Apa tujuan menikah dalam Islam? Secara umum, menikah bertujuan beribadah mencari ridha Allah SWT.
Sedangkan secara khusus, tujuan menikah adalah mewujudkan keluarga yang tenteram dan tenang (sakinah) yang dilandasi oleh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih-sayang) seperti ditunjukkan oleh QS. Al-Ruum, 30: 21, “Wa min ayaatihi an kholaqo lakum min anfusikum azawajan li taskunu ilaiha wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan inna fi dzalika la ayaatin li qauwmin yatafakkarun”. Artinya, “Dan di antara tanda (kekuasaan) Allah, Dia jadikan untukmu pasangan dari jenismu (sesama manusia) agar kamu merasa tenteram kepadanya dan Dia jadikan rasa cinta dan kasih-sayang di antara kamu. Sungguh dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir.”
Jika tujuan menikah adalah menjalankan ibadah, mencari ridha Allah serta mewujudkan rumah tangga sakinah yang dipenuhi mawaddah, dan rahmah, maka sebuah pernikahan harus dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) yang saling memuliakan derajat manusia, khususnya suami dan istri. Jika tujuan nikah sedemikian luhur dan mulia (memuliakan manusia), anehnya, mengapa banyak terjadi tindakan yang timpang, perilaku kekerasan, dan ketidakadilan dalam rumah tangga di sana-sini? Juga mengapa terjadi KDRT dan perselingkuhan serta pembelokan dari tujuan mulia tersebut? Ditambah lagi, kebanyakan yang menjadi korban adalah kaum perempuan dan anak-anak. Adakah sesuatu pemahaman yang perlu ditinjau kembali atau dikoreksi? Inilah pertanyaan besar yang patut direnungkan.
Bila telah keluar dari cita-cita luhurnya, pernikahan bukannya menjadikan manusia hidup tenteram dan damai, tetapi justru akan mengantarkan pada kondisi hidup susah, menderita lahir-batin. Ini yang harus diwaspadai.
Menikah, dengan begitu, tidak boleh dijadikan alat untuk “mereproduksi” kekerasan (fisik dan nonfisik) dan penindasan satu pihak kepada pihak lain. Pernikahan tidak boleh dijadikan sarana menyakiti, mengungkung, dan membelenggu pihak lain.
Dalam Islam, membina rumahtangga bukan untuk saling menguasai dan memiliki layaknya barang dari satu pihak terhadap pihak lain. Karenanya, sangat tidak dibenarkan, seperti ditunjukkan dalam banyak fakta, seorang pasangan (suami-istri) memukuli, menyayat tubuh, menyetrika punggung pasangannya atas nama pernikahan, bahkan atas nama pendidikan.
Atas dasar apakah banyak pasangan melakukan tindakan kekerasan tersebut, padahal Allah Yang Maha Menciptakan, Memiliki semua makhluk, dan Merahmati tidak pernah memerintah atau mengizinkan ketidakadilan dan kekerasan tersebut terjadi. Sebaliknya, justru Allah mengajarkan segala sesuatu harus dimulai dan dijalani dengan rahman (kasih) dan rahim (sayang)-Nya. Jika kekerasan itu yang terjadi, sedikitpun Allah tidak akan ridha. Dia tidak rela kalau hamba-Nya dijadikan sebagai sasaran amarah dan kekerasan.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW. menegaskan: “Laa yajlid ahadukum imro’atahu jaldal-‘abdi tsumma yujaami’uhaa fii aakhiril-yaumi” (Janganlah salah satu di antara kalian memukul istrinya layaknya memukul budak, kemudian menggaulinya di akhir hari). Hadis ini bersumber dari ‘Abdillah bin Zam’ah dari Nabi SAW. (HR. Imam Bukhari: 5259, Imam Muslim: 7370, Imam Abu Dawud: 2148; Imam Tirmidzi: 3666, Ibnu Majah: 2059).
Seyogyanya, justru pernikahan merupakan wahana menyuburkan ketenteraman, cinta, dan kasih-sayang antara suami dan istri, di satu sisi, dan antara orang tua dan anak-anak, di sisi lain. Dengan demikian, nikah sebagai lembaga haruslah dapat mengayomi, melindungi, dan memerdekakan masing-masing pasangan, bukan sebaliknya, menyakiti, menyengsarakan, dan menindas. Hal ini seringkali dikesampingkan dan tidak disadari.
Dari sini dapat dipahami bahwa menikah yang sesuai dengan rule of the games (aturan main; baca syariat Islam) merupakan salah satu cara untuk menjaga kemuliaan dan kelestarian manusia. Dengan menikah manusia dapat menyalurkan dan mengembangkan cinta suci yang dianugerahkan Allah. Ia akan—sebisa mungkin—terhindar dari hal-hal dosa dan pola hidup tidak beradab yang berkeliaran di hampir setiap ruang dan waktu.
Jika dicermati dengan saksama, Islam sangat menekankan kedua kecenderungan pasangan menikah yaitu sebagai proses prokreasi (melahirkan keturunan) dan rekreasi (saling membahagiakan). Keduanya menjadi bagian integral yang tidak dipisah-pisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi Muhammad SAW: “Tazawwaju al-waluuda al-waduuda”, “Nikahilah pasangan yang berpotensi untuk menghasilkan keturunan/produktif dan yang penyayang”, bahwa setiap pasangan harus menjadi walud (menjaga potensi produktif sehingga dapat menghasilkan keturunan yang baik dan akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangga serta pelanjut cita-cita) serta menjadi wadud (penyayang, pencinta terhadap pasangannya agar rumah tangga tetap harmonis, hangat, damai, dan menentramkan).
Allah SWT dalam QS. An-Nahl: 72 menyatakan, “Dan Allah telah menjadikan pasangan dari jenismu (manusia) dan Dia menjadikan anak-cucu bagimu dari pasanganmu, serta Dia memberimu rizki dari yang baik-baik.” Ayat ini menekankan fungsi reproduksi yang halal dan manusiawi. Sedangkan di ayat lain, Allah juga menekankan pentingnya fungsi rekreasi (saling membahagiakan antara suami-istri) seperti dalam ayatnya, “Dan sebagian tanda keagungan Allah, Dia jadikan untukmu pasangan dari jenismu agar kamu merasa tenteram di sampingnya dan Dia jadikan rasa cinta dan kasih-sayang di antara kamu…”. (QS. Al-Ruum/30: 21).
Didukung lagi pernyataan Nabi SAW. ketika berkomentar tentang Jabir bin Abdillah yang menikahi perempuan janda, “halaa bikran tulaa’ibuhaa wa tulaa’ibuka“, Alangkah baiknya engkau menikah dengan gadis! Engkau saling bermain dengannya dan ia pun saling bermain denganmu. (Fikih Sunnah, Jilid 6, hal. 36).
Jalan Tengah
Islam dalam menyikapi sesuatu senantiasa menghendaki jalan tengah, tidak ekstrem. Tentu tidak bijaksana, jika seseorang menikah hanya untuk bersenang-senang. Sementara kekuatan jasmani manusia, pasti akan mengalami penurunan di usia tertentu. Sebaliknya, tidak wajar juga, kalau pasangan menikah hanya sekadar memperbanyak jumlah keturunan, tanpa memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan yang lain, dan juga tanpa memperhatikan kualitas generasi dan kesanggupan para pihak. Jika jarak/gap ini bisa ditengahi, pasti kehidupan rumah tangga akan berjalan indah dan tentunya lebih baik.
Alangkah indahnya jika dalam rumah tangga terdapat sedikitnya lima kunci pokok. Kelimanya yaitu: pertama, meyakini bahwa rumah tangga dibangun di atas perjanjian yang kokoh (miitsaqon gholidzon). Kedua, meyakini bahwa suami-istri adalah jodoh terbaik yang dikaruniakan oleh Allah. Tentu sebagai manusia biasa, memiliki kekurangan dan kelebihan sehingga bisa menerima apa adanya, bukan mencari yang tidak ada. Ketiga, menjalani rumah tangga dengan mu’asyaroh bil-ma’ruf, saling bergaul yang baik, yang patut, dan manusiawi. Keempat, perlu saling bersikap ridho (tarodhin). Kelima, mengutamakan musyawarah (tasyawur) dalam memutuskan suatu masalah dengan komunikasi yang hangat dan setara serta saling menghargai.
In syaa Allah, kehidupan rumah tangga sakinah dapat diraih dan dilestarikan. Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan barokah kepada pasangan rumah tangga, yang lama, yang baru, dan yang akan segera memulai. Aamiin.
Penulis: Nur Achmad, MA. Dosen Kajian Islam ITB Ahmad Dahlan Jakarta, dan Pengasuh Pesantren MBS Ki Bagus Hadikusumo Jakarta di Jampang, Bogor.