LAUT JAWA, MENARA62.COM – Program Muhibah Jalur Rempah memasuki hari ketiga pelayaran (3/6). Sejak berlayar dari Surabaya pada 1 Juni lalu, peserta Laskar Rempah mendapat pembekalan tentang cara bertahan di laut. Pembekalan tersebut berupa peran penyelamatan kapal, peninggalan kapal, pengenalan peta, navigasi, alat kesehatan, serta pengenalan jaga di laut.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan, yang turut mendampingi Laskar Rempah di atas kapal menjelaskan, sebelum mengenal teknologi navigasi, tanda-tanda alam adalah pedoman berlayar bagi pelaut di Nusantara. Salah satunya yang digunakan oleh pelaut Bugis.
“Orang Bugis-Makassar telah mengekspresikan budaya dan kearifan lokal dalam naskah-naskah kuno yang ditulis dengan aksara yang disebut Lontaraq,” ujar Restu pada saat berlayar di Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci, pada Jumat (3/6).
Restu mengatakan, naskah kuno ini menjadi sebuah sumber informasi sosial budaya. Di dalam naskah tersebut termuat beraneka ragam peristiwa dan tokoh sejarah, di samping adanya peristiwa kemajuan masyarakat. “Naskah ini menyediakan bahan penggambaran untuk melihat situasi dan kondisi yang terjadi pada era sekarang, dengan memahami kronologi yang terjadi pada masa lampau,” ujar Restu.
Salah satu naskah kuno tentang pengetahuan tradisional masyarakat Bugis yang berhubungan dengan pelayaran adalah naskah “Lontaraq Atoreng Toriolo‟. Salah satu isi dari naskah tersebut, adalah Hukum Laut Amanna Gappa, catatan tentang navigasi, dan pengetahuan tentang meteorologi dan tanda-tanda alam.
Sementara itu, terkait materi navigasi, Komandan KRI Dewaruci, Mayor Laut (P) Sugeng Hariyanto, M. Tr. Ospla menjelaskan sebagai personel yang on board, para Laskar Rempah harus tahu paling tidak posisi saat ini ada di mana. “Kemudian sekarang arahnya menuju ke mana, intinya, mereka harus tahu bagaimana menentukan posisi kita saat ini,” tutur Mayor Sugeng.
Pada masa lampau, lanjut Mayor Sugeng, para pelaut bernavigasi menggunakan alat-alat yang konvensional, misalnya tanda-tanda di darat untuk menentukan posisi. Para pelaut mengandalkan gunung, daratan, tanjung, serta suar sehingga muncul koordinat posisi. “Dari situlah kita input ke dalam peta,” ujar Sugeng.
Sementara saat ini, lanjut Mayor Sugeng, navigasi sudah lebih modern menggunakan sistem satelit, tanpa harus menggunakan tanda-tanda seperti tadi karena sudah terbaca oleh satelit.
“Namun, bagaimanapun, kita harus tahu bagaimana seandainya alat modern tadi tidak berfungsi, nah, kita kembali ke zaman dahulu di mana ilmu-ilmu dasar bernavigasi itu sangat penting. Kalau di laut, ada istilah navigasi datar dan navigasi astronomi. Untuk Laskar Rempah, kita tidak ajarkan navigasi astronomi, tapi kita tunjukkan bahwa ketika di tengah laut ada bintang-bintang di langit yang bisa digunakan untuk menentukan posisi,” tambah Komandan KRI Dewaruci.