SURAKARTA, MENARA62.COM – Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr Sofyan Anif MSi meraih gelar guru besar bidang Manajemen Pendidikan. Pengukuhan Prof Sofyan Anif dilakukan oleh Prof. dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti di auditorium HM Djazman. Hadir Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir.
Dalam sambutannya, Haedar mengucapkan selamat atas pencapaian gelar akademik tertinggi yang diraih Prof Sofyan Anif.
“Saya ucapkan selamat atas capaian guru besar untuk Profesor Sofyan Anif. Untuk meraih gelar akademik tertinggi ini tentu dibutuhkan perjuangan panjang dan kerja keras,” kata Haedar.
Menurutnya, menjadi guru besar memang tidak mudah, tidak bisa dilakukan secara instan. Tetapi saat seseorang bisa meraihnya, itu adalah kenikmatan yang tiada tara.
Bagi Haedar, dikukuhkannya Prof Sofyan Anif sebagai guru besar ke-25 di UMS, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Muhammadiyah. Karena dengan pengukuhan tersebut menambah daftar panjang guru besar yang dimiliki perguruan tinggi dilingkungan Muhammadiyah.
“UMS adalah PTM dengan jumlah guru besar terbanyak dibanding universitas Muhammadiyah lainnya, dan ini sangat membanggakan,” tukas Haedar.
Ia berharap capaian dari UMS ini akan diikuti oleh PTM lainnya. Karena guru besar menjadi salah satu indicator mutu dan kualitas sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Haedar menyebut pengukuhan guru besar menjadi peristiwa penting bagi Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah adalah organisasi yang bergerak dibidang pendidikan.
Lebih lanjut Haedar mengatakan hal penting yang harus kita pahami adalah bagaimana pendidikan bisa melahirkan kesatuan atau keutuhan pada pribadi, subjek didik . Yang menyatukan kekuatan atau kecerdasan intelektual ,spiritual ,emosional dan social. dan itulah sebenarnya konsen pendidikan Islam yang digerakkan dipelopori oleh Kyai Dahlan.
“Istilahnya memadukan antara iman dan kepribadian dengan nilai-nilai kemajuan. hal yang perlu kita ambil sari dari apa yang beliau sampaikan dalam konteks kita Muhammadiyah maupun mungkin juga untuk bangsa dalam penyelenggaraan pendidikan, bagaimana lembaga pendidikan itu kemudian menyatukan penyelenggaraan pendidikannya dalam sistem yang holistic,” tambah Haedar.
Terkait era disrupsi, Haedar menjelaskan bahwa era disrupsi bukan sekadar melahirkan era dunia demokrasi yang semakin liberal, selalu meningkatnya kesejahteraan , dan juga harapan masa depan, tetapi telah mengoyak nilai-nilai yang disebut sebagai human nature, nilai-nilai ikatan sosial kebersamaan, bahkan nilai-nilai dasar kehidupan.
“Tadi Pak Sofyan menawarkan apa yang disebut sebagai reconstitution of social order . Jadi era disrupsi itu bukan sekadar akselerasi untuk inovasi sebagaimana tesisnya,” tegas Haedar.
Dalam konteks Muhammadiyah, ada 3 hal yang harus diwaspadai yakni luruhnya nilai-nilai yang disebut human nature, hakekat manusia hidup, lalu rusaknya ikatan keluarga termasuk tingginya angka perceraian. Dan yang ketiga adalah apa yang disebut un wanted children, anak-anak yang tidak dikehendaki. Tiga hal tersebut jarang dibicarakan.
Ketika bicara revolusi 4.0, tesis Klieten Kristensen tentang apa yang disebut dengan de Innovator dilemma, dilemma para pendorong inovasi sering dibahas. Ini menjadi penting karena banyak hal bahwa di era disrupsi ini, timbul rusaknya kohesi sosial atau social order.
Tugas pendidikan Muhammadiyah dan juga gerakan-gerakan Islam lainnya adalah merekat kembali tatanan sosial yang rusak akibat perkembangan teknologi informasi. Dan disitulah pentingnya pendidikan tapi pendidikan yang holistik yang memadukan bukan hanya dari materi nilai-nilai tadi 4 nilai tetapi juga dari penyelenggaranya . Bahwa sekolah perguruan tinggi dan seterusnya itu tidak bisa menjadi daerah yang terasing tertutup dari dua institusi, yakni keluarga dan masyarakat.
Maka sebagus apapun lembaga pendidikan menyelenggarakan pendidikan, dia tidak akan kedap terhadap era disrupsi, jika institusi keluarga dan kehidupan sosial masyarakat tidak kondusif dan mendukung.
“Disini tugas Muhammadiyah tugas Aisyiyah untuk menghidupkan kembali fungsi keluarga, dan fungsi sosial masyarakat. sehingga pendidikan menjadi tidak lepas dalam dirinya sendiri,” tutup Haedar .