuan rumah Muktamar Muhammaditah ke-48. Harapannya Muktamar ke-48 nantinya akan berjalan lancar. Grand launching Muktamar ke-48 akan digelar pada 18 November 2019.
Lebih lanjut Haedar mengatakan sejak tahun 1922 Muhammadiyah seperti juga disampaikan oleh Gus Yasin telah menjadi organisasi yang menasional. Satu tahun sebelum Kyai Dahlan wafat , Muhammadiyah sudah menyebar. Bahkan di Aceh itu tahun 1922 sudah masuk, kemudian di seluruh Jawa juga sudah tersebar ,berlanjut ke wilayah Makassar dan Kalimantan.
Lalu pada fase kedua di era Kyai Haji Ibrahim, Muhammadiyah mulai masuk ke Papua tahun 1926. Di kawasan NTT Muhammadiyah mulai masuk sekitar tahun 1930-an.
“Jadi perkembangannya saat itu luar biasa dan itu menunjukkan dinamika Muhammadiyah yang telah meng-Indonesia, telah menusantara yang dalam dinamika itu tentu karena alam pikiran Muhammadiyah telah diterima menjadi alam pikiran umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia,” jelas Haedar.
Ia berharap Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 dapat dijadikan momentum untuk menggairahkan kembali syiar ber-Muhammadiyah dan Aisyiyah. Selain itu juga dapat memacu Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk terus melebarkan sayap dakwah dan tajdid Muhammadiyah, tidak hanya di Indonesia tetapi untuk ranah semesta.
“Kita terus menggelorakan semangat dakwah kita, agar betul-betul menjadi gerakan Islam yang bisa membawa pada kemajuan dan pencerahan bagi masyarakat luas, sehingga Islam menjadi rahmatan lil alamin,” tegas Haedar.
Diakui Haedar Muhammadiyah telah berbuat dan berkiprah untuk bangsa negara juga umat manusia selama 1 abad lebih. Tetapi kita menyadari betul bahwa masih banyak hal yang kurang dalam perjalanan pergerakan kita. Karena itu ke depan kita harus tetap menjadi suluh pergerakan kemajuan umat bangsa dan kemanusiaan semesta.
Satu tanatangan yang perlu dijawab oleh Muhammadiyah ke depan pertama adalah bagaimana Muhammadiyah dan juga kekuatan-kekuatan Islam di Republik ini terus menjadi pemandu kehidupan beragama dikalangan umat Islam khususnya, dan warga bangsa pada umumnya yang terus menanamkan benih-benih yang membawa spirit kemajuan ,pencerahan sekaligus di dalamnya Islam yang membawa damai, Islam yang membangun kebersamaan. Kita sebagai umat Islam maupun bangsa itu tidak akan menjadi maju dan besar jika bercerai berai.
“Ayat yang dibacakan di surat Ali Imron ayat 102 yang sering juga disebut sebagai 103 ayatnya NU dan 104 ayatnya Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya semangat untuk wa’tasimu bihablillahi jami’an wa la tafaraqu itu harus menjadi semangat kebersamaan kita yang autentik, ukhuwah yang lahir dari dalam, dan konsisten kita wujudkan terutama di kala kita berbeda, dan di kala kita berbeda kepentingan. Kalau dalam keadaan normal itu kita biasanya gampang ukhuwah tetapi di saat-saat kritis bisakah kita ukhuwah. Ini tugas kita yang tak boleh lengah. Jangan pernah mengabaikan kekuatan kebersamaan,” kata Haedar mengingatkan.
Sejarah mutakhir menunjukkan Yugoslavia tinggal kenangan. Padahal dulu Yugoslavia adalah negara besar. Soviet hampir saja kolaps, karena juga pecah menjadi berbagai negara. Ini menunjukkan bahwa kekuatan kebersamaan itu akan menjadi energi kolektif untuk maju. Sebaliknya kalau kita pecah itu biarpun memiliki potensi untuk maju, akan runtuh kembali seperti ilustrasi Alquran, engkau jangan seperti orang yang mencerai-beraikan tenunan yang sudah dipintal dengan baik .
Tantangan kedua adalah bagaimana kita terus memiliki komitmen untuk memajukan bangsa ini, tanpa pamrih dan itulah karakter Muhammadiyah. Dengan semangat kemandirian kekuatan dari dalam itu kita bisa maju, dan memajukan bangsa.
“Kita bangga tadi UMS begitu optimis dengan Muktamarnya. Pak Wagub, Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah itu punya tradisi, setiap Muktamar itu mesti penyelenggara itu membangun gedung yang bagus, kalau pak rektor menyebutnya megah. Itu selalu begitu,” tutup Haedar.