“Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila. Berikut keganjilan dan keanehan yang saya rasakan,” kata Hakim Arief HIdayat di ruangan sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (16/10/2023).
Arief menguraikan, proses persidangan gugatan ini, setelah agenda perbaikan permohonan menuju pemeriksaan persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan presiden terkesan terlalu lama. Bahkan memakan waktu hingga 2 bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan satu bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.
Meskipun hal tersebut tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun peraturan Mahkamah Konstitusi, namun penundaan berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri.
“Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK,” katanya.
Kisah seru
Hakim Arief menceritakan, saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa, tanggal 19 September 2023 terkait pengambilan putusan terhadap beberapa Perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU- XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 –gugatan yang juga terkait usia capres-cawapres– Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.
RPH pun dipimpin oleh Wakil Ketua, Saldi Isra.
Arief mengaku sempat menanyakan, mengapa Anwar Usman tidak hadir, dan jawaban yang didapatkan adalah ketidakhadiran ketua kala itu dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan atau conflict of interest.
Sebab, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, dimana kerabat Anwar Usman berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik.
Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo. Pada saat Anwar Usman tidak hadir itu, ketiga perkara tersebut, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diputus, dengan komposisi mayoritas hakim menyatakan menolak permohonan. Meskipun ada pula hakim yang berpendapat lain.
Kondisi tersebut kontras dengan Anwar Usman yang hadir pada saat RPH perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang belakangan dikabulkan oleh hakim MK.
“Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 (perkara yang dikabulkan MK) dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, yaitu berkaitan dengan syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar ‘dikabulkan sebagian’,” ujar Arief.
Keanehan lain, perkara gugatan Almas Tsaqibbirru tersebut sempat ditarik tapi kemudian tetap dilanjutkan. Pada bagian ini, Arief mengaku menemukan banyak kejanggalan keanehan.
Pertama, perbuatan kuasa hukum pemohon yang melakukan pencabutan perkara sepihak atas inisiatifnya sendiri, tanpa berkoordinasi dengan Pemohon principal karena malu dan khilaf. Tindakan itu disebabkan oleh adanya miskomunikasi internal dalam tim kuasa hukum terkait penyerahan hardcopy berkas permohonan sebanyak 12 rangkap. Menurut Arief, menurut penalaran yang wajar, alasan kuasa hukum dimaksud tidak dapat diterima rasionalitasnya.
Kedua, adanya perbedaan waktu penerimaan surat pembatalan pencabutan perkara antara keterangan kuasa hukum pada persidangan Senin, 3 Oktober 2023 dengan waktu yang tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS), yakni pada pukul 12.04 MB. Sedangkan berdasarkan keterangan kuasa hukum pada persidangan, surat pembatalan pencabutan perkara diterima pada pukul 20.36 WIB.
Ketiga, adanya perbedaan nama petugas PAMDAL MK yang menerima surat pembatalan pencabutan perkara, menurut kuasa hukum Pemohon diterima oleh Dani, PAMDAL MK. Sementara nama yang tercantum dalam TTBPS adalah PAMDAL MK bernama Safrizal.
Keempat, pola dan keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon dalam hal ini Almas Tsaqibbiru, juga sama dengan pola dan Keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, meskipun waktu persidangan untuk melakukan konfirmasi pencabutan atau penarikan permohonan dijadwalkan berbeda.
“Artinya, keterangan kuasa hukum dan Pemohon ihwal pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara dilakukan secara sadar dan by design,” ungkap Arief.
Keanehan terakhir, tambah Arief, pada Sabtu 30 September 2023, terdapat surat pembatalan penarikan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikirim oleh Rudi Setiawan. Rudi merupakan staf kuasa hukum Pemohon dan diterima oleh PAMDAL MK.
“Permasalahannya yaitu mengapa surat pembatalan penarikan permohonan diregistrasi di bagian Kepaniteraan pada hari Sabtu, 30 September 2023 di hari libur dan bukan pada hari Senin, 2 Oktober 2023,” ujar Arief.