JAKARTA, MENARA62.COM – Sertifikasi halal menjadi harapan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) untuk bisa ‘naik kelas’. Karena itu negara berinisiatif memberikan fasilitas sertifikasi halal berbiaya nol rupiah bagi pelaku UMK.
Fasilitas sertifikasi halal nol rupiah bagi UMK ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.57/PMK.05/2021 tentang tarif layanan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI yang terbit pada 3 Juni 2021. PMK ini merupakan tindaklanjut dari diterbitkannya UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada 17 Oktober 2019.
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua Dewan Pengurus Halal Institute Andy Soebjakto Molanggato mengatakan tarif sertifikasi halal nol rupiah bagi pelaku UMK ini berlaku untuk layanan sertifikasi halal, perpanjangan sertifikasi halal dan penambahan varian atau jenis produk bagi pelaku UMK.
“Kebijakan baru ini dapat dikatakan sangat mendukung, membantu, dan memfasilitasi pelaku UMK. Jadi tudingan beberapa kalangan selama ini yang menilai pewajiban sertifikasi halal akan semakin menyulitkan pelaku UMK, jelas tidak terbukti,” kata Andy, Rabu (16/6/2021).
Meskipun begitu, lanjut Andy, jika mencermati frasa ‘dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara’ seperti termaktub dalam PMK tersebut, maka itu artinya tidak semua pelaku UMK langsung dapat menikmati fasilitas ini. Kemampuan keuangan negara di sini bukan hanya APBN, tetapi juga dapat berasal dari APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, dana kemitraan, hibah pemerintah, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Andy dapat memahami bahwa untuk memberikan fasilitas sertifikasi nol rupiah bagi UMK bukan persoalan mudah bagi negara. Mengingat jumlah pelaku UMK di Indonesia cukup banyak, mendominasi pelaku usaha yang ada. Data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2018-2019 menunjukkan jumlah UMK tercatat 65.400.031 unit atau sekitar 99,89% dari total pelaku usaha di Indonesia. Dapat lebih tinggi lagi setelah kriteria PP No.7 Tahun 2021 diterapkan.
Sedangkan jumlah pelaku usaha menengah sebesar 65.465 unit (dapat lebih kecil berdasar PP No.7 Tahun 2021), dan pelaku usaha besar 5.637 unit usaha. Dengan demikian, pasar sertifikasi halal reguler adalah sebesar-besarnya 70.000 unit usaha. Sedangkan 65 juta unit usaha mendapatkan fasilitas nol rupiah.
“Bagaimana melaksanakan fasilitasi untuk 65 juta unit usaha ini dengan kemampuan keuangan negara yang ada? Nampaknya, pelaku UMK harus rajin-rajin menuntut haknya untuk mendapatkan fasilitas layanan sertifikasi halal nol rupiah,” lanjut Andy.
Sementara di sisi lain, mengacu pada PMK no.57/PMK.05/2021 pelaku usaha besar hanya terkena tarif ringan yang flat untuk mengurus kewajiban sertifikasi halal ini. Pelaku usaha besar dengan omzet minimal Rp50 miliar per tahun dapat dikenai biaya paling besar 150% dari tarif maksimal, yakni Rp7.500.000. Perusahaan semacam Aqua dan Indofood misalnya, maksimal dikenai tarif sebesar itu, terkecuali ada penambahan varian atau jenis produk. Perusahaan kelas menengah dengan omzet Rp 15 miliar hingga Rp 50 miliar dikenai tarif beberapa juta lebih murah dari tarif tertinggi.
“Dengan jumlah pelaku usaha menengah dan besar yang jauh lebih sedikit dan tariff sertifikasi flat, darimana negara memaksimalkan kemampuan keuangannya untuk memenuhi tuntutan pelaku UMK? Dengan gambaran situasi seperti ini, sertifkasi halal lebih memberatkan negara dibanding memberatkan pelaku UMK,” jelasnya.
Menurut Andy, situasi seperti ini dapat menjadi bom waktu bila tidak dikelola dengan baik, sementara pemerintah terikat pada kewajiban melaksanakan UU JPH dan UU Cipta Kerja.
Lebih lanjut Andy mengatakan jika mengacu pada kebijakan pemerintah untuk mendorong proses upscaling pelaku UMK agar dapat naik kelas, salah satunya melalui sertifikasi halal, maka pemerintah, cq BPJPH, wajib memaksimalkan kemampuannya memberikan fasilitas bagi UMK dalam kerangka upscaling, bukan dalam kerangka sebatas perlindungan dan belas kasih negara. UMK yang naik kelas pada gilirannya akan menuju sertifikasi reguler, dengan demikian beban pemerintah juga akan semakin berkurang. Kesemuanya hanya dapat dikerjakan jika seluruh stake holder konsisten dengan kerangka ini.
Minus Tarif Sidang Fatwa MUI?
Andy mengatakan dari daftar tarif layanan sertifikasi halal di PMK, hanya tarif yang berkaitan langsung dengan BPJPH yang diatur, sedangkan tarif yang dapat timbul dari pelayanan lain, misalnya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dan tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI tidak disebutkan dalam daftar.
Adapun daftar tarif layanan untuk 5 jenis layanan, yakni layanan sertifikasi halal untuk barang dan jasa sebesar Rp 300.000,- hingga Rp 5.000.000,-, tarif akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebesar Rp 2.500.000,- hingga Rp 17.500.000,-, tarif registrasi auditor halal sebesar Rp 300.000,- per orang, tarif pelatihan auditor halal dan penyelia halal sebesar Rp 1.600.000,- hingga Rp 3.800.000,- per orang, dan tarif sertifikasi kompetensi auditor halal dan penyelia halal sebesar Rp 1.800.000,- hingga Rp 3.500.000,- per orang.
Menurut Andy, untuk tarif pemeriksaan halal oleh LPH telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) PMK, mengacu pada biaya yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH. Sangat mungkin penetapan Kepala BPJPH tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH akan berbentuk range tarif terbawah hingga paling tinggi.
“Hal yang harus diamati bersama adalah jangan sampai tarif pemeriksaan halal ini jauh lebih tinggi dibanding tarif lainnya.Hal lain yang lebih menarik adalah PMK ini tidak memberi sedikitpun arahan mengenai tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI. Ini berbeda dari ketentuan tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH,” tukasnya.
Dalam hal fatwa ini, Kepala BPJPH tidak memiliki pijakan hukum untuk menetapkan biaya sidang fatwa tersendiri. “Apakah pemerintah meninggalkan MUI dalam persoalan tarif sertifikasi halal ini? Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena persoalan tarif fatwa dapat menjadi masalah yang sumir untuk dinyatakan dalam PMK, meskipun semua orang paham bahwa fasilitasi (honor) untuk sidang fatwa MUI adalah hal yang wajar,” papar Andy.
Salah satu opsi jalan keluar dari permasalahan ini adalah memasukkan honorarium/biaya sidang fatwa MUI ke dalam tarif pemeriksaan halal oleh LPH, yang berarti bergantung pada LPH dan dapat menimbulkan risiko mengurangi independensi MUI dalam menetapkan fatwa kehalalan produk.
“Betapapun, penetapan tarif layanan sertifikasi halal melalui PMK ini adalah wujud dari pelaksanaan mandatory sertifikasi halal, bahwa sejak keluarnya UU JPH pemerintah hadir dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan jaminan produk halal,” tandas Andy.
Untuk itu, Dewan Pengurus Halal Institute mengeluarkan beberapa imbauan, yakni pertama agar PMK 57/PMK.05/2021 tentang Layanan Sertifikasi Halal segera dijadikan pedoman BPJPH dalam menyelenggarakan JPH. Kedua, agar Kepala BPJPH segera menyusun pedoman biaya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dengan mempertimbangkan aspek profesionalitas, akuntabilitas, proporsionalitas, dan keadilan, agar pelaku usaha mendapatkan pelayanan pemeriksaan halal dengan biaya yang terjangkau. Ketiga, agar Kepala BPJPH dapat mengakomodir fasilitas honorarium untuk sidang fatwa MUI, dalam rangka menjembatani kepentingan seluruh stakeholder dan menjaga kesinambungan proses. Salah satu opsinya adalah menempatkan honorarium ke dalam item tarif pemeriksaan halal oleh LPH. Namun kesemuanya dengan catatan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Lalu keempat, agar kebijakan tarif Rp 0 rupiah untuk layanan sertifikasi halal bagi pelaku UMK dapat segera diwujudkan secara keseluruhan, sehingga tidak menjadi PHP (pemberi harapan palsu) terhadap pelaku UMK. Pemerintah selayaknya membuat/memiliki peta jalan untuk melaksanakan kebijakan ini secara menyeluruh. Kelima, agar kebijakan layanan sertifikasi halal dapat menjadi instrumen upscaling bagi pelaku UMK yang ingin naik kelas. Strategi ini harus menjadi kerangka umum kebijakan yang dilaksanakan oleh BPJPH. Dan keenam, agar BPJPH memberi atau membuka kesempatan kerjasama seluas mungkin dengan Halal Center, Perguruan Tinggi, lembaga pelatihan, Ormas Islam, dan LSP untuk memastikan dapat mengcover keseluruhan aspek jaminan produk halal dan layanan sertifikasi halal yang sangat luas cakupannya.